Mohon tunggu...
Humaniora

Benarkah Aisyah Dinikahi Rasul SAW Saat 6 Tahun?

15 Juli 2015   10:40 Diperbarui: 15 Juli 2015   10:52 2940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kritik Historik atas Riwayat

  1. Hitungan usia Siti Aisyah Ra harus dikaitkan dengan usia kakak perempuannya, yakni Asma’ binti Abu Bakar, si Dzatu al-Nathaqain. Setiap sumber sejarah paling awal menyebut tentang Asma’ ini, yakni bahwa (a) dia 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Seperti diriwayatkan secara seragam oleh sumber-sumber sejarah, bahwa (b) Asma’ lahir 27 tahun sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah, yang berarti bahwa (c) usia Asma’ ketika awal risalah kenabian (yakni tahun 610 M) adalah 14 tahun. Angka ini diperoleh dari (d) pengurangan atas usianya sebelum hijrah 13 tahun (yakni jangka waktu dakwah kenabian di Mekah), sebab 27 dikurangi 13 sama dengan 14 tahun. Jika sebagaimana disepakati oleh sumber-sumber sejarah itu secara mutlak bahwa Asma’ lebih tua 10 tahun dari Aisyah, maka (e) ini menjadi dasar kuat bahwa umur Aisyah ketika awal dakwah kenabian di Mekah adalah 4 tahun, atau bahwa dia (f) terlahir tepat 4 tahun sebelum awal mula turunnya wahyu, dan itu berarti dia lahir pada 606 M. Jika demikian halnya, maka menjadi jelas bahwa (g) Rasul Saw ketika menikahi Aisyah di Mekah pada tahun 10 kenabian, usia Aisyah adalah 14 tahun, sebab 4 + 10 = 14 tahun. Dengan kata lain bahwa (h) Aisyah lahir pada tahun 606 M, menikah dengan Nabi pada tahun 620 M, yang waktu itu usianya 14 tahun, dan sebagaimana diketahu bahwa Nabi berhubungan seks dengannya setelah tiga tahun lebih beberapa bulan setelah itu, atau di akhir tahun pertama Hijrah atau awal tahun ke 2, yakni tahun 624 H, sehingga (i) usia Aisyah ketika itu adalah, 14 + 3 + 1 = 18 tahun pas. Itulah usia yang sesungguhnya kapan Nabi menikahi Aisyah dan berhubungan badan dengannya.
  2. Hitungan usia Aisyah juga harus dikaitkan dengan wafat sang kakak, yakni Asma binti Abu Bakar, si Dzatu al-Nathaqain. Sumber-sumber sejarah paling awal, tan perselisihan, menegaskan bahwa (a) Asma’ meninggal setelah terjadinya peristiwa bersejarah yang sangat signifikan, yakni meninggalnya sang anak, Abdullah bin Zubair di tangan Hajjaj si taghut terkenal itu, dan (b) itu tahun 73 H, hal mana usia Asma’ kala itu adalah 100 tahun. Jika kita bertolak dengan mengurangi usia Asma’ pada saat wafatnya, yakni tahun 73 Hiijriah, dan usia Asma’ kala itu adalah 100 tahun, maka (c) 100 – 73 = 27 tahun, dan itu adalah usia Asma’ ketika peristiwa Hijrah Nabi, dan itulah hitungan umur yang sesuai dengan yang disebut dalam sumber-sumber sejarah. Jika umur Asma’ itu kita kurangi 10 tahun, jarak umur yang ia lebih tua dari adiknya (Aisyah), maka (d) usia Aisyah adalah 27 - 10 = 17 tahun, dan itulah usia ketika peristiwa Hijrah. Seandainya disepakati bahwa Nabi Saw bersebadan dengannya di akhir tahun pertama Hijriah, maka (e) usia Aisyah setidaknya kala itu adalah 17 + 1 = 18 tahun. Inilah sebenarnya hitungan akurat tentang usia Sayyidah Aisyah ketika menikah dengan Nabi Saw. Hal ini diperkuat pula oleh Imam Thabariy yang menegaskan dengan sangat yakin, dalam kitabnya, Tarikh al-Umam, bahwa semua anak-anak Abu Bakar Ra sudah lahir di masa Jahiliyah, dan itulah yang sejalan dengan rentetan kronologi waktu yang akurat. Dari sini, terungkaplah kelemahan riwayat Bukhariy, karena Aisyah sesungguhnya memang sudah lahir empat tahun sebelum awal misi kenabian.
  3. Menghitung usia Aisyah harus dibandingkan dengan Fatimah Zahra binti Nabi Saw. Ibnu Hajar menegaskan dalam kitabnya, al-Ishabah, bahwa Fatimah lahir pada tahun ketika Kakbah dibangun, hal mana usia Nabi kala itu adalah 35 tahun. Dijelaskan pula Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah. Kita tahu bahwa riwayat ini berasal dari Ibnu Hajar. Meskipun diakui bahwa riwayat tersebut tidak cukup kuat, akan tetapi kita juga tahu bahwa Ibnu Hajar adalah seorang pensyarah Bukhariy. Dari riwayat ini, tampak jelas bahwa Ibnu Hajar sendiri diam-diam mendustakan riwayat Bukhariy. Logikanya adalah, jika Fatimah lahir ketika Nabi berusia 35 tahun, maka ini berarti bahwa Aisyah lahir ketika Nabi berusia 40 tahun, dan itu bertepatan dengan awal turun wahyu kepada Nabi, yang berarti bahwa usia Aisyah saat Hijrah adalah sebanyak waktu dakwah Islamiah di Mekah, 13 tahun, dan bukan 9 tahun. Dengan bertolak dari riwayat Ibnu Hajar ini saja, sudah cukup bagi kita untuk menuduh adanya kekacauan yang parah dalam riwayat Bukhariy.

 

Kritik Riwayat dari Kitab-kitab Hadis dan Sirah

  1. Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, tentang orang-orang yang pertama masuk Islam, tulisnya: “… dan dari kalangan wanita, ada Asma’ binti Abu Bakar, Aisyah yang kala itu masih kecil, dan keislaman mereka berlangsung dalam jangka waktu tiga tahun, ketika Rasul Saw masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi…, barulah setelah itu kemudian Allah memerintahkan untuk berdakwah dengan terang-terangan…” Riwayat ini secara pasti menunjukkan bahwa Aisyah sudah masuk Islam sebelum dakwah Nabi secara terang-terangan pada tahun ke 4 misi kenabian, bertepatan dengan tahun 614 M, yang berarti bahwa Aisyah beriman setidaknya pada tahun ke 3 kenabian atau tahun 613 M. Lain halnya jika kita sepakat dengan riwayat Bukhariy bahwa Aisyah lahir di tahun ke 4 kenabian, maka itu berarti bahwa Aisyah belum bercokol di muka bumi ketika Nabi berdakwah secara terang-terangan di tahun ke 4 kenabian, atau Aisyah masih menyusu ibunya, dan ini jelas bertentangan dengan semua dalil-dalil di atas. Sebab, hitungan yang akurat tentang usia Aisyah adalah bahwa ia lahir empat tahun sebelum misi kenabian dimulai, yakni tahun 606 M, yang konsekuensinya adalah bahwa usia Asiyah ketika dakwah terang-terangan dimulai, tahun 614 M, adalah sekira 8 tahun, dan itulah yang sejalan dengan kronologi waktu terjadinya pelbagai peristiwa historik serta membantah riwayat Bukhariy.
  2. Imam Bukhariy sendiri yang meriwayatkan sebuah hadis, dalam “Bab tentang Lingkungan Abu Bakar di Zaman Nabi Saw,” katanya, Aisyah berkata: Aku belum sadar sepenuhnya tentang kedua orangtuaku, kecuali bahwa keduanya memeluk Islam, dan tidak ada satu hari pun berselang kecuali Rasulullah pasti berkunjung ke rumah kami di penghujung siang dan sore. Ketika kemudian kaum Muslim tertimpa cobaan, Abu Bakar ikut pergi hijrah ke negeri Habasyah. Kita tidak paham, bagaimana Bukhariy bisa meriwayatkan hadis ini; Aisyah berkata bahwa dia belum sadar perihal kedua orangtuanya, kecuali (yang ia tahu, ingat) bahwa kala itu keduanya memeluk Islam, dan itu terjadi sebelum peristiwa hijrah ke Habasyah sebagaimana disebut; ia juga berkata bahwa Nabi Saw mengunjungi rumah mereka saban hari, dan ini menjelaskan bahwa pada saat Nabi sering berkunjung ini, Aisyah sudah bisa berpikir (Jawa: ngakal, akil balig). Yang perlu digarisbawahi, bahwa hijrah ke Habasyah, sebagaimana disepakati oleh kitab-kitab sejarah, terjadi di tahun ke 5 kenabian yang bertepatan dengan tahun 615 M. Jika kita menyepakati riwayat Bukhariy (di awal) bahwa Aisyah lahir pada tahun 4 kenabian, yakni tahun 614 M, maka sesungguhnya ini berkonsekuensi bahwa Aisyah masih menyusu ibunya ketika peristiwa hijrah ke Habasyah, maka bagaimana mungkin hal itu bersenyawa dengan kalimat “Aku belum sadar tentang kedua orangtuaku”. Kalimat “Aku berpikir” tidak lagi butuh penjelasan, bahwa itu tak mungkin menjadi sifat kanak-kanak berusia 1 tahun. Tetap saja yang akurat adalah hitungan waktu (kalender), bahwa usia Aisyah ketika itu adalah (lahir) 4 tahun sebelum kenabian ditambah 5 tahun sebelum hijrah ke Habasyah, sama dengan 9 tahun, itulah umur sesungguhnya Aisyah.
  3. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad ‘Aisyah: Ketika Khadijah wafat, datanglah Khaulah binti Hakim, istri Utsman bin Mazh’un, berkata: Ya Rasulallah, tidakkah engkau ingin menikah lagi? Nabi berkata: Dengan siapa? Khaulah berkata: Tergantung Anda, mau yang gadis atau yang janda? Rasul menjawab: Kalau yang gadis siapa? Khaulah menjawab: Makhluk Allah yang paling Anda, cinta, Aisyah binti Abu Bakar. Dari riwayat ini, jelas bahwa Khaulah binti Hakim menawarkan gadis dan janda (yang sebelumnya sudah menikah) kepada Nabi. Pertanyaannya adalah, apakah Khaulah menawarkan perempuan-perempuan yang memang sudah siap menikah, ataukah perempuan-perempuan yang salah satunya masih kanak-kanak sehingga Nabi wajib menunggu sampai pada usia menikah? Yang masuk akal, jika melihat konteks hadis, yang ditawarkan oleh Khaulah adalah perempuan-perempuan yang memang sudah siap menikah langsung (segera), merujuk pada kalimatnya: “Tergantung Anda, mau yang gadis atau yang janda?” Karena itulah, sangat tidak masuk akal jika dikatakan bahwa waktu itu Aisyah masih kanak-kanak yang berusia 6 tahun, sementara Khaulah menawarkannya pada Nabi untuk dinikahi dengan menyebutnya “gadis”.
  4. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Khaulah binti Hakim sebuah hadis yang panjang ihwal melamarkan Aisyah untuk Rasul Saw. Yang penting dalam riwayat ini adalah sbb: Ummu Ruman berkata: Sesungguhnya Muth’im bin Adi telah menyebut-sebut Aisyah di hadapan anaknya, dan demi Allah tidak pernah sekalipun Abu Bakar jika telah berjanji lalu dia mengkhianatinya…, semoga kamu bisa mengikuti jejak sahabat kita. Makna sederhana dari hadis ini bahwa Muth’im bin Adi, seorang kafir, sudah melamar Aisyah untuk anak lelakinya, Jubair bin Muth’im sebelum lamaran Nabi Saw. Abu Bakar tak ingin mengingkari janjinya, maka ia datang ke rumah Muth’im yang kala itu berkata kepada Abu Bakar: Semoga setelah aku menikahkan anakku dengan Asiyah, kami beriman dengan agamamu. Dari sini ada satu poin dan kesimpulan penting sekali yang bisa diambil, bahwa: Tidak mungkin Aisyah dilamar untuk seorang pemuda dewasa yang ingin menikah, padahal ketika itu usianya belum genap 6 tahun. Sebagaimana mustahil juga jika Abu Bakar mau menyerahkan putrinya untuk Jubair bin Muth’im, yang notabene adalalah salah satu musuh kaum Muslim di perang Badar dan Uhud, yang ikut menyakiti kaum Muslimin di Mekah. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah terkait dengan janji lamaran (khitbah), yang pastinya terjadi sebelum datangnya misi kenabian, yang waktu itu usia Aisyah masihlah kecil, dan inilah yang kemudian menguatkan asumsi yang meyakinkan bahwa Aisyah lahir sebelum dimulainya misi kenabian.
  5. Bukhariy meriwayatkan dalam: “Bab tentang firman Allah, Bal al-sa’atu mau’iduhum wa al-sa’atu adha wa amarr,” dari Aisyah, katanya: Turun wahyu kepada Muhammad, di Mekah, yang ketika itu aku masih kanak-kanak yang sedang bermain: Bal al-sa’atu mau’iduhum wa al-sa’atu adha wa amarr.” Yang sudah dimaklumi tanpa khilaf, bahwa surat al-Qamar itu turun empat tahun setelah awal kenabian atau bertepatan dengan tahun 614 M. Jika kita sepakat dengan riwayat Bukhariy, semustinya pas turun ayat tersebut bisa jadi Aisyah belum lahir, atau bisa jadi masih menyusu karena baru saja lahir. Anehnya, Aisyah justru berkata-kata: “Aku kanak-kanak yang sedang bermain-main,” atau berarti bahwa dia waktu itu seorang anak kecil yang sudah bisa bermain-main, tetapi bagaimana mungkin ia belum terlahir setelah (peristiwa) itu? Itulah kenapa, yang absah, yang sesuai dengan fakta, bahwa usianya waktu itu, pada tahun ke 4 kenabian, ketika turun surat tersebut, adalah 8 tahun sebagaimana sudah kami jelaskan berulangkali, sejalan dengan kata-katanya: “Aku kanak-kanak yang sudah bisa bermain-main.”
  6. Bukhariy meriwayatkan dalam: “Bab tidak bolehnya ayah dan yang lain menikahkan anak gadis atau janda kecuali dengan ridha dari mereka,” berkata Rasulullah Saw: Kamu tidak boleh menikahkan anak gadismu kecuali setelah kamu meminta izin. Sahabat berkata: Bagaimana tanda mereka memberi izin? Nabi berkata: Jika ia diam. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Nabi mengatakan ini tetapi melakukan yang sebaliknya? Hadis yang dikeluarkan oleh Bukhariy tentang usia Ummul Mukminin Aisyah saat menikah dengan Rasul Saw, bisa dikaitkan dengan hadis di atas itu. Aisyah diriwayatkan berkata: Aku sedang bermain-main dengan anak perempuan sebayaku, ketika pesta pernikahan. Anehnya, tidak ada seorang pun yang menanyakan perkenan Aisyah ihwal pernikahannya dengan Nabi. Tetapi bagaimana mungkin menanyainya, sementara dia adalah seorang anak putri kecil yang belum mengerti makna pernikahan. Dan andaipun ada persetujuan dari Aisyah ketika usianya masih sekecil itu, hal demikian tidaklah punya konsekuensi hukum, karena itu persetujuan dari seorang anak yang belum mukallaf, belum balig, dan belum berakal.

 

Kritik Sanad Riwayat

Saya akan fokus di sini untuk menjelaskan keruwetan sanad-sanad dalam riwayat Bukhariy saja. Hadis yang memuat tentang usia Aisyah terbagi melalui lima jalur, yakni:

  1. Farwah bin Abu al-Maghra’ menceritaiku, Ali bin Mushir menceritai kami, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah...
  2. Ubaid bin Ismail menceritaiku, Abu Usamah menceritai kami, dari Hisyam, dari ayahnya…
  3. Ma’la bin Asad menceritai kami, Wahib menceritai kami, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari Aisyah…
  4. Muhammad bin Yusuf menceritai kami, Sufyan menceritai kami, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah…
  5. Qabishah bin ‘Uqbah menceritai kami, Sufyan menceritai kami, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Urwah…

Seperti kita lihat, kalau dicermati, semua riwayat merujuk ke satu orang perawi yakni ‘Urwah yang sendirian dengan hadis tersebut (mutafarrid), yang ia dapatkan dari Ummul Mukminin Aisyah Ra. Selain itu, Hisyam sang anak juga sendirian dalam meriwayatkan hadis tersebut darinya. Tentang Hisyam sendiri, ada masalah dengannya. Ini terkait dengan komentar Ibnu Hajar tentang dia dalam Hady al-Sariy dan al-Tahdzib: Abd al-Rahman bin Yusuf bin Kharasy berkata: Imam Malik tidak suka dengan Hisyam. Aku dengar Malik mengabaikan hadis Hisyam yang beredar di kalangan penduduk Irak; ia datang ke Kufah sebanyak tiga kali; kali pertama datang, ia berkata: Ayahku menceritaiku (haddatsani abiy); katanya, aku mendengar Aisyah… ; kali kedua datang, ia berkata: Ayahku mengabariku, dari Aisyah (akhbarani abiy, ‘an ‘Asiyah)…; dan kali ketiga ia berkata: Ayahku dari Aisyah (Abiy ‘an ‘Asiyah)

Makna sederhana yang bisa kita ambil dari sini adalah bahwa Hisyam bin ‘Urwah awalnya adalah seorang yang benar (dalam hal hapalan hadis) ketika masih Madinah Munawwarah, namun ketika pindah ke Irak, hapalan hadisnya mulai buruk. Ia juga mulai mentadlis hadis, atau menghubungkan hadis kepada orang-orang yang bukan perawinya; ia berkata “dari ayahku” (‘an abiy) sebagai ganti atas “aku mendengar atau dia menceritaiku” (sami’tu atau haddatsaniy). Padahal di dalam ilmu hadis, ungkapan sami’tu (aku mendengar) atau haddatsaniy (dia menceritaiku) itu lebih kuat dari ungkapan ‘an fulan (dari si Polan). Hadis Bukhariy tentang umur nikah Aisyah dengan Nabi juga dengan pola seperti ini; Hisyam berkata, ‘an abiy, dari ayahku, bukan sami’tu (aku mendengar) atau haddatsaniy (ayahku menceritaiku). Hal inilah yang menguatkan keraguan atas sanad hadis tersebut. Poin penting lainnya lagi, bahwa Imam Malik berkata: Sesungguhnya hadis Hisyam selama di Irak itu tak layak diterima. Jika kita terapkan hal (pandangan Imam Malik) ini pada hadis yang dikeluarkan Imam Bukhariy, kita akan dapati keklopannya. Hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh seorang pun rawi dari Madinah; semuanya adalah para perawi Irak, satu hal yang memastikan bahwa Hisyam bin ‘Urwah hanya meriwayatkan hadis tersebut di Irak, setelah hapalan hadisnya buruk. Tidak masuk akal juga jika (dikatakan bahwa) Hisyam tinggal di Madinah dalam waktu yang lama, tidak pernah disebut pula sebuah hadis seperti itu walaupun hanya sekali saja, dan karena itulah kita tidak pernah menemukan satu singgungan pun tentang usia Sayyidah Aisyah ketika menikah dengan Nabi Saw di dalam kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan beliau adalah orang yang secara langsung bertemu dengan Hisyam dan mendengar hadis darinya di Madinah. Maka, cukuplah dengan dua kerancuan ini untuk meragukan sanad periwayatan dalam hadis Bukhariy itu, dan belum lagi dikuatkan dengan fakta keruwetan dari segi matan, nash, jika dilakukan analisis perbandingan dengan data-data historik masa lalu.

Adapun konstruksi pemahaman para fukaha dan ahli hadis tentang hadis ini, dan dalam konteks ini Imam Bukhariy berada di barisan pertama, tidak lain itu adalah waham (ilusi) hukum tentang bolehnya menikahi anak-anak kecil. Inilah lembaran hitam dalam halaman-halaman warisan kitab kita, dan tak ada larangan bagi kita untuk mendebatnya. Anehnya, kita melihat kaum Wahhabi mengampanyekan sebuah argumen, bahwa tradisi yang berlaku di negeri-negeri panas (padang pasir), anak-anak perempuan dianggap sudah usia gadis walaupun mereka masih kecil. Tidak lain, ini adalah argumen orang idiot dan bodoh, karena negeri-negeri panas, yakni Jazirah Arab, sampai kapan pun akan panas. Tetapi, sayangnya, kini tidak hanya panas, tetapi kebodohannya juga makin bertambah dan berlipat-lipat. Kenapa di negeri-negeri Arab tidak pernah menemukan anak-anak perempuan mencapai balig sebelum, atau sudah, berusia 6 tahun, atau bahkan 9 tahun? Tentu saja karena kemungkinan itu bertentangan dengan realitas ilmiah, realitas yang juga sekaligus menegaskan bahwa iklim geografis suatu negeri tidaklah ada urusan dengan soal balig dan usia gadis.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun