Mohon tunggu...
Sosbud Artikel Utama

Islam, Keluarga Berencana, dan Tanggungjawab Sosial

3 Mei 2015   16:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, Dr Muhammad Shahrour, seorang pemikir Muslim asal Damaskus, Syiria, menggagas tafsir yang otentik atas ayat poligami. Secara khusus, Shahrour berfokus pada kata tuqsithu (qisth) dan ta’dilu (‘adl) dalam QS al-Nisa’: 3, ayat yang memang menjadi rujukan dasar tentang syariat poligami. Kata tuqsithu berasal dari kata qasatha dan ta’dilu berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam pemahaman orang Arab mempunyai dua pengertian yang kontradiktif. Makna yang pertama adalah al-’adlu (lihat: QS al-Maidah [5]: 42, al-Hujurat [49]: 9, al-Mumtahanah [60]: 8), sedangkan makna yang kedua adalah al-zhulm wa al-jur (QS al-Jinn [72]: 14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (sama, lurus) dan bisa berarti al-a’waj (bengkok). Dari analisis tersebut, Shahrour lalu berkesimpulan bahwasanya ada perbedaan dalam mengartikan dua kalimat tersebut, al-qasthdan al-‘adl.Mayoritas ulama mengartikannya secara sama (sinonim), yakni adil, dan tidak ada persoalan lebih lanjut: adil yang bagaimana?Sebaliknya, Shahrour menafsirkan secara baru, bahwa tuqsithu adalah sikap adil dalam suatu/satu sisi, sedangkan ta’dilu sikap adil di antara dua sisi.

Dari analisis atas makna mufradat kata-kata kunci (key words) QS al-Nisa’[4]: 3 itulah, maka Shahrour menerjemahkan ayat tersebut dalam versi baru sebagai berikut:

“Jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah para janda (ibu dari anak-anak yatim itu) sebanyak dua, tiga, atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak bisa adil terhadap, tidak kuasa memelihara, anak-anak yatim mereka (para janda yang kamu nikahi), maka cukuplah bagimu satu istri saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim [karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim].”

Jadi, berbeda dengan konstruksi klasik maupun modern, Shahrour berpendapat bahwa poligami sah dan boleh-boleh saja, asal dengan dua syarat: pertama, ada perasaan khawatir tidak bisa bertindak adil terhadap anak-anak yatim; kedua, istri kedua dan seterusnya (maksimal 4) adalah janda (al-armalah, al-aramil), dan terutama lagi adalah janda yang memiliki anak-anak kecil (belum dewasa); ketiga, harus bisa berbuat adil kepada anak-anak yatim yang dibawa oleh para janda tersebut juga kepada anak-anaknya sendiri (dari istri pertama). Jika salah satu saja dari ketiga syarat itu yang tidak terpenuhi, maka, kata Shahrour, poligami menjadi gugur dan terlarang.

Konteks Logis

Mengapa Shahrour mengajukan tiga syarat tersebut, dan ketiga-tiganya musti dipenuhi? Shahrour beralasan, bahwa ini terkait dengan konteks logis dalam perintah poligami dalam ayat tersebut. Dalam hal ini, Shahrour mengajukan analisis sintagmatis, bahwa makna suatu kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Konteks logis pertama bersifat tematik. Di ayat sebelumnya (QS al-Nisa’: 2), Tuhan berbicara tentang santunan terhadap anak yatim, dengan titik tekan perintah untuk memberikan hak-hak mereka (baca: mengembalikan harta mereka saat dewasa), serta larangan mencampuraduk antara yang buruk dengan yang baik, mencampur antara harta pribadi dan harta anak yatim yang ada dalam pengasuhan kita. Intinya, bahwa kita harus bertindak adil (al-qisth) terhadap anak-anak yatim. Mengurangi hak milik anak yatim, mencampur harta kita dengan harta mereka dan mengkonsumsinya secara semrawut, adalah suatu ketidakadilan, suatu kesalahan/dosa besar (huban kabira). Karena konteksnya adalah santunan terhadap anak yatim itulah, maka, menurut Shahrour, perintah poligami dalam QS al-Nisa’: 3 tidak berdiri sendiri, melainkan dikaitkan dengan masalah menyantuni anak yatim. Sehingga, jelas sekali tesis Shahrour: jika tiada kekhawatiran berlaku tidak adil kepada anak yatim, ya tidak usah poligami; atau, setelah poligami (dengan janda pemilik anak yatim) ternyata tidak bisa berlaku adil di antara anak dari istri pertama dengan anak yatim yang dibawa istri kedua dst, ya juga tidak usah poligami; cukup beristri satu saja.

Konteks logis berikutnya bersifat lingusitik. Perintah poligami dalam ayat tersebut ber-shighat al- syarth, kalimat syarat, yakni melalui konstruksi in-fa, jika-maka, wa in khiftum.. (jika kamu merasa khawatir…), fa inkihu… (maka nikahilah olehmu…). Karena bentuknya kalimat syarat, maka seakan-akan kalimat tersebut berbunyi: “… maka nikahilah olehmu wanita yang baik, dua, tiga, empat… (fa inkihu ma thaba lakum min al-nisa’ matsna wa tsulatsa wa ruba’), dengan syarat: … jika kamu merasa khawatir tidak bisa berlaku adil kepada anak-anak yatim (in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama…). Kata wa (hurf wawu) dalam wa in khiftum adalah ma’thufah, yakni masih terkait erat dengan frasa sebelumnya (ayat 2), yang berbicara tentang hak anak yatim. Oleh karenanya, maksud dari “tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim” (an la tuqsithu fi al-yatama) di ayat 3 adalah “mengabaikan hak-hak anak yatim dan mencampur aduk antara harta pribadi dan harta anak yatim” (ayat 2). Sehingga, makna kata al-yatama dalam ayat 3 itu, menurut Shahrour, bukanlah “perempuan-perempuan yatim yang kamu nikahi” (sebagaimana konstruksi tafsir klasik-konservatif), melainkan anak yatim dalam pengertian umum: baik lelaki maupun perempuan, yang kehilangan ayah (faqidu al-ab), sertabelum dewasa (masih kanak-kanak)

Kemudian, masih dari sisi linguistik, dalam ayat 3 tersebut ada dua kata, yakni tuqsithu (dari al-qisth) dan ta’dilu (dari al-‘adl), yang secara umum sama-sama dimaknai “berlaku adil”—sebagaimana sudah terpapar di atas dalam elaborasi Shahrour. Kata tuqsithu muncul terkait dengan syarat poligami (fa inkihu), sedangkan ta’dilu terkait dengan konsekuensi setelah poligami (matsna wa tsulats wa ruba’).Dalam analisis Shahrour, pengertian qisth itu adalah keadilan yang berada dalam satu sisi (saja), sedangkan ‘adl adalah keadilanyang terdiri dari dua sisi. Namun, sekali lagi ditekankan, bahwa keadilan ini, baik yang sebagai makna dari al-qisth maupun al-‘adl, hanya terkait dengan masalah perhatian terhadap anak yatim. Dari sinilah, kemudian disimpulkan Shahrour, al-qisth adalah bertindak adil kepada anak-anak yatim saja (satu sisi), dengan memenuhi hak-hak mereka dari kanak-kanak hingga dewasa, tidak mencampur harta pribadi dengan harta mereka; sedangkan al-‘adl adalah berlaku adil kepada anak-anak kita sendiri dan anak-anak yatim (dua sisi). Karena dipahami al-qisth (teks: an la tuqsithu, “kamu tidak bisa bertindak adil”) sebelum poligami—sebagai syaratnya, lalu al-‘adl (teks: an la ta’dilu, “kamu tidak bisa bertindak adil) sesudah poligami—sebagai akibat atau dampaknya (dikarenakan kerepotan mengurus anak banyak), maka kemudian dipahami secara logis bahwa yang dimaksud al-nisa’ dalam ayat tersebut, yang menjadi istri kedua dst (maksimal 4), adalah al-armalah, al-aramil, yakni ibu dari anak-anak yatim tadi, alias janda beranak.

Hal itu didukung pula oleh struktur linguistik lain dalam ayat tersebut, yakni adanya kata “an la ta’ulu”. Dalam tradisi orang Arab, kata ini berasal dari ‘ala-ya’ulu, yang memiliki arti katsrah al-‘iyal, terlampau banyak anak. Analisis alamiah-logisnya, karena istri kedua dan seterusnya adalah para janda yang membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil, maka menimbulkan kerepotan dan kepayahan bagi si suami (pelaku poligami), sehingga akan berpotensi melahirkan sikap tidak adil, “an la ta’dilu”, terhadap baik anak dari istri pertama maupun istri kedua dst (dua sisi). Untuk menghindari sikap sedemikian, yakni sikap tidak adil kepada anak sendiri dan anak yatim (dua sisi), cara yang paling praktis adalah monogami, cukup satu istri saja, “fa wahidatan”. Dengan hanya memperistri satu perempuan, seseorang (lelaki) akan terhindar dari kemungkinan banyak anak, “an la ta’ulu”. Sebab, banyak anak (katsrah al-‘iyah)—jika tidak memiliki kemampuan mengurus (utamanya secara finansial)— akan berpotensi melahirkan sikap tidak adil di antara anak-anak.

***

Hemat penulis, tafsir Shahrour atas ayat poligami itu sangatlah menarik. Bukan saja karena ia memiliki suatu nilai dobrak di dalam ranah hokum Islam, lebih dari itu karena ia memberi suatu wawasan dan sudut pandang baru dalam memahami ajaran poligami Islam. Bahwasanya, poligami hendaknya tidak semata-mata didasari oleh motif pemenuhan kebutuhan biologis yang menggelora, sehingga seakan-akan hanya berkaitan dengan seks. Lebih dari itu, poligami adalah ajaran yang berdimensi sosial, sehingga seyogianya praktik poligami diorientasikan terutama dalam rangka menanggulangi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, wabil khusus yang terkait dengan masalah nasib anak yatim dan janda.

Solusi Holistik

Tesis Shahrour tentang poligami sesungguhnya bisa menjadi inspirasi idealisme tentang perlu terwujudnya maslahat yang bersifat komprehensif dan holistik dalam konteks kehidupan anak-anak yatim dan ibu-ibu mereka. Yakni, suatu maslahat yang bukan semata-mata terkait dengan kepentingan bendawi/materi anak-anak yatim, tetapi juga ibu-ibu mereka (janda), baik itu mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah.

Selama ini, dengan dasar pemahaman klasik atas ayat-ayat tentang santunan terhadap anak yatim, dan utamanya atas QS al-Nisa’: 2 itu, perhatian terhadap nasib anak yatim hanya bersifat karitatif. Artinya, praktiknya lebih didasari oleh motif kepedulian dan kesetiakawanan sosial, yang sifatnya tidak lebih dari sekadarnya, seikhlasnya, dan sebatas kemampuan, sehingga kurang efektif bagi perubahan nasib anak-anak yatim. Betapa pun, seseorang itu, sekaya dan sepeduli apa pun, secara naluriah akan lebih memerhatikan urusan dan kepentingan anak sendiri daripada anak orang lain (yatim). Adanya lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan yatim (PAY) dan sejenisnya, memang cukup membantu penanganan anak yatim secara lebih terorganisir. Akan tetapi, eksistensinya juga sangat bergantung pada dana dari donatur yang, lagi-lagi, bersifat karitatif tadi. Sehingga, tetap saja keberadaan dan aktivitas lembaga semacam itu tetap kurang berpengaruh secara signifikan bagi perubahan nasib anak-anak yatim sedemikian hingga sejajar dengan anak-anak lain (non-yatim).

Shahrour mengusung tafsiran baru, bahwa Tuhan sesungguhnya menghendaki agar perhatian terhadap nasib anak yatim diimplementasikan dengan cara sekaligus menikahi ibu-ibu mereka (al-aramil), dengan syarat: berbuat adil kepada semua anak (kandung maupun tiri). Tesis ini, jika dilaksanakan, akan menjadi suatu solusi sosial terhadap masalah anak yatim (dan janda, ibu-ibu mereka) secara holistik. Pertama, bahwa ada jaminan finansial atas nafkah anak-anak yatim tersebut menyangkut seluruh hajat hidup mereka (pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, dll), sehingga mereka bisa mengakses dan menikmati semua hak hidup selayaknya anak-anak lain (baca: anak-anak dari istri pertama) secara lebih memadai dan maksimal.

Kedua, selain jaminan finansial, juga ada jaminan immaterial, utamanya secara sosial dan psikologis. Ada kecenderungan di banyak kawasan, anak-anak yatim hidup menggelandang di jalanan. Dengan direngkuh sebagai bagian dari suatu keluarga (karena ibu mereka dinikahi), anak-anak yatim akan kembali ke rumah, sehingga ada proteksi sosial. Lebih dari itu, kebutuhan mereka yang tak kalah penting adalah yang bersifat kejiwaan. Misalnya, yang utama, di masa perkembangan. Hal mana, anak-anak yatim juga butuh figur ayah. Dengan dinikahinya ibu mereka, kebutuhan akan figur ayah teratasi.

Ketiga, meskipun dalam tafsir Shahrour tidak ditekankan adanya sikap adil pelaku poligami terhadap para istrinya—karena keadilan hanya diperuntukkan bagi anak-anak yatim, namun tawaran tersebut tetap memberi dampak positif terhadap keberadaan janda. Jika kebetulan janda itu miskin, kini dengan dinikahi menjadi ada jaminan finansial bagi nafkah hidupnya. Selain finansial,ada juga jaminan sosial, yakni adanya figur pelindung, kepala keluarga, yang akan memimpin arah hidupnya serta menjaganya dari marabahaya dan kejahatan yang mungkin menimpa. Lebih penting lagi, betapa pun juga, para janda, apalagi jika masih dalam usia-uisa produktif, juga memiliki kebutuhan seks (biologis). Dengan mereka dinikahi, kebutuhan biologis mereka akan terpenuhi, sehingga menepis peluang mereka terjebak dalam tindak perzinahan (fahisyah). Meskipun, sekali lagi, Shahrour menekankan bahwa keadilan terhadap mereka (termasuk dalam soal seks, tentunya) bukan sesuatu yang prinsip.

Keadilan vs Banyak Anak

Shahrour, sebagaimana Imam Syafi’i di masa lalu juga pernah mengintrodusir, menegaskan bahwa “dzalika adna an la ta’ulu” dalam QS al-Nisa’: 3 itu (dari ‘ala-ya’ulu) bisa dimaknai “Itulah (monogami) jalan yang terbaik agar kalian tidak terlampau banyak anak” (katsrah al-‘iyal). Frasa tersebut sebagai kelanjutan dari frasa sebelumnya, yakni, “wa in khiftum an la ta’dilu fa wahidatan aw ma malakat aimanukum”, artinya (versi Shahrour): jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil kepada anak-anakmu (baik yang kandung maupun yang bawaan janda), maka dari itu nikahilah satu saja (monogami), atau budak-budak yang kamu miliki. Logika dari pernyataan ini sangat jelas. Yakni, bahwa dengan hanya satu istri (monogami), anak-anak yang ditanggungnafkahnya jauh lebih sedikit. Sebaliknya, jika memiliki banyak istri (poligami), dan masing-masing istri membawa dan/atau memiliki anak, tentunya akan semakin besar beban suami (pelaku poligami) untuk menafkahi anak-anaknya. Beratnya beban menafkahi inilah yang berpotensi melahirkan sikap tidak adil (an la ta’dilu) seorang ayah terhadap anak-anaknya.

Sampai di sini, seakan-akan dinyatakan, bahwa monogami, sebagaimana tersirat dalam frasa fa wahidatan (nikahilah satu perempuan saja), adalah cara terbaik, praktis (adna) untuk menghindarkan diri dari kemungkinan perilaku tidak adil dalam menafkahi anak-anak. Dasarnya adalah premis di atas: banyaknya anak (katsrah al-‘iyal) berpotensi memunculkan ketidakadilan (dalam menafkahi mereka), sedangkan sedikitnya anak akan lebih menopang terwujudnya keadilan (dalam menafkahi mereka). Dengan kata lain pula, dalam konteks al-Nisa’: 3 itu, ada suatu klausul penting yang hendak diteguhkan: bahwa kalau kamu ingin terhindar dari “an la ta’dilu” (sikap tidak adil di antara anak-anak), maka “la ta’ulu” (janganlah terlampau banyak anak); namun sebaliknya, jika memang merasa bisa “an ta’dilu” (berbuat adil terhadap anak-anak), maka silakan saja “an ta’ulu” (perbanyak anak).

Program Keluarga Berencana (KB)

Tesis tersebut, dalam skala tertentu, sesungguhnya bisa menjadi pendasaran tentang pentingnya program pengaturan kelahiran, pengendalian populasi, atau KB (Keluarga Berencana), demi menciptakan keluarga yang berkualitas, baik di ranah pribadi (unit keluarga) maupun (baca: apalagi) kenegaraan. Di ranah pribadi (keluarga), tesis Shahrour bahwa banyak anak justru berpotensi melahirkan ketidakadilan (dalam menafkahi), tak pelak menjadi antitesis terhadap adagium klasik yang dulu (mungkin sampai sekarang masih) dianut para orangtua bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Adagium itu barangkali betul, tetapi hanya jika ditambah dengan kata-kata lain, menjadi “banyak anak banyak rezeki yang harus dicari”. Dengan banyaknya anak, orangtua musti mencari dan menganggarkan nafkah lebih besar bagi seluruh buah hatinya, menyangkut segala hajat mereka dari kecil hingga dewasa (mandiri): sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dll.

Bagi kalangan menengah ke atas, apalagi yang kategori “the have”, mungkin soal nafkah ini tidak jadi persoalan, sehingga potensi berlaku tidak adil bisa diminimalisir. Tetapi bagi kalangan menengah ke bawah, apalagi keluarga pra-sejahtera, yang taraf perekonomiannya pas-pasan, soal pernafkahan anak-anak ini tentu masalah yang serius dan acap kali krusial. Dampaknya adalah apa yang disinyalir dalam tesis Shahrour tadi, yakni ketidakadilan terhadap anak-anak. Ketidakadilan ini bisa diteropong dari dua sisi, eksternal dan internal.

Secara eksternal, maksudnya ketika dibandingkan dengan keluarga lain yang dalam soal nafkah tidak begitu jadi masalah, jelas ada kesenjangan; keluarga dengan anak lebih banyak, apalagi taraf ekonominya juga menengah ke bawah, aksesnya atas keterpenuhan hajat-hajat hidup yang dasariah sangat minimal. Sedangkan secara internal, karena banyaknya anak yang jadi tanggungan, menjadikan distribusi nafkah kurang memadai, kurang proporsional, atau malah tidak merata, di antara para anak. Inilah wujud dari ketidakadilan itu. Ketidakadilan akan makin nyata ketika banyaknya anak itu berbenturan dengan faktor usia dan kemampuan orangtua. Ketika orangtua masih di usia-usia produktif, distribusi nafkah banyak tersedot untuk hajat anak-anak yang lebih besar. Ketika orangtua sudah tidak produktif, dan (padahal) masih tersisa anak-anaknya yang belum mandiri (dewasa), maka, ironisnya, mereka tidak mendapatkan hak-haknya terpenuhi seperti kakak-kakaknya.

Jika dibagankan ke dalam ranah kenegaraan, tesis Shahrour semakin menguatkan asumsi dasar bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali—artinya secara kuantitatif melampaui batas, akan melahirkan problem-problem krusial di suatu negara dalam bidang sosial-ekonomi. Yang paling kentara adalah ketidakadilan. Hak-hak warga negarauntuk hidup secara layak, dengan tingkat kesehatan dan pendidikan yang memadai, misalnya, tidak bisa terpenuhi secara maksimal dan merata karena keterbatasan anggaran negara. Tidak kalah krusial adalah volume ketersediaan lapangan kerja, pangan, cadangan energi (sumber daya alam), dsb, misalnya, yang tidak sebanding dengan tuntutan kebutuhan penduduk; tuntutannya jauh lebih besar karena populasi yang tidak terkontrol. Dikatakan ketidakadilan, karena tidak merata dan tidak proporsional. Ada warga yang memperoleh hak-haknya (dalam bidang sosial, ekonomi, dst) itu, bahkan secara melimpah-ruah dan berlebihan, tetapi di sisi lain ada yang hanya memperoleh sekadarnya saja, atau bahkan tidak sama sekali.

Dalam kondisi demikian, sekali lagi dalam kaitan dengan tafsir Shahrour, setidaknya ada dua pihak yang paling pantas disalahkan atau memikul dosa terbesar. Pertama, tentu saja adalah negara. Sudah seharusnya populasi penduduk diatur dan dikendalikan sedemikian rupa oleh negara, agar penduduk tumbuh secara seimbang. Artinya, bagaimana pertumbuhan itu kurang lebih berbanding lurus dengan kemampuan negara dalam memenuhi seluruh hajat hidup penduduk di segala bidangnya, dalam rangka menghampirkan mereka pada kesejahteraan. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni pertumbuhan penduduk justru tidak terkontrol, sehingga mendampakkan ketidakadilan di segala bidang sebagaimana disebutkan di atas, maka kesalahan terbesar ada pada negara, persisnya para pengambil kebijakan (legislatif dan eksekutif), yang mana dalam mengatur tata-kelola pemerintahan tidak berpijak pada wawasan kependudukan.

Kedua, orang-orang dengan besaran keluarga di atas rata-rata, atau persisnya orang-orang yang beranak banyak. Dalam skala nasional (negara), keluarga beranak banyak secara tidak langsung merupakan warga negara yang paling berkontribusi dalam membengkaknya jumlah penduduk. Sementara, dalam sekala individual (pribadi, personal), orang atau keluarga beranak banyak adalah pihak yang paling banyak mengambil haknya, atau setidaknya di atas rata-rata, tertutama jika dibandingkan dengan orang kebanyakan yang justru besaran keluarganya sedikit (baca: anaknya tidak banyak)—sehingga hak-hak yang mereka raih juga lebih sedikit. Altruisme modern mengajarkan, bahwa “siapa yang mengambil lebih, maka ada orang lain yang kekurangan.” Parahnya adalah ketika ada tren di mana kalangan menengah ke atas punya kecenderungan untuk memiliki besaran keluarga yang lebih banyak (baca: banyak anak). Kecenderungan ini muncul ketika kaum kaya, yang umumnya bermukim di perkotaan dan taraf perekonomiannya lebih tinggi, merasa mampu untuk menafkahi kebutuhan anak dalam jumlah banyak. Padahal, justru di situlah letak persoalannya. Kalangan menengah ke atas, kaum kaya, karena dukungan kapital yang mereka miliki, adalah kelompok yang paling punya kans, peluang, kesempatan, yang lebih besar dalam hal keterpenuhan hak-hak mereka di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, sumber daya alam (energi), dst, dibanding kalangan menengah ke bawah. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konsep altruisme modern di atas, sang “pengambil lebih” itu adalah kalangan menengah ke atas dengan keberlimpahan kapitalnya (dan apalagi mereka beranak banyak), sedangkan “orang lain yang kekurangan” adalah kalangan menengah ke bawah dengan keterbatasan materi kapitalnya (dan apalagi besaran keluarga mereka hanya sedikit).

“Banyak Anak” yang Berdimensi Sosial

Terlepas dari soal besaran keluarga, ataupun soal prinsip dasar tentang keharusan berbuat adil kepada anak-anak, tafsir Shahrour bahwa banyak anak (katsrah al-‘iyal)—yang memungkinkanpotensi sikap tidak adil itu—disebabkan oleh praktik poligami dengan janda-janda yang beranak kecil, secara tidak langsung menegaskan suatu wawasan penting lain tentang pentingnya kesehatan reproduksi—yang belakangan ini sedang marak dikampanyekan, bahwa kaum perempuan seharusnya jangan dibebani dengan banyaknya persalinan (banyak anak). Keinginan memperbanyak anak tidaklah diwujudkan dengan memforsir istri (pertama) untuk melahirkan sebanyak mungkin anak sesuai keinginan kita. Sebaliknya, ia direalisasikan dengan cara mempoligami janda-janda yang memiliki anak-anak kecil. Besaran anak-anak kita (baca: sang pelaku poligami) menjadi banyak bukan semata-mata dari persalinan istri pertama, tetapi karena ditambah dengan anak-anak yang dibawa oleh istri kedua dst yang nota bene janda.

Namun, di sisi lain, formulasi tersebut seperti menegaskan suatu cara pandang baru tentang konsep atau ambisi “banyak anak”, bahwa hendaknya ia tidak dilandasi oleh sikap egositik-individualistik, tetapi sebaliknya, berwatak sosial, yakni dilandasi sikap kepedulian untuk memberi dan menyantuni. Ketika seseorang memperbanyak anak dari garis biologisnya sendiri, dan ia berfokus untuk hanya menafkahi kebutuhan mereka semuanya—karena ia merasa mampu secara finanasial, maka itu merupakan sikap egoistik-individualistik, meski hal itu sesuatu yang manusiawi. Akan tetapi, ketika seseorang merengkuh anak-anak yatim menjadi satu keluarga, dengan cara menikahi ibu-ibu mereka (atau mungkin dengan cara lain), lalu menafkahi semua anak-anak tersebut secara adil, maka hal itu menyiratkan suatu sikap sosial yang tinggi, dan menurut Shahrour itulah cara untuk merealisasikan ajaran Tuhan secara sempurna (min tanfidz amr Allah kamilan). Wallahu a’lam. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun