Mohon tunggu...
Humaniora

Sedikit Anak Banyak Rezeki

7 September 2015   21:56 Diperbarui: 7 September 2015   21:56 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kitab Masikhah al-Suhrawardiy, ada juga hadis senada, namun dikategorikan sebagai hadis mauquf (sanadnya berhenti di tingkat sahabat). Redaksi dalam kitab tersebut sbb: Dari ‘Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah, katanya: Saya mendengar Umar berkata: Nabi Saw mendengar seorang laki-laki berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari cobaan yang meletihkan (jahd al-bala’), banyak anak, dan sedikit harta.” Inilah yang menjadi alasan kenapa hadis ini mauquf, karena hanya sampai pada kesaksian Umar, tanpa ada kejelasan apakah Nabi Saw mengamini atau menyelisihi doa yang diucapkan si laki-laki tersebut. Maksudnya, mungkin, bahwa seseorang akan merasa letih atau lelah yang luar biasa, baik secara lahir maupun batin, karena harus mencukupi nafkah untuk anak-anak dalam jumlah yang banyak, tetapi di sisi lain ia tidak memiliki kecukupan secara materi.

Itulah kenapa, masih berkaitan dengan pengertian ini, sahabat Ibnu ‘Abbas pernah berkata: “Sesungguhnya banyak anak itu satu dari dua kefakiran, sedangkan sedikit anak adalah satu dari dua kemudahan” (ﺍﻥ ﻛﺜﺮﺓ ﺍﻟﻌﻴﺎﻝ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﻔﻘﺮﻳﻦ ﻭﻗﻠﺔ ﺍﻟﻌﻴﺎﻝ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﻴﺴﺎﺭﻳﻦ). Dua kefakiran, artinya banyak dan sedikit nafkah (harta) yang dimiliki, sedangkan dua kemudahan artinya sedikit anak dan banyak harta (nafkah). Ketika seseorang memiliki anak yang sedikit, maka ia telah diberi satu kemudahan, karena terbebas dari satu di antara dua keburukan, yakni banyak anak. Jadi, meskipun seseorang itu miskin, tetapi anaknya sedikit, maka berarti ia mendapat satu kemudahan, karena di tengah kemiskinannya ia tidak menanggung nafkah yang berat. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang berharta melimpah, ia sama halnya telah diberi satu kemudahan, karena kalaupun harus menanggung nafkah anak-anak dalam jumlah banyak, itu sudah berbanding lurus. Yang ideal adalah mendapat dua kemudahan (al-yasarain) sekaligus, yakni harta (materi) yang banyak sedangkan jumlah anak sedikit. Sebaliknya, yang mengenaskan adalah tertimpa dua kefakiran sekaligus, yakni banyak anak disertai materi (harta) yang sedikit, dan inilah yang disebut Nabi Saw sebagai jahd al-bala’ itu.

 

Logika Takdir

Kaum konservatif itu masih saja kukuh sembari mengajukan logika teosentrisme, bahwa sedikit atau banyak anak yang kita miliki, semua itu adalah urusan Allah semata. Kita tidak punya peran apa pun dalam menentukan jumlah anak kita. Allah-lah yang menentukannya. Maka berapa pun anak yang kita miliki, itu semua sudah kehendak Allah. Selain itu, Allah juga menjamin rezeki setiap anak kita. Maka, semakin banyak anak, semakin banyak rezeki. Itulah yang kemudian melahirkan slogan di kalangan orangtua kita: banyak anak banyak rezeki.

Tentu saja, kita sepakat penuh bahwa berapa pun jumlah anak kita, rezeki mereka, semuanya adalah bagian dari takdir Allah Swt. Namun, ada yang harus dipahami secara mendasar tentang takdir ini. Pertama, bahwa takdir adalah domain Allah sang khalik, sedangkan domain kita sebagai makhluk adalah berusaha atau ikhtiar(kasb). Kedua, takdir berada di ranah hasil akhir, sedangkan ikhtiar di ranah proses. Kita tidak boleh mengintervensi apa yang menjadi domain Allah, sehingga kemudian tak mau berusaha dan menyerahkan sepenuhnya pada kerja Tuhan. Sebaliknya, kita harus berusaha sepenuh jiwa raga untuk menggapai keinginan-keinginan kita dalam hidup. Pun, selagi kita masih berusaha, maka kita sedang berproses, sehingga tidak bisa menerima apa yang menjadi takdir kita (baik atau buruk) sebelum sampai pada hasil akhirnya.

Doa kita saban hari, yakni meminta kepada Allah agar dihindarkan dari jahd al-bala’, cobaan yang meletihkan, adalah ekspresi keinsyafan batin kita, pengakuan kita, atas kuasa Allah yang beroperasi di domain takdir dan hasil akhir itu (jumlah anak dan porsi rezeki). Kita sadar sepenuhnya, bahwa hanya Allah semata yang berkuasa menentukan jumlah anak yang akan kita miliki, besaran rezeki yang akan kita punyai, meski bagaimana pun usaha kita. Dengan doa tersebut, kita meminta kepada Allah, kiranya takdir yang Dia tentukan buat kita sedemikian hingga sesuai dengan keinginan kita, yakni memiliki sedikit anak (qillah al-‘iyal), bukan banyak anak (katsrah al-‘iyal), sembari memiliki banyak materi (katsrah al-syai’), bukan sedikit materi (qillah al-syai’). Keinginan seperti itu tentu yang terbaik, karena banyak anak dan sedikit harta adalah dua wujud kefakiran (al-faqran), sedangkan sedikit anak dan banyak harta adalah dua manifestasi kemudahan (al-yasaran). Siapa, sih, yang tidak memimpikan kemudahan (al-yasar)? Siapa, sih, yang sudi dihinggapi kefakiran (al-faqr).

Sedangkan usaha kita secara realistik dan rasional (mengikuti hukum sebab-akibat) adalah bentuk ikhtiar kita, wujud kepatuhan kita pada proses, dalam rangka menghampirkan takdir Allah pada apa yang kita inginkan. Ikhtiar kita dalam soal rezeki adalah bekerja sebaik-baiknya, semaksimal mungkin, agar hasilnya bisa mencukupi buat nafkah keluarga (baca: anak-anak kita). Sedangkan ikhtiar kita dalam hal besaran keluarga, dalam konteks sekarang, adalah dengan menempuh metode kontrasepsi, baik secara tradisional ataupun modern, di dalam rangka mengatur kelahiran, agar jumlah anak kita minimal. Adalah sebuah sikap yang fatalistik, dan ini terlarang, ketika di mulut saban hari kita meminta kepada Allah agar dilonggarkan rezekinya (katsrah al-syai’), tetapi praktiknya kita tidak pernah bekerja mencari nafkah; di lisan setiap saat kita meminta Tuhan agar diminimalkan besaran keluarganya (qillah al-‘iyal), tetapi praktiknya dua atau tiga hari sekali kita berhubungan suami-istri tanpa kontrasepsi. Itu sama saja jauh panggang dari api.

 

Penutup

Doa kita kepada Tuhan agar terhindarkan dari jahd al-bala’, secara tak langsung justru mematahkan mitos ataupun wawasan klasik bahwa “banyak anak banyak rezeki”, hal mana dalam konteks sekarang sama sekali sudah tidak relevan dan tidak realistik.  Dengan doa tersebut, kita justru diarahkan pada ideal yang sebaliknya, yakni “sedikit anak banyak rezeki”, dan inilah yang realistik di zaman sekarang, ketika populasi penduduk makin meningkat sementara kesediaan pangan, papan, energi, dsb di muka bumi makin berkurang. Secara menggelitik, sesungguhnya doa yang diajarkan Nabi SAW itu menyiratkan satu pesan penting, yakni bahwa kita harus menjadi kaya dan setiap PUS (pasangan usia subur) harus memakai alat kontrasepsi. Wallahu a’lam.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun