Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebajikan Berantai

5 Mei 2011   22:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="400" caption="...lestarikan kebajikan sampai ke masa depan...(Google,pic)"][/caption] Sebuah momen yang menyentuh dalam keseharian terkadang membuat kita secara refleks melakukan kilas balik, meneropong kembali masa lalu yang sudah terlewati. Pahit,manis,getir dan sejuta rasa lainnya berlomba melintasi hati sampai akhirnya bertemu kembali dengan benih kebaikan yang ditanamkan seseorang dalam diri kita. Berkat benih tersebut kita bisa survive dari kesulitan tingkat tinggi yang saat itu berpotensi menjebloskan kita ke dasar sumur. Tergerak hati untuk membalas budi, namun apa daya sang penolong telah berpulang. Mestikah urung merealisasikan niat baik itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, lebih baik mencermati ucapan manusia terbaik di dunia, Rasul Saw, yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang sahabatnya,’...Lalu ia berkata,”Wahai Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk berbakti kepada kedua orangtua setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah menjawab,”Tentu ada. Berdoa dan memintakan ampunan untuk mereka, menunaikan janji yang telah mereka ucapkan dan menyambung silaturahmi yang tidak akan terwujud kecuali dengan mereka, serta memuliakan teman-teman mereka.”’ (HR Abu Daud).

Jika sang penolong itu memiliki anak-anak kandung, maka kesempatan membalas budi terletak pada upaya kita membangun komunikasi yang efektif dengan keluarga yang ditinggalkannya untuk memberikan bantuan sesuai kemampuan kita dan tentu saja, dengan cara yang tepat, mengingatkan keturunannya untuk menjaga bakti pada orangtua mereka yang telah berpulang sebagaimana tuntunan Nabi Saw di atas.

Bila ternyata tak ada putra-putri yang ditinggalkan atau kita tak mampu menemukan mereka, lantas bagaimana? Pernah dengar istilah paying forward? Kira-kira artinya begini, saat memperoleh kebaikan dari seseorang yang tidak kita kenal dan peluang logis untuk bertemu kembali dengannya mendekati nihil, cara terbaik untuk membalas budi adalah dengan memberikan bantuan/pertolongan pada siapa saja yang membutuhkannya. Begitu seterusnya seakan membangun semacam rantai kebajikan yang berkesinambungan tanpa putus. Kita tidak ‘mengembalikan’ secara langsung budi baik sang penolong, namun melakukan replikasi tindakannya.

Apa sang penolong akan merugi karena kita tidak membalas langsung padanya? Kebaikan adalah self salvation, penyelamatan diri dari perasaan bersalah karena tak melakukan sesuatu –meski sebenarnya mampu – untuk mengulurkan pertolongan pada seseorang yang tengah dilanda kesusahan di depan mata. Seperti kita tahu perasaan bersalah itu ibarat kanker yang menggerogoti ketentraman jiwa seseorang secara perlahan-lahan, menghisap kebahagiaan dan energi hidup. Sebenarnya berbuat baik pada orang lain merupakan sebuah jalan untuk berbuat baik pada diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun