Secara eksternal, maksudnya ketika dibandingkan dengan keluarga lain yang dalam soal nafkah tidak begitu jadi masalah, jelas ada kesenjangan; keluarga dengan anak lebih banyak, apalagi taraf ekonominya juga menengah ke bawah, aksesnya atas keterpenuhan hajat-hajat hidup yang dasariah sangat minimal. Sedangkan secara internal, karena banyaknya anak yang jadi tanggungan, menjadikan distribusi nafkah kurang memadai, kurang proporsional, atau malah tidak merata, di antara para anak. Inilah wujud dari ketidakadilan itu. Ketidakadilan akan makin nyata ketika banyaknya anak itu berbenturan dengan faktor usia dan kemampuan orangtua. Ketika orangtua masih di usia-usia produktif, distribusi nafkah banyak tersedot untuk hajat anak-anak yang lebih besar. Ketika orangtua sudah tidak produktif, dan (padahal) masih tersisa anak-anaknya yang belum mandiri (dewasa), maka, ironisnya, mereka tidak mendapatkan hak-haknya terpenuhi seperti kakak-kakaknya.
Jika dibagankan ke dalam ranah kenegaraan, tesis Shahrour semakin menguatkan asumsi dasar bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali—artinya secara kuantitatif melampaui batas, akan melahirkan problem-problem krusial di suatu negara dalam bidang sosial-ekonomi. Yang paling kentara adalah ketidakadilan. Hak-hak warga negarauntuk hidup secara layak, dengan tingkat kesehatan dan pendidikan yang memadai, misalnya, tidak bisa terpenuhi secara maksimal dan merata karena keterbatasan anggaran negara. Tidak kalah krusial adalah volume ketersediaan lapangan kerja, pangan, cadangan energi (sumber daya alam), dsb, misalnya, yang tidak sebanding dengan tuntutan kebutuhan penduduk; tuntutannya jauh lebih besar karena populasi yang tidak terkontrol. Dikatakan ketidakadilan, karena tidak merata dan tidak proporsional. Ada warga yang memperoleh hak-haknya (dalam bidang sosial, ekonomi, dst) itu, bahkan secara melimpah-ruah dan berlebihan, tetapi di sisi lain ada yang hanya memperoleh sekadarnya saja, atau bahkan tidak sama sekali.
Dalam kondisi demikian, sekali lagi dalam kaitan dengan tafsir Shahrour, setidaknya ada dua pihak yang paling pantas disalahkan atau memikul dosa terbesar. Pertama, tentu saja adalah negara. Sudah seharusnya populasi penduduk diatur dan dikendalikan sedemikian rupa oleh negara, agar penduduk tumbuh secara seimbang. Artinya, bagaimana pertumbuhan itu kurang lebih berbanding lurus dengan kemampuan negara dalam memenuhi seluruh hajat hidup penduduk di segala bidangnya, dalam rangka menghampirkan mereka pada kesejahteraan. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni pertumbuhan penduduk justru tidak terkontrol, sehingga mendampakkan ketidakadilan di segala bidang sebagaimana disebutkan di atas, maka kesalahan terbesar ada pada negara, persisnya para pengambil kebijakan (legislatif dan eksekutif), yang mana dalam mengatur tata-kelola pemerintahan tidak berpijak pada wawasan kependudukan.
Kedua, orang-orang dengan besaran keluarga di atas rata-rata, atau persisnya orang-orang yang beranak banyak. Dalam skala nasional (negara), keluarga beranak banyak secara tidak langsung merupakan warga negara yang paling berkontribusi dalam membengkaknya jumlah penduduk. Sementara, dalam sekala individual (pribadi, personal), orang atau keluarga beranak banyak adalah pihak yang paling banyak mengambil haknya, atau setidaknya di atas rata-rata, tertutama jika dibandingkan dengan orang kebanyakan yang justru besaran keluarganya sedikit (baca: anaknya tidak banyak)—sehingga hak-hak yang mereka raih juga lebih sedikit. Altruisme modern mengajarkan, bahwa “siapa yang mengambil lebih, maka ada orang lain yang kekurangan.” Parahnya adalah ketika ada tren di mana kalangan menengah ke atas punya kecenderungan untuk memiliki besaran keluarga yang lebih banyak (baca: banyak anak). Kecenderungan ini muncul ketika kaum kaya, yang umumnya bermukim di perkotaan dan taraf perekonomiannya lebih tinggi, merasa mampu untuk menafkahi kebutuhan anak dalam jumlah banyak. Padahal, justru di situlah letak persoalannya. Kalangan menengah ke atas, kaum kaya, karena dukungan kapital yang mereka miliki, adalah kelompok yang paling punya kans, peluang, kesempatan, yang lebih besar dalam hal keterpenuhan hak-hak mereka di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, sumber daya alam (energi), dst, dibanding kalangan menengah ke bawah. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konsep altruisme modern di atas, sang “pengambil lebih” itu adalah kalangan menengah ke atas dengan keberlimpahan kapitalnya (dan apalagi mereka beranak banyak), sedangkan “orang lain yang kekurangan” adalah kalangan menengah ke bawah dengan keterbatasan materi kapitalnya (dan apalagi besaran keluarga mereka hanya sedikit).
“Banyak Anak” yang Berdimensi Sosial
Terlepas dari soal besaran keluarga, ataupun soal prinsip dasar tentang keharusan berbuat adil kepada anak-anak, tafsir Shahrour bahwa banyak anak (katsrah al-‘iyal)—yang memungkinkanpotensi sikap tidak adil itu—disebabkan oleh praktik poligami dengan janda-janda yang beranak kecil, secara tidak langsung menegaskan suatu wawasan penting lain tentang pentingnya kesehatan reproduksi—yang belakangan ini sedang marak dikampanyekan, bahwa kaum perempuan seharusnya jangan dibebani dengan banyaknya persalinan (banyak anak). Keinginan memperbanyak anak tidaklah diwujudkan dengan memforsir istri (pertama) untuk melahirkan sebanyak mungkin anak sesuai keinginan kita. Sebaliknya, ia direalisasikan dengan cara mempoligami janda-janda yang memiliki anak-anak kecil. Besaran anak-anak kita (baca: sang pelaku poligami) menjadi banyak bukan semata-mata dari persalinan istri pertama, tetapi karena ditambah dengan anak-anak yang dibawa oleh istri kedua dst yang nota bene janda.
Namun, di sisi lain, formulasi tersebut seperti menegaskan suatu cara pandang baru tentang konsep atau ambisi “banyak anak”, bahwa hendaknya ia tidak dilandasi oleh sikap egositik-individualistik, tetapi sebaliknya, berwatak sosial, yakni dilandasi sikap kepedulian untuk memberi dan menyantuni. Ketika seseorang memperbanyak anak dari garis biologisnya sendiri, dan ia berfokus untuk hanya menafkahi kebutuhan mereka semuanya—karena ia merasa mampu secara finanasial, maka itu merupakan sikap egoistik-individualistik, meski hal itu sesuatu yang manusiawi. Akan tetapi, ketika seseorang merengkuh anak-anak yatim menjadi satu keluarga, dengan cara menikahi ibu-ibu mereka (atau mungkin dengan cara lain), lalu menafkahi semua anak-anak tersebut secara adil, maka hal itu menyiratkan suatu sikap sosial yang tinggi, dan menurut Shahrour itulah cara untuk merealisasikan ajaran Tuhan secara sempurna (min tanfidz amr Allah kamilan). Wallahu a’lam. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H