M Quraish Shihab (1994) menuturkan bahwa Nabi Ibrahim  alaihis salam hidup pada abad ke-18 SM dalam sebuah era dimana terjadi penyimpangan pemikiran seputar korban-korban (persembahan, tumbal) berwujud manusia. Tradisi mengorbankan manusia sebagai sesaji bagi para dewa atau leluhur dalam berbagai upacara ritual telah berlangsung jauh sebelum Ibrahim  dilahirkan. Suku Aztec di Meksiko, misalnya, mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa matahari. Dewa Baal yang dipuja masyarakat Kanaan-Irak diberi tumbal berupa bayi-bayi, bangsa Viking di Eropa Utara mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka untuk memuaskan Odin sang Dewa Perang dan gadis-gadis tercantik di Mesir harus rela ditenggelamkan sebagai persembahan bagi Dewi Sungai Nil.
Rabb Azza wa Jalla berkehendak menghentikan kejahiliyyahan yang sangat tidak beradab dan teramat sia-sia ini, maka lewat mimpi yang berulang Dia menitahkan Ibrahim a.s untuk menyembelih putra sulungnya Ismail a.s. Kepatuhan kedua insan mulia itu didasari kesadaran yang sangat tinggi akan Kemahabesaran dan Kemahakuasaan Rabb hingga rela yang mempersembahkan apapun yang paling berharga, termasuk jiwa anak tercinta, untuk memenuhi titahNya.
Saat kepasrahan mencapai puncak, ketika pisau di tangan Ibrahim siap menyayat nadi leher Ismail  alaihis salam, maka dalam sekejap Ar-Rahim menggantikannya dengan seekor domba gibasy yang sehat dan gemuk. Demikianlah, tak akan pernah sia-sia loyalitas mutlak terhadap Rabb karena kasih sayangNya yang Maha Suci tak akan membiarkan kita terperosok dalam perbuatan keji.
Bertitik-tolak dari sejarah Ibrahim alaihis salam dan Ismail  alaihis salam inilah kemudian Rabb menegaskan,"Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai padaNya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira pada orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Hajj, 22:37).
Lewat kehendakNya menggantikan Ismail dengan seekor gibasy, Allah Swt menekankan bahwa pada diri manusia bukanlah tubuhnya yang harus dikurbankan melainkan quwwatun bahimiyyah (hawa nafsu kebinatangan yang mendorong pada kepuasan lahiriah/seksual) dan quwwatun sab'iyyah (hawa nafsu binatang buas yang memacu kita menyerang atau memakan hak orang lain) yang bersarang di dalam jiwa manusia. Kedua nafsu itulah yang harus ‘disembelih' alias dikendalikan sebaik mungkin dalam upaya mempersembahkan takwa kualitas terbaik pada Rabb.
Selain itu penyembelihan hewan kurban juga mengandung muatan kesalehan sosial yang merupakan satu sisi pewahyuan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah Swt menjabarkan hal itu dalam firmanNya,"...Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan terikat kaki-kakinya). Kemudian bila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang-orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur." (QS Al-Hajj, 22:36).
Penyembelihan hewan kurban juga seyogyanya dijadikan media untuk mensyukuri segenap anugerah Rabb yang telah dan akan diterima sepanjang keberadaan kita sebagai mahlukNya. Nikmat terbesar adalah sebagaimana yang dinyatakan Rabb dalam kutipan QS Al-Hajj, 22:37 di atas, yakni petunjuk atau hidayah yang tersampaikan melalui keturunan (terlahir dalam keluarga Muslim) maupun yang menyentuh kita lewat dakwah para ulama (menjadi mualaf dan dimampukan istiqamah sebagai Muslim sampai akhir hayat). Lantas jangan lupa pula bersyukur karena Rabb telah menundukkan alam semesta -termasuk hewan-hewan kurban- agar kita dapat menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi.
Mari kita awali perayaan Idul Adha tahun ini dengan meneladani Rasul Saw menjalankan puasa sunnah sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut :
‘Tak ada hari yang lebih disukai Allah dimana kita mengerjakan amalan-amalan di dalamnya, atau lebih utama kita beramal di dalamnya selaian dari puluhan pertama bulan Zulhijjah. Bertanya seorang sahabat,"Apakah lebih utama juga dari jihad?" Jawab Rasulullah,"Ya, melebihi jihad juga kecuali (jihad dari) seorang lelaki yang keluar (pergi jihad) dengan diri dan hartanya dan pulang kembali tidak dengan membawa apa-apa (tidak menuntut bagian dari harta rampasan perang)." (HR Abdur Razak dari Ibnu Abbas r.a.).
Puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 1-9 Zulhijjah bagi mereka yang tidak sedang menunaikan ibadah haji merupakan bagian dari jihad akbar ‘penyembelihan' hawa nafsu agar dapat mempersembahkan takwa kualitas tertinggi ke hadiratNya. Selain itu puasa Arafah yang dilakukan pada 9 Zulhijjah juga memiliki keutamaan yang merupakan bukti kasih sayang Rabb pada hamba-hambaNya sebagaimana dijelaskan Nabi Saw,"Puasa di hari Arafah menutup dosa dua tahun, tahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang." (HR Muslim dari Abu Qatadah r.a.).
Berkurbanlah dengan kemampuan terbaik dan agungkan Kemahabesaran Rabb sepenuh hati,"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walilaahilhamd!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H