[caption id="attachment_121507" align="aligncenter" width="300" caption="...penampilannya nyaris tak banyak berubah... (dok.WS)"][/caption] Lobi Hotel Century Park di kawasan Senayan sore itu begitu ramai dengan berseliwerannya kontingen-kontingen atlet anak-anak, mungkin sebagian atau semua datang ke situ dalam rangka mempersiapkan diri mengikuti sebuah kompetisi bulutangkis yang digelar oleh sebuah bank swasta. Berbeda dengan kami yang memaksa untuk berurusan dengan kepadatan lalulintas Jakarta di akhir minggu demi memenuhi janji wawancara dengan sosok yang hingga menjelang pertengahan tahun ini banyak menuai hujatan atas berbagai kiprahnya di jagad persepakbolaan Indonesia. Kami melangkah ke sebuah resto yang terletak di area lobi hotel dan Nugraha Besoes telah menunggu di sana bersama seorang asistennya.
Sekilas tak banyak perubahan yang terlihat dalam penampilan lelaki yang usianya masuk kepala tujuh itu. Rapi, terkesan pendiam, dan sesekali senyum tipis melintasi wajah yang cenderung poker face itu. Dia menyilahkan untuk memesan makanan dan kami menunggu pesanan tiba sambil mengobrol seputar masa mudanya sebagai aktifis kampus dimana Kang Nunu, begitu panggilan akrabnya pernah menduduki posisi sebagai komandan pada korps bela negara mahasiswa di kampusnya. Dia masih memiliki perhatian terhadap korpsnya itu, minimal dalam wacana, dan sependapat dengan sebagian besar rekannya yang memandang eksistensi korps sebagai institusi nasionalis sangat ditentukan oleh seberapa besar responnya terhadap dinamika sosial yang tengah terjadi di masyarakat.
[caption id="attachment_121522" align="alignleft" width="300" caption="...seyumannya sangat ramah...(dok WS)"]
“Tidak, saya sudah selesai di situ.” Tegasnya ketika saya tergelitik memancing pendapatnya tentang Kongres PSSI yang tak kunjung rampung hingga kini,”Pada prinsipnya,saya mencoba untuk tidak menghujat siapa pun, berusaha tidak memiliki musuh, dan sebisa mungkin tidak membalas dendam pada mereka yang telah bersikap buruk pada saya serta mengembalikan segalanya kepada Allah Swt.” Sambungnya saat ditanya seputar kiat melanjutkan hidup paska pelengseran yang sangat tidak nyaman itu.
Kang Nunu menceritakan kiprah barunya saat ini mengelola sebuah media olahraga Go Sport yang semula merupakan tabloid mingguan menjadi sebuah harian,”Untuk semua jenis olah raga,terutama sepakbola.”Matanya sedikit berbinar ketika bicara,”Saya juga mengelola sebuah klub sepak bola di Bandung, namanya Pro Uni dan basecamp-nya di Ciwastra. Satu-satunya klub lokal yang punya lapangan bermain sendiri dan saat peresmiannya dihadiri oleh walikota,lho...” Kali ini dia tersenyum.
Lalu mengalirlah monolog tentang betapa besar rasa cintanya pada Bandung yang dinilainya berjasa menjadi ajang yang menumbuhkan dirinya sebagai manusia. Karirnya sebagai politikus maupun pengurus liga sepak bola (semula dia pengurus Persib sebelum pada akhirnya menjadi Sekjen PSSI) berawal dari kota penyedia bakso tahu dan kupat tahu, dua jenis makanan kesukaan Kang Nunu, ini. Jenjang politik yang pertama dinaikinya adalah menjadi Ketua Senat Mahasiswa di samping juga aktif sebagai pemain sepak bola di kampusnya itu, selanjutnya dia pun merambat naik ke posisi yang lebih tinggi.Ketua KNPI, Sekjen AMPI Pusat, pengurus DPP Golkar, anggota DPR, dan akhirnya menjadi anggota DPR-RI. Ternyata kiprah politik ini pun tak luput dari warna skandal yang sempat menyeretnya ke ranah hukum untuk menjawab tuntutan pertanggung-jawaban seorang wanita muda yang mengaku telah melahirkan dua orang anak darinya. Toh, perkawinannya dengan Maryamah masih kokoh hingga saat ini.
Dua orang lelaki memasuki ambang resto dan menyapa Kang Nunu, dia pun beranjak dari duduknya dan menghampiri mereka lalu terlibat dalam percakapan pelan yang terkesan akrab. Tak berapa lama kemudian Kang Nunu kembali bergabung ke meja kami dan salah seorang lelaki yang tadi berkata ke arah kami,”Kang Nunu itu guru saya.”Dan dia pun berlalu setelah melempar senyum serta lambaian tangan.
“Mereka berdua itu anggota DPR...” Kang Nunu menyebut nama dua parpol lalu beralih membicarakan masa sekolahnya,”Dari SD sampai SMA saya sekolah di yayasan Katolik, disiplinnya bagus... jadi pagi sekolah, sorenya ngaji di mesjid.”
Pria berdarah Kuningan-Ciamis yang mengaku bangga sebagai Urang Sunda ini juga mengisahkan sebuah momen berkesan saat menghadiri perayaan ulang tahun harian Kompas beberapa tahun lalu. Kang Nunu bertemu Jacob Oetama yang menjadi guru Bahasa Indonesia saat dia masih menjadi murid SMP Van Lith- Jakarta pada periode 1953-1956,”Saya sapa beliau,’Selamat malam, Pak Guru.’ dan Pak Jacob menepuk punggung saya sambil bilang,’Dia ini murid satu-satunya yang masih panggil saya Pak Guru.’ “ Senyum melintasi wajah dinginnya.
Di akhir percakapan,Kang Nunu sempat terpancing juga mengomentari seorang kandidat Ketua PSSI yang
[caption id="attachment_121523" align="alignright" width="300" caption="...seperti manusia lainnya,dia bukan sosok tanpa noda...(dok WS)"]
Memang tak ada manusia yang ‘berwarna’ sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih, kita akan senantiasa berwarna abu-abu. Yang terpenting, bagi seorang Nugraha Besoes dan kita semua, adalah memastikan agar warna itu tidak menjadi kian gelap seiring perjalanan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H