Mohon tunggu...
Humaniora

Catatan Kecil "Jagal dan Senyap"

31 Oktober 2016   08:48 Diperbarui: 31 Oktober 2016   12:08 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kurang lebih dua tahunan silam, ada dua film dokumenter yang dirilis secara berurutan, dengan selang waktu tidak begitu lama. Keduanya adalah "Jagal" (The Act of Killing) dan "Senyap" (Look of Silence), dan sama-sama garapan sutradara asal Amerika, Joshua Oppenheimer. Keduanya sama-sama bercerita tentang pembantaian massal atas orang-orang yang dituduh makar atau terlibat partai terlarang di tahun 1965. Bedanya, yang pertama bercerita dari sisi para pembantainya, para jagalnya, sedangkan yang terakhir bercerita dari sisi korbannya. Korban di sini, maksudnya, adalah keluarga atau ahli waris korban pembantaian tersebut yang masih hidup, dimana sehari-harinya mereka berjuang sekuat tenaga menghilangkan trauma.

Kedua film tersebut konon tidak mendapat rekomendasi penuh dari LSF, sehingga tidak bisa beredar secara leluasa dan kurang mendapat perhatian publik. Khusus "Senyap", LSF membolehkan hanya boleh dikonsumsi oleh kalangan terbatas. Di sisi lain, di dunia internasional, keduanya meraih banyak penghargaan bergengsi untuk kategori film dokumenter.

Saya berkesempatan menonton kedua film tersebut tidak melalui layar lebar (di gedung bioskop), atau melalui file yang (biasanya) saya peroleh dari warnet, tetapi langsung di Youtube. Melalui Youtube, kita bisa menonton kapan saja jika ada waktu. Di sisi lain, kita juga bisa tahu berapa orang yang sudah mengakses film tersebut, dan bagaimana rupa-rupa komentarnya, dari yang membela habis-habisan atas peristiwa pembantaian tersebut, sampai yang sebaliknya: membela mati-matian para korban pembantaian dan ahli warisnya.

Setelah menonton kedua film tersebut, saya tercenung lama, merenung, sesekali menghela nafas agak panjang, dan akhirnya menyimpulkan beberapa catatan berikut ini:

Pertama, di zaman sekarang ini, di mana masyarakat makin terdidik dan kran informasi terbuka luas tanpa batas melalui sokongan perangkat sains dan teknologi yang terus berkembang, sesungguhnya bukan saatnya lagi kita mengatur-ngatur masyarakat tentang apa yang boleh ditonton dan apa yang terlarang ditonton. Masyarakat sudah semakin cerdas, jadi yakinlah bahwa mereka bisa memilah dan memilih tontonan mereka sendiri, menjumput pesan yang disuguhkan, serta bisa menyimpulkan sendiri kebenaran di balik sebuah tayangan. Jangan anggap rakyat bodoh. Masyarakat yang melek teknologi dan terdidik tak akan galau hanya karena larangan atas sebuah film oleh LSF (Lembaga Sensor Film). Mereka bisa menontonnya di media online,yakni Youtube, bahkan sembari memberi komentar secara langsung sesuai hati nurani masing-masing. Siapa yang bisa membatasi atau melarang media online semacam Youtube? Tidak ada. Jadi kalau hare gene masih main larang-melarang model apa pun terkait dengan tayangan sebuah karya seni, sebenarnya percuma saja! Itu sama saja kita melarang orang-orang untuk merokok, membatasi peredaran rokok, apalagi sampai menaikkan harga rokok, demi alasan kesehatan dan tetek bengek argumen lainnya blablabla. Kaum perokok akan selalu punya alasan dan argumen untuk tetap merokok, serta senantiasa punya celah pikir dan inisiatif agar bisa tetap merokok.

Kedua, sebuah karya sinematik yang baik ternyata tidak mesti mengacu pada rumusan umum nan klise, bahwa: bugdet harus besar, artis mesti ternama, teknik efek visual dan sound yang memesona, alur cerita yang memukau, dsb. Film "Jagal" dan "Senyap", bisa dipastikan menggunakan budget yang cukup murah, setidaknya dari sisi bahwa keduanya tidak membutuhkan aktor atau bintang film sama sekali. Dalam film "Jagal", rerata pemerannya adalah para pelaku pembantaian 1965 sendiri. Karena lokus utamanya adalah di daerah Sumatera, maka para jagal yang mendapat porsi peran di film ini adalah anggota salah satu ormas terkenal itu (berafiliasi pada salah satu parpol, dan isinya para preman) yang terlibat seperti Anwar Congo, Adi Alkadry, dll. Mereka disetting untuk berakting secara alamiah, mengalir saja, mengunjungi tempat-tempat penjagalan, dan di situ mereka diminta merekonstruksi apa saja yang mereka lakukan dalam posisinya sebagai penjagal, sedetil mungkin dan sepenuh perasaan. Terkadang mereka sesekali juga diminta berperan sebagai korban sedemikian rupa, seekspresif mungkin, sesuai dengan ingatan mereka atas para korban 50 tahunan yang lalu itu; ketakutannya, kengeriannya, stresnya, sekaratnya, dll. Hanya berperan demikian saja, karena begitu dijiwai oleh pelakunya langsung, membuat saya (dan juga penonton lainnya, barangkali) menjadi larut terbawa suasana; emosional, histeris, pokoknya perasaan tak karuan, tidak berkedip menit demi menit saat menyaksikannya. Bahkan di sebuah situs jagal, ketika memerankan bagaimana ia menjagal ratusan orang dengan sadisnya, Anwar Congo sendiri sampai muntah-muntah karena terbawa oleh suasana waktu itu.

Begitupun film "Senyap", ia hanya menyuguhkan cerita tentang sosok Adi Rukun, kedua anaknya, beserta kedua ayah ibunya yang sudah renta. Mereka adalah keluarga dari Ramli (kakak kandung Adi), seorang aktivis partai terlarang, yang menjadi korban pembantaian. Keluarga ini mengalami trauma, stigma, dan diskriminasi selama berpuluh-puluh tahun, terhitung sejak peristiwa jagal itu. Dipilihnya Adi Rukun, alasannya Ramli adalah salah satu korban dalam pembantaian Sungai Ular (Medan, Sumut) yang mengalami penyiksaan dan cara pembunuhan paling mengerikan di antara korban-korban yang lain. Di film "Senyap", selain menayangkan tentang bagaimana perasaan terdalam Adi dan keluarganya, terutama kedua orangtuanya yang sudah renta, juga perjalanan Adi menemui orang-orang yang bertanggungjawab dalam pembantaian tersebut, satu demi satu; menanyakan bagaimana kronologi peristiwa tersebut, siapa yang memerintahkan, di mana lokasinya, termasuk menanyakan bagaimana perasaan moral mereka atas perbuatan mereka itu? Apakah mereka merasa menyesal, merasa berdosa? Jika ya, sudikah mereka meminta maaf? Atau sebaliknya, mereka merasa biasa-biasa saja, merasa tak bersalah, bahkan merasa dirinya sebagai pahlawan?

Ketiga, kedua film tersebut seakan-akan mengkonfirmasi ungkapan klise selama ini bahwa sejarah dicatat seringkali bukan sesuai fakta obyektif, tetapi tergantung siapa yang menang. Dalam hal ini, karena yang kalah adalah orang-orang yang dituduh makar atau terlibat partai haram (dan anak cucunya), maka yang tertulis dalam sejarah adalah bahwa merekalah sang pecundang busuk dan tak berperikemanusiaan, bahkan tak bertuhan. Sedangkan sang pemenang, Orba, sebaliknya, adalah pahlawan negara, penyelamat bangsa, yang jasa-jasanya tiada tara menjaga Pancasila dari rongrongan kelompok makar yang anti Tuhan. 

Salah satu kesan terdalam tentang para pelaku makar itu, yang kita jumput dari buku-buku dan film-film di era Orba adalah, bahwa mereka kejam, sadis, tidak berperikemanusiaan, terutama ketika mereka menyiksa dan membunuh lawan-lawan politiknya. Kesan inilah yang kemudian menjustifikasi pengaminan, bahwa operasi penumpasan atas mereka itu adalah sah-sah saja, dengan dalih bahwa itu sebagai balasan setimpal atas perbuatan mereka sebelum 1965. 

Namun, kedua film tersebut, “Jagal” dan “Senyap”, seakan-akan membantah kesan tersebut secara menohok. Apa yang direkonstruksikan oleh para jagal macam Anwar Congo dan Adi Alkadry, juga sesuai pengakuan lisan mereka, menunjukkan bahwa aksi mereka tak kalah kejam dibanding apa yang konon dilakukan oleh para korban itu kepada kita sebelumnya. Adi Alkadry bahkan mengatakan, dirinya heran jika kita berkoar-koar bahwa mereka (pelaku makar, pengikut ormas terlarang) itu kejam, sedangkan dia dan para jagal dikesankan sebaliknya. Benar memang bahwa mereka itu kejam. Tetapi, kata Adi Alkadry, dia lebih kejam lagi dalam memperlakukan kaum makar atau yang dituduh terlibat ormas haram itu. Hampir semua cara tersadis yang mungkin tak terbayangkan oleh kita, mereka terapkan ketika menyiksa atau menghabisi nyawa para korban.

Keempat, menonton kedua film ini saya jadi semakin yakin, atau setidaknya sangat berharap, bahwa alam akhirat itu ada. Sebab, dalam keyakinan tentang akhirat, dinyatakan bahwa ada alam pasca kematian, yang di sana kita akan mendapat keadilan sejati, yang mungkin tidak kita peroleh selama di dunia. Dalam tayangan kedua film ini tampak, betapa para jagal 1965 itu sekarang masih menikmati sisa-sisa hidupnya dengan bebas leluasa, gembira dan bahagia. Korban aksi jagal mereka itu bukan hanya satu dua orang, belasan atau puluhan, tetapi bahkan ratusan. Apakah secara hukum para jagal itu salah? Wallahua’lam. Karena sejauh ini mereka tak pernah diproses, dan itu terjadi mungkin karena kondisi sosial politik sekarang yang masih memihak mereka. Apakah secara moral mereka bersalah? Wallahua’lam. Moralitas itu sangat-sangat subyektif. Adi Alkadry, misalnya, ia berapologi untuk menjustifikasi aksi jagalnya, kurang lebih: “Karena saya yang menang, maka sayalah yang mendefinisikan sejarah. Bagi saya, apa yang saya lakukan waktu itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan, sesuatu yang harus saya lakukan. Sebab, kalau kita tidak membunuh, maka kitalah yang akan dibunuh.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun