Bila jasad manusia adalah sebuah kerajaan, maka jiwa/ruh adalah raja yang melaksanakan fungsi pemerintahannya didampingi nalar sebagai perdana menteri ditambah nafsu yang bertindak selaku pemungut pajak dan amarah yang bertindak sebagai polisi. Kemampuan duet Raja – Perdana Menteri dalam mengendalikan dan mengeksplorasi potensi Pemungut Pajak – Polisi akan menentukan nasib kerajaan mereka di masa depan, apakah akan terpuruk ke esensi terendah bersama hewan/setan atau mampu mencapai esensi tertinggi setara malaikat dalam keberadaannya sebagai manusia.
Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Tusi al-Shafi’I al-Ghazali yang kemudian lebih dikenal sebagai Imam Al-Ghazali dalam bukunya Kimyatusy Sya’adah(Kimia Kebahagiaan) selanjutnya menulis bahwa Pemungut Pajak (nafsu), dengan dalih ‘mengumpulkan pajak’, memiliki kecenderungan untuk merampas apa saja demi kepentingannya sendiri dan Polisi (amarah) akan menuntun pada perilaku kasar yang pada akhirnya memicu tindak kekerasan. Namun kedua potensi destruktif itu tidak boleh dibunuh melainkan harus dikelola sedemikian rupa agar senantiasa patuh pada titah Sang Raja (jiwa) dan tidak diberi kesempatan untuk mengungguli Sang Perdana Menteri (nalar).
Manusia terlahir membawa tiga sifat dasar, yakni sifat hewan, setan, dan malaikat. Kehidupan hewan hanya berorientasi pada makan, tidur, dan berkelahi; sedangkan setan sampai kiamat kelak selalu disibukkan dengan mensosialisasikan kejahatan, kelicikan, dan tipu muslihat. Sementara malaikat yang terbebas penuh dari sifat-sifat kebinatangan selalu sibuk merenungkan keindahan Rabb Azza wa Jalla. Keberadaan sifat hewan dan setan dalam diri manusia merupakan semacam  ajang rodeo bagi Raja-Perdana Menteri, bila mereka mampu memenangkan pertandingan, maka kedua sifat itu dapat dijadikan kuda tunggangan sekaligus senjata untuk menjajaki pertandingan-pertandingan selanjutnya yang akan terus berlangsung sampai ke akhir hayat. Termasuk di dalamnya gesekan-gesekan yang harus dihadapi saat berinteraksi dengan kerajaan (manusia) lain. Kecerdasan dalam mengelola sifat setan/hewan dalam diri yang merupakan warna dominan dalam nafsu/amarah pada akhirnya akan menentukan jenis hidup yang akan dijalani.
Hidup adalah anugerah kemerdekaan dalam menentukan mau bahagia atau menderita, semuanya terserah kita. Bila memutuskan untuk bahagia, maka pahamilah bahwa kebahagiaan memiliki kaitan yang sangat kuat dengan pengetahuan tentang Rabb. Fungsi tertinggi jiwa manusia, menurut Al-Ghazali, adalah menyerap kebenaran dan mendapatkan kesenangan dari proses tersebut. Kebenaran diperoleh berdasarkan pengetahuan yang dihimpun dari berbagai percobaan, kajian, dan pengalaman hidup. Seseorang yang diangkat menjadi menteri tentunya akan merasa senang karena dengan posisi tersebut dia bisa memperoleh akses informasi tentang segala hal di departemen yang dibawahinya dan menemukan fakta-fakta (kebenaran) yang memuaskan rasa ingin tahunya semasa belum berada di posisi tersebut. Kesenangan akan bertambah saat dia berhasil mencapai posisi presiden karena porsi materi pengetahuan yang dibutuhkannya untuk mencapai kebenaran pun akan menjadi lebih besar lagi.
Jika materi pengetahuan dalam posisi presiden saja sudah membahagiakan, maka bayangkan kebahagiaan yang dapat diperoleh saat bertemu dengan materi pengetahuan yang berkaitan dengan keberadaan Sang Maha Presiden? Takkan ada manusia yang bisa mencapai posisi Rabb sampai kapan pun, maka pencarian kebenaran melalui proses penambahan pengetahuan tentang Dia secara terus menerus yang hanya bisa terhenti saat ruh meninggalkan jasad akan terus melahirkan kesenangan-kesenangan jiwa yang nantinya dalam jangka panjang akan membangun kebahagiaan hakiki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H