Film Hollywood yang cukup anyar, American Sniper, berkisah tentang pengalaman seseorang penembak runduk (sniper) AS bernama Chris Kyle. Di banyak medan perang ia selalu memiliki kenangan tak terlupakan. Kenangannya yang terdalam adalah saat ia ditugaskan di Irak, antara 2003-2009, yang lalu ia tuangkan dalam sebuah buku otobiografi, American Sniper: The Autobiography of the Most Lethal Sniper in US Military History (2012). Ia menulisnya bersama dengan Scott McEwen dan Jim DeFelice. Oleh Jason Hall, buku tersebut menjadi rujukan utama penulisan skenario American Sniper itu.
Tokoh sentral film ini tentu saja adalah Chris Kyle. Saat di Irak, kiprahnya sebagai seorang sniper Navy SEALs sangat menonjol dalam melindungi teman-teman di kesatuannya. Selama tugasnya itu, setidaknya ia telah menembak mati 160 orang musuh. Kawan-kawan di kesatuannya sampai menyebut Chris sebagai legenda. Di sisi lain, dia dijuluki sebagai Shaitan al-Ramadi (the Devil of Ramadi) oleh musuh-musuhnya. Tentu saja, yang disebut musuh ini tidak lain adalah warga Irak, persisnya milisi Al Qaeda, yang oleh Paman Sam dianggap teroris.
Chris Kyle adalah seorang yang religious, yang sejak kecil telah ditanami idealisme tentang spirit untuk melindungi keluarga dan orang-orang yang lemah. Spirit inilah yang menjadi motivasi penting Chris Kyle untuk bergabung dalam angkatan bersenjata AS. Masuk di situ, akhirnya dia dilatih untuk menjadi seorang sniper handal satuan elite di Navy SEALs.
Ujian terberat Chris adalah ketika ditugaskan di Irak, dan inilah sejatinya episode terpenting yang dibidik oleh film ini. Ada pergulatan batin dalam diri Chris, bahwa kecakapannya sebagai sniper justru bertentangan dengan idealismenya untuk melindungi orang lain. Sebagai seorang sniper, salah satu tugasnya adalah melindungi kawan-kawannya dari serangan musuh. Maka ia harus menembak lawan yang diduga akan melakukan aksi yang membahayakan jiwa kawan-kawannya. Chris mengalami pergulatan batin yang sangat serius ketika secara terpaksa harus menembak seorang anak dan seorang perempuan yang hendak menyerang tentara AS. Di satu sisi, sesuai ajaran yang diterimanya sejak kecil di dalam keluarganya, seharusnya dia melindungi perempuan dan anak Irak itu. Ditambah lagi, dalam kebimbangan memilih tindakan itu, Chris teringat anaknya di rumah, yang juga masih kecil, kurang lebih seusia dengan anak Irak pembawa misil itu. Tetapi, di sisi lain, ia harus bertindak cepat: menembak mati keduanya, karena mereka berupaya menyerang tentara AS. Karena, jika keduanya dibiarkan hidup, maka nyawa rekan-rekannya yang terancam.
Maka, di tengah seabreg sisi yang coba ditampilkan dalam film ini, entah dari aspek tokoh, alur, seting, gaya cerita, dst, sesungguhnya cerita yang hendak disuguhkan jelas, yakni tentang seorang tentara yang begitu mencintai negara dan teman-temannya (dalam kesatuan militer). Pesannya juga tegas, bahwa nasionalisme itu nomer satu; bahwa membela negara, membela korps, itu harus diutamakan melebihi apa pun, lebih tinggi dari segala tetek-bengek nilai-nilai moral tentang cinta kasih, empati, bela rasa, dsb.
***
Stereotip
Film ini sempat cukup fenomenal dan jadi box office. Sebabnya mungkin banyak, tetapi saya pikir lebih dikarenakan dua faktor saja. Pertama, faktor Bradley Cooper yang memerankan sosok Chris Kyle dengan apik. Perjalanan hidup Chris Kyle diterjemahkan oleh Cooper dengan akting yang terlihat natural dan tidak lebay. Tanpa harus tampak cengeng, akting Cooper sangat klop untuk mengekspresikan gejolak batin Kyle ketika berada di medan perang maupun pada saat cuti menemui keluarganya. Sangat masuk akal mengapa Cooper masuk nominasi aktor terbaik Oscar 2015 atas perannya sebagai Chris Kyle, meski film ini akhirnya hanya menyabet editing suara terbaik (best sound editing).
Kedua, penggambaran seting dan alurnya yang semakin meneguhkan stereotip buruk tentang Arab dan Islam. Komite Anti Diskriminasi Arab-Amerika (ADC) bahkan bereaksi keras atas film ini, dan meminta Clint Eastwood bertanggungjawab, karena pasca peredaran film ini menyeruak teror dan ancaman terhadap kaum Muslim dan Arab, khususnya melalui media sosial.
Film ini seperti memberi pesan mendalam kepada penonton, bahwa rerata orang Arab dan Muslim (khususnya di Irak) itu teroris, pendukung Al Qaeda, dan bahkan perempuan dan anak-anak pun ikut mengangkat senjata. Padahal, kalau mau jujur, pun bila kenyataan itu benar adanya, siapa sebenarnya yang memicu sengkarut dan huru-hara di Irak. Amerikalah sejatinya, dengan dimotori oleh Bush, yang jadi biang kerok dari semua krisis multidimensi di Irak yang bahkan hingga hari belum kunjung selesai.
Ironisnya, film ini, sebagaimana film Hollywood umumnya, justru membuat pencitraan parah dengan menempatkan Amerika —yang direpresentasikan oleh Chris Kyle— sebagai hero, sedangkan warga Irak digambarkan adalah teroris dan jahat. Okelah, dan sila beralasan, bahwa film ini didasarkan pada kisah nyata. Namun, kenyataannya pula film ini telah berperan meningkatkan sentimen anti Arab dan fobia Islam di AS, sehingga secara tidak langsung ikut menguatkan stereotip bahwa Islam agama teroris.
Bias
Senyata apa pun sebuah naskah cerita, tidak mungkin bisa digambarkan apa adanya, obyektif, ketika diterjemahkan dalam karya sinema. Sebab, film memiliki keterbatasan, belum lagi soal subyektivitas insan perfilman (khususnya produser dan sutradara). Soal yang terakhir ini, subyektivitas, sudah rahasia umum bahwa film-film Hollywood yang bertema perang acap kali cuma menonjolkan pencitraan dan propaganda AS, untuk menunjukkan kesan bahwa Paman Sam itu pahlawan, baik, polisi dunia, selalu menang dan terhebat, sedangkan musuh-musuhnya itu buruk, jahat, teroris, dan pecundang.
Demi pencitraan dan propaganda inilah, sebuah karya sinema berlabel “based on true story” ala Hollywood tidak bisa lepas dari faktor kepentingan (interest), dan demi kepentingan ini terkadang terlalu banyak bumbu dalam alur dan gaya cerita. Masih mending jika bumbu-bumbu itu logis, natural, kita mungkin masih bisa maklum. Tetapi, bagaimana jika aneh, berlebihan, dan bahkan bias? Tentu saja jadi menjijikkan.
Hemat saya, ada sebuah bias parah dalam salah satu adegan di film ini, yang secara tidak sadar akan menggiring penonton pada kesan bahwa ketaatan relijius berbanding lurus dengan radikalisme. Jika pesan ini tertangkap dengan baik di benak penonton, wow, berbahaya sekali! Sebab, ia akan melahirkan sebuah wawasan yang salah bahwa para penganut ideologi radial kebanyakan adalah Muslim taat. Persisnya, mereka adalah orang-orang yang saleh, ahli ibadah, selalu berusaha mendekat pada Allah.
Semakin saleh dan khusyuk, semakin radikal dan fundamentalislah mereka. Wawasan salah kaprah inilah yang memberi justifikasi pada polisi dan aparat, tidak hanya di AS, tetapi juga di banyak kawasan lain, untuk curiga, diskrimintif, dan akhirnya main tangkap pada para aktivis dan imam masjid, ustaz, ulama, dst, hanya karena secara lahiriah mereka menampilkan kepribadian yang saleh dan khusyuk.
Saya sempat terhenyak dengan adegan ketika Chris, dari atas gedung tinggi nan jauh di Baghdad, melihat sebuah mobil sedan bewarna biru yang berjalan cepat ke arah pasukan Amerika. Chris sangat yakin bahwa mobil itu akan mencelakai kawan-kawannya. Pengemudinya pasti si teroris Irak yang membawa bom. Pasukan AS pun berpikiran sama, sehingga mereka menghujani mobil itu dengan peluru.
Tetapi, mobil itu tetap melaju ke arah tentara AS. Tanpa pikir panjang, Chris menembak sang pengemudi. Dor, dan benar saja, mobil berjalan terhuyung-huyung, memelan, dan tidak lama kemudian sang pengendara meledakkan bom di tangannya. Mobil meledak hebat, tetapi jaraknya dengan rombongan serdadu AS masih jauh.
Ada adegan detik-detik sesaat menjelang sang pengendara meledakkan dirinya. Tampak ia memegang tasbih, dan seakan-akan ia tengah berzikir khusyuk sebelum memartirkan dirinya. Jelas sekali, secara lahiriah setidaknya sang bomber itu adalah Muslim yang taat, yang khusyuk, yang ingin selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Cuma, yang ditangkap penonton, di balik kekhusyukan dan kesalehannya itu bersemayam pula wawasan teologis yang dianutnya dengan khidmat, yakni teologi kematian.
Teologi ini sekurang-kurangnya mengajarkan bahwa mati itu lebih utama dari hidup, bahwa mereka yang tidak sejalan dengan keyakinan kita (kafir) itu pantas mati, dan bahwa kematian kita dalam memerangi orang kafir itu adalah kematian syahid. Orang mati syahid itu mulia dan berbalas surga, ada 70 bidadari yang siap menyambutnya di sana.
Cacat Antropologis
Menghubung-hubungkan kesalehan dengan radikalisme memang sah saja, tergantung subyektivitas dan mind set seseorang (baca: produser, sutradara, dll). Hanya saja, yang musti disadari secara jernih, kaum Muslim saleh yang radikal itu hanya segelintir orang saja. Mereka minoritas. Mereka membajak Islam yang damai dan anti kekerasan dari kaum Muslim mayoritas.
Lebih dari itu semua, ada problem mendasar di sini, ketika kesalehan yang dimaksud itu lalu disimbolkan dengan tasbih, sehingga menghampirkan pada kesimpulan sepintas bahwa tasbih itu identik dengan radikalisme. Ini bukan saja cacat secara antropologis, tetapi juga menyesatkan.
Akhir 2014 lalu, ISIS memenggal seorang laki-laki yang dituduh sebagai penyihir. Bukti yang diajukan untuk tuduhan tersebut sepele sekali, hanya selembar kain hijau dan tasbih. ISIS berkeras dengan tuduhannya itu, dan tetap mengeksekusi lelaki tersebut, meski ada tanggapan yang berkembang di masyarakat Tikrit, Irak, bahwa lelaki tersebut sesungguhnya bukan tukang sihir, tetapi hanya pengikut ajaran tasawuf, persisnya anggota tarekat (ordo sufi) Naqsabandiyah.
Agaknya, apa yang diyakini oleh publik ini lebih masuk akal. Kita tahu, bahwa dalam tradisi tasawuf, tarekat, dikenal aneka manual dan ritual zikir, wirid, dengan bilangan tertentu, sehingga sangat lazim untuk menggunakan tasbih. Di Indonesia, tasbih tidak hanya identik dengan tasawuf dan tarekat, tetapi sudah merupakan khas dan menjadi ciri utama dalam tradisi keagaaman warga Nahdliyyin pada umumnya, dan sebagian kecil warga Muhammadiyah. Lebih dari itu, NU sendiri sudah identik sekali dengan tradisi tarekatnya.
Saya bisa pastikan, kebiasaan zikir menggunakan biji-biji tasbih tidak berlaku di kalangan Muhammadiyah fanatik, MTA, atau kaum puritan macam salafi, Wahhabi, apalagi para penganut dan pendukung ideologi ISIS. Sebab, di kalangan yang disebut terakhir ini tasbih dianggap "BB" (barang baru alias barang bid'ah) yang tidak ada dasar rujukan praktik dan teladannya sejak zaman Nabi dan sahabat.
Tetapi, apa perlunya membedakan tukang sihir dan kaum sufi bagi ISIS? Bagi kaum khawarij abad 21 ini, mereka (tukang sihir & sufi) itu sama saja: kafir. Ideologi Wahhabisme yang mereka anut mengajarkan, bahwa kaum sufi itu kafir, dan bahwa tradisi apa pun yang tidak ada teladan dari Nabi, termasuk menggunakan tasbih, adalah bidah sesat yang hanya akan mengantar ke neraka.
Jadi ya mereka santai saja memenggal sang lelaki tua itu. Seandainya tuduhan ISIS itu keliru (yakni bahwa lelaki itu adalah pengikut tarekat Naqsabandi, bukan tukang sihir), maka tetap saja mereka punya alasan untuk menyembelihnya, karena ia kafir yang halal darahnya, ditambah lagi pelaku bidah pula.
Maka saya heran dan bengong ketika Clint Eastwood menggambarkan seorang bomber mobil Al Qaeda memegang tasbih dan berzikir sebelum meledakkan dirinya. Dengan logika jongkok saja, berdasar asumsi-asumsi di atas, sangat tidak masuk akal mengasosiasikan tasbih dengan radikalisme (Islam) dalam film tersebut. Al Qaeda (dan kaum radikal Islam pada galibnya) adalah kelompok teroris yang berpaham Wahhabi, setipikal dengan ISIS, yang tentu saja mengharamjadahkan tasbih.
Karena settingnya di Irak, maka tasbih hanya mungkin identik dengan kaum tarekat/sufi dan tukang sihir. Kaum sufi, di mana pun adanya, secara umum adalah komuntas anti kekerasan yang menjauhi, dan menghindarkan diri dari, jihad/perang secara fisik. Mereka lebih konsern untuk berjihad secara batin, memerangi ego dan nafsu. Sedangkan tukang sihir, buat apa susah-susah berperang dan bahkan membunuh diri melawan tentara. Tidak ada hubungan sama sekali tetek bengek perang, agama, dll dengan praktik sihirnya.
Makanya sangat masuk akal jika di Indonesia American Sniper tidak laku. Karena, saya pikir, adegan bomber mobil Al Qaeda membawa tasbih itu bukan saja sebuah penggambaran yang konyol dan bodoh, aneh dan wagu, cacat secara antropologis, tetapi menyakitkan. Mayoritas kaum Muslim Indonesia, terutama warga Nahdliyyin dan sebagian Muhammadiyyin, secara kultural sudah melekat dengan biji-biji tasbih sebagai bagian penting ibadah. Mereka adalah bagian dari kaum Muslim Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang toleran, cinta damai, anti peperangan, yang justru sangat anti terhadap ideologi radikal. Wallahu a’lam.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H