[caption id="attachment_292768" align="aligncenter" width="504" caption="Nyoman Nuarta (kiri atas), sesi wawancara, Bupati Bandung (dok WS)"][/caption]
UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan mendefinisikan Bahan Tambang Galian C sebagai ‘bahan tidak strategis dan tidak vital’; artinya tanpa produk galian C sebenarnya masyarakat tetap akan baik-baik saja selama pemikiran mereka tidak terjajah oleh paradigma bahwa rumah mewah identik dengan bangunan tembok permanen. Bahan Galian C meliputi pasir, kerikil, tanah liat, tanah, batu kapur dan batu yang digunakan sebagai bahan mentah untuk kebutuhan industri dan konstruksi. Endapan tanah liat, pasir, dan kerikil banyak dijumpai di dataran rendah serta sungai. Sementara batu keras (basal, andesit, dasit) banyak ditemukan di wilayah-wilayah berbukit dan pegunungan.
Namun meski disebut ‘tidak vital, tidak strategis’, dampak proses penggalian bahan-bahan tambang di atas pada degradasi kualitas lingkungan ekologis sangatlah signifikan. Sketsa kerusakan itu juga sudah cukup lama membayangi lahan bekas area penambangan yang merupakan gabungan sebagian wilayah Kampung Ciwangsa dan Kampung Legok Jeungjing di Desa Panyirapan, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.
Jadi saat saya diundang untuk meliput soft launching sebuah water park (1/10) di sana yang terbetik di kepala adalah soal tingkat keamanan, maklum eks lahan Galian C biasanya digayuti beban persoalan seperti rusaknya bentang alam dan terbentuknya tebing-tebing curam yang selain kurang nyaman dipandang juga riskan bahaya longsor. Belum lagi kalau memikirkan kuantitas dan kualitas sumber air yang merupakan bahan baku utama dalam rekreasi taman hiburan yang dinamai Pesona Nirwana itu. Lebih absurd lagi saat saya tiba di lokasi dan mendapati bahwa pemiliknya adalah Nyoman Nuarta yang notabene seorang pematung bereputasi internasional yang dikenal memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Monumen Jalesveva Jayamahe di Dermaga Ujung Madura, Monumen Proklamasi Indonesia di Jakarta dan proyek super ambisiusnya, Monumen Garuda Wisnu Kencana, di Bali merupakan rentetan adikarya Nuarta di samping sebuah taman patung yang dinamai NuArt Sculpture Park di kawasan Sarijadi Bandung.
[caption id="attachment_292769" align="aligncenter" width="504" caption="Beberapa sudut Pesona Nirwana ... (dok WS)"]
Begitulah usai memotret para pemangku hajat yang berkostum stelan celana pangsi hitam yang khas Pasundan dan beberapa sisi Pesona Nirwana Water Park yang cukup eksotis karena dipagari tembok alami yang tersusun atas bidang-bidang bebatuan andesit itu, saya pun langsung mendatangi Nyoman Nuarta, mengajaknya berbincang, dan kami pun mencari ruang yang relatif agak terlindung dari hingar-bingar acara panggung.
“Kok bisa kepikiran membuat water park di tempat seperti ini?” Tembak saya.
“Sudah lihat tebing-tebingnya,kan?” Nuarta malah balik bertanya sambil tersenyum,”Batu-batunya cantik sekali, kan sayang kalau dibiarkan hancur begitu saja.”
Lantas Nuarta juga menyitir sebuah kebijakan khas Bali, Desa Kala Patra, “Desa itu tempat, Kala waktu, dan Patra adalah keadaan.”Papar Nuarta yang selanjutnya memaparkan makna global kebijakan tersebut yang intinya kelenturan interpretasi masyarakat pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang disesuaikan dengan situasi/keadaan tertentu,”Itu saya jabarkan kembali bahwa keberadaan saya di suatu tempat haruslah selangkah di depan dalam memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.”
Begitulah kondisi lahan bekas Galian C di kawasan Soreang itu yang minim kontribusinya bagi pendapatan daerah dan malah menambah beban resiko bencana alam bagi warga sekitar membuat Nuarta merespon dengan sangat positif gagasan temannya,Tite Puspita, yang bersama-sama tokoh masyarakat setempat, Wawan Maryana, mengajukan proposal water park itu,”Pertama-tama kita harus segera menyelamatkan lingkungan hidup,seperti tebing-tebing cantik itu. Kedua, kita sebisa mungkin memberikan ‘sesuatu’ yang bermanfaat bagi masyarakat di tempat ini yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.”Tutur Nuarta dengan mimik sangat serius,”Setelah itu barulah kita berharap, mudah-mudahan ada profit yang mengikuti di belakangnya.”
[caption id="attachment_292770" align="aligncenter" width="504" caption="Tite,Wawan, dan awal terwujudnya sebuah impian (dok WS)"]
Pada wawancara terpisah usai acara formal peresmian water park oleh Bupati Bandung, Dadang Mochamad Naser, Tite mengemukakan bahwa lebih dari limapuluh persen komposisi tenaga kerja dengan berbagai jenjang keahlian dalam operasional rekreasi air ini direkrut dari warga setempat. Respon masyarakat pun,menurut Wawan Maryana, sangat baik karena dia bersama segenap tim kerjanya berusaha seoptimal mungkin mengakomodir aspirasi warga.
“Water park seluas 4000 meter persegi ini baru merupakan awal dari pembangunan resort ramah lingkunganyang total areanya direncanakan mencapai empat hektar.” Papar Wawan yang saat saya konfirmasi tentang kondisi keamanan tebing-tebing curam yang memang cantik namun terkesan bisa rontok kapan saja di sekeliling area rekreasi dengan lugas menjawab,”Area belt line (‘sabuk pengaman’ di sekeliling tebing, -pen.) sudah ditata dengan ketat meliputi menjaga dan menambah kuantitas pepohonan di situ, bahkan merespon aspirasi para undangan soft launching, nantinya akan dilakukan prosedur tambahan untuk memastikan bahwa tebing-tebing itu dapat dipertahankan dalam kondisi aslinyanamun tetap aman bagi pengunjung.”
Water park ramah lingkungan dengan berbagai fasilitas rekreasi bagi pengunjung memang lebih menguntungkan bagi Soreang ketimbang memfasilitasi perijinan baru untuk penambangan bahan Galian C. Semoga saja para penggagas maupun pelaksana proyek Pesona Nirwana Water Park ini tetap konsisten untuk menjalankan konsep ramah lingkungan, termasuk ramah dalam mengakomodir kebutuhan warga setempat, dalam pembangunan resort-nya ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H