“Banyak orang yang bilang kalau apa yang saya kerjakan selama lima bulan terakhir ini hanya bersifat ‘lipstik’ (polesan belaka,-pen).” Papar Walikota Bandung, Ridwan Kamil (RK); dalam sebuah wawancara singkat di Pendopo Balaikota, jl Dalem Kaum Bandung, beberapa waktu (8/2) lalu. Edukasi perilaku warga, misalnya, yang dikemas melalui kampanye Bandung Bertema dimana setiap hari dipilihkan tema tertentu ( Senin Gratis : Para pelajar gratis naik bis Damri hari itu, Selasa Bebas Rokok, Rabu ‘Nyunda’: Warga Bandung dihimbau saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sunda, Kamis Inggris : Sebisanya berinteraksi dalam bahasa Inggris, Jumat Berpeci, Sabtu Happy ) dinilai sebagian kalangan sebagai sensasi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu yang sifatnya lebih krusial. Padahal itu adalah salah satu pendekatan kultural yang dilakukan RK untuk secara serius tapi santai dan konsisten melakukan perubahan positif pada paradigma berpikir warganya agar menjadi bagian dari solusi aneka problema kota mereka.
Padahal juga,” Pemerintah kota saat ini tengah sibuk menata Bandara Husein Sastranegara, menyiapkan pelaksanaan tender untuk pengadaan monorail...revolusi (pembenahan Bandung, -pen.) sebenarnya terus berjalan meski luput dari pengamatan media.” Ujar lelaki berusia 42 tahun yang akrab disapa Kang Emil ini. Siang itu wajahnya terlihat lelah, kakinya sedikit pincang sehabis bermain sepakbola tanpa sepatu sebelum sesi wawancara, namun semangat optimistiknya tetap memancar dalam setiap wacana yang diperbincangkan.
[caption id="attachment_321750" align="aligncenter" width="503" caption="Saat wawancara ...(Joga/WS)"][/caption]
Kang Emil pernah menyandang status dhuafa saat meniti karir di negeri Paman Sam akibat kelalaian administratif perusahaan yang mempekerjakannya (‘Mereka lupa memperpanjang visa kerja saya dan hal itu baru ketahuan pada batas akhir masa berlakunya, saya pun dipecat karena mereka menghindari denda bernominal tinggi yang harus dibayar akibat kealpaan itu’ dan RK yang merasa malu kalau mesti balik ke Tanah Air sebagai pecundang lantas bekerja part time serabutan untuk menghidupi diri dan istri tercintanya, Atalia, yang tengah mengandung serta akhirnya menggunakan semacam surat keterangan tidak mampu agar bisa menjalani persalinan gratis di rumah sakit khusus dhuafa di sana. ‘Setelah melahirkan, saya pulangkan istri dan anak pertama kami ke Indonesia, sementara saya melanjutkan kuliah S2 dengan beasiswa di University Of California-Berkeley’ dan karena beasiswanya hanya menutup biaya kuliah saja, maka survival pun berlanjut sampai dia lulus) dan saat ini, sebagai orang nomer satu di Bandung, keberadaan dhuafa yang relatif melimpah dengan berbagai label dari mulai pengemis, pengamen , sampai pedagang kaki lima (PKL) menjadi tantangan yang harus diarunginya...
Urusan PKL ini pula yang sempat membuat RK bete dengan berbagai pemberitaan negatif media massa pada kebijakan yang diberlakukannya dalam membenahi para entrepreneur jalanan itu,” Awalnya keluar judul ‘ RK Tidak Becus Menangani Kesemwarutan PKL’ lantas setelah dibuat langkah-langkah konsisten dan tegas menertibkan PKL sesuai aturan yang berlaku, judulnya berubah jadi ‘Walikota Yang Kejam’...coba, musti gimana saya?” Tanya RK dengan mimik jengkel dan logat Sunda yang jenaka.
Padahal, menurut hasil penelitian RK dan timnya, para pengamat mesti menyadari bahwa sesungguhnya ada empat jenis PKL yang beroperasi di jalanan-jalanan kota Bandung. Pertama, PKL dhuafa yang istilahnya ‘tidak bisa makan kalau tidak mengasong di jalan’ lalu kedua, pengusaha PKL yang mirip bandar pengemis dimana mereka mengkaryakan anak buahnya untuk mengasong. Sementara tipe ketiga, orang kaya yang iseng-iseng berdagang karena tergiur maraknya perniagaan di jalanan dan keempat, para pemilik toko yang menyuruh karyawannya menggelar dagangan di kaki lima.
Jadi kebijakan denda sejuta rupiah untuk setiap transaksi dengan PKL diharapkan dapat menumbuhkan efek yang lebih signifikan dalam menekan pertumbuhan PKL liar ,”Biar ditodong atau ditekan seberat apapun, saya mah tidak akan mundur dalam urusan yang satu ini.” Tegas ayah dari dua anak ini. Namun tentu saja RK tidak main sapu bersih tanpa mempertimbangkan kebutuhan mencari nafkah para PKL, terutama dari golongan pertama,yang notabene adalah warganya. Dia membagi Bandung dalam tiga zona, yakni Zona Merah untuk wilayah yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh para PKL, Zona Kuning yang bisa digunakan untuk transaksi PKL pada waktu-waktu tertentu, dan Zona Hijau yang bebas ditempati oleh para PKL untuk berdagang setiap hari sebagaimana pasar-pasar pada umumnya.
RK membidik fasilitas perniagaan, seperti gedung-gedung toko dan pasar-pasar, yang dibangun dan akhirnya dibiarkan terlantar begitu saja hingga memicu kekumuhan di banyak titik di kota Bandung; sebagai tempat penampungan bagi para PKL,”Mereka difasilitasi dan dibantu sedemikian rupa agar bisa memperoleh penghasilan optimal di tempat yang baru.” Tandas RK yang menggaris-bawahi bahwa faktor ibadah dan rasa cintanya kepada Bandung-lah yang diharapkan dapat membuatnya mampu bertahan memimpin kota berpenduduk tiga juta lebih jiwa ini,” Yah, lima tahun (masa jabatan ) itu masih lama dan saya sudah minta keluarga untuk mengikhlaskan saya menjalaninya ...”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H