Mohon tunggu...
Sosbud Artikel Utama

Islam, Keluarga Berencana, dan Tanggungjawab Sosial

3 Mei 2015   16:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tesis Shahrour tentang poligami sesungguhnya bisa menjadi inspirasi idealisme tentang perlu terwujudnya maslahat yang bersifat komprehensif dan holistik dalam konteks kehidupan anak-anak yatim dan ibu-ibu mereka. Yakni, suatu maslahat yang bukan semata-mata terkait dengan kepentingan bendawi/materi anak-anak yatim, tetapi juga ibu-ibu mereka (janda), baik itu mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah.

Selama ini, dengan dasar pemahaman klasik atas ayat-ayat tentang santunan terhadap anak yatim, dan utamanya atas QS al-Nisa’: 2 itu, perhatian terhadap nasib anak yatim hanya bersifat karitatif. Artinya, praktiknya lebih didasari oleh motif kepedulian dan kesetiakawanan sosial, yang sifatnya tidak lebih dari sekadarnya, seikhlasnya, dan sebatas kemampuan, sehingga kurang efektif bagi perubahan nasib anak-anak yatim. Betapa pun, seseorang itu, sekaya dan sepeduli apa pun, secara naluriah akan lebih memerhatikan urusan dan kepentingan anak sendiri daripada anak orang lain (yatim). Adanya lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan yatim (PAY) dan sejenisnya, memang cukup membantu penanganan anak yatim secara lebih terorganisir. Akan tetapi, eksistensinya juga sangat bergantung pada dana dari donatur yang, lagi-lagi, bersifat karitatif tadi. Sehingga, tetap saja keberadaan dan aktivitas lembaga semacam itu tetap kurang berpengaruh secara signifikan bagi perubahan nasib anak-anak yatim sedemikian hingga sejajar dengan anak-anak lain (non-yatim).

Shahrour mengusung tafsiran baru, bahwa Tuhan sesungguhnya menghendaki agar perhatian terhadap nasib anak yatim diimplementasikan dengan cara sekaligus menikahi ibu-ibu mereka (al-aramil), dengan syarat: berbuat adil kepada semua anak (kandung maupun tiri). Tesis ini, jika dilaksanakan, akan menjadi suatu solusi sosial terhadap masalah anak yatim (dan janda, ibu-ibu mereka) secara holistik. Pertama, bahwa ada jaminan finansial atas nafkah anak-anak yatim tersebut menyangkut seluruh hajat hidup mereka (pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, dll), sehingga mereka bisa mengakses dan menikmati semua hak hidup selayaknya anak-anak lain (baca: anak-anak dari istri pertama) secara lebih memadai dan maksimal.

Kedua, selain jaminan finansial, juga ada jaminan immaterial, utamanya secara sosial dan psikologis. Ada kecenderungan di banyak kawasan, anak-anak yatim hidup menggelandang di jalanan. Dengan direngkuh sebagai bagian dari suatu keluarga (karena ibu mereka dinikahi), anak-anak yatim akan kembali ke rumah, sehingga ada proteksi sosial. Lebih dari itu, kebutuhan mereka yang tak kalah penting adalah yang bersifat kejiwaan. Misalnya, yang utama, di masa perkembangan. Hal mana, anak-anak yatim juga butuh figur ayah. Dengan dinikahinya ibu mereka, kebutuhan akan figur ayah teratasi.

Ketiga, meskipun dalam tafsir Shahrour tidak ditekankan adanya sikap adil pelaku poligami terhadap para istrinya—karena keadilan hanya diperuntukkan bagi anak-anak yatim, namun tawaran tersebut tetap memberi dampak positif terhadap keberadaan janda. Jika kebetulan janda itu miskin, kini dengan dinikahi menjadi ada jaminan finansial bagi nafkah hidupnya. Selain finansial,ada juga jaminan sosial, yakni adanya figur pelindung, kepala keluarga, yang akan memimpin arah hidupnya serta menjaganya dari marabahaya dan kejahatan yang mungkin menimpa. Lebih penting lagi, betapa pun juga, para janda, apalagi jika masih dalam usia-uisa produktif, juga memiliki kebutuhan seks (biologis). Dengan mereka dinikahi, kebutuhan biologis mereka akan terpenuhi, sehingga menepis peluang mereka terjebak dalam tindak perzinahan (fahisyah). Meskipun, sekali lagi, Shahrour menekankan bahwa keadilan terhadap mereka (termasuk dalam soal seks, tentunya) bukan sesuatu yang prinsip.

Keadilan vs Banyak Anak

Shahrour, sebagaimana Imam Syafi’i di masa lalu juga pernah mengintrodusir, menegaskan bahwa “dzalika adna an la ta’ulu” dalam QS al-Nisa’: 3 itu (dari ‘ala-ya’ulu) bisa dimaknai “Itulah (monogami) jalan yang terbaik agar kalian tidak terlampau banyak anak” (katsrah al-‘iyal). Frasa tersebut sebagai kelanjutan dari frasa sebelumnya, yakni, “wa in khiftum an la ta’dilu fa wahidatan aw ma malakat aimanukum”, artinya (versi Shahrour): jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil kepada anak-anakmu (baik yang kandung maupun yang bawaan janda), maka dari itu nikahilah satu saja (monogami), atau budak-budak yang kamu miliki. Logika dari pernyataan ini sangat jelas. Yakni, bahwa dengan hanya satu istri (monogami), anak-anak yang ditanggungnafkahnya jauh lebih sedikit. Sebaliknya, jika memiliki banyak istri (poligami), dan masing-masing istri membawa dan/atau memiliki anak, tentunya akan semakin besar beban suami (pelaku poligami) untuk menafkahi anak-anaknya. Beratnya beban menafkahi inilah yang berpotensi melahirkan sikap tidak adil (an la ta’dilu) seorang ayah terhadap anak-anaknya.

Sampai di sini, seakan-akan dinyatakan, bahwa monogami, sebagaimana tersirat dalam frasa fa wahidatan (nikahilah satu perempuan saja), adalah cara terbaik, praktis (adna) untuk menghindarkan diri dari kemungkinan perilaku tidak adil dalam menafkahi anak-anak. Dasarnya adalah premis di atas: banyaknya anak (katsrah al-‘iyal) berpotensi memunculkan ketidakadilan (dalam menafkahi mereka), sedangkan sedikitnya anak akan lebih menopang terwujudnya keadilan (dalam menafkahi mereka). Dengan kata lain pula, dalam konteks al-Nisa’: 3 itu, ada suatu klausul penting yang hendak diteguhkan: bahwa kalau kamu ingin terhindar dari “an la ta’dilu” (sikap tidak adil di antara anak-anak), maka “la ta’ulu” (janganlah terlampau banyak anak); namun sebaliknya, jika memang merasa bisa “an ta’dilu” (berbuat adil terhadap anak-anak), maka silakan saja “an ta’ulu” (perbanyak anak).

Program Keluarga Berencana (KB)

Tesis tersebut, dalam skala tertentu, sesungguhnya bisa menjadi pendasaran tentang pentingnya program pengaturan kelahiran, pengendalian populasi, atau KB (Keluarga Berencana), demi menciptakan keluarga yang berkualitas, baik di ranah pribadi (unit keluarga) maupun (baca: apalagi) kenegaraan. Di ranah pribadi (keluarga), tesis Shahrour bahwa banyak anak justru berpotensi melahirkan ketidakadilan (dalam menafkahi), tak pelak menjadi antitesis terhadap adagium klasik yang dulu (mungkin sampai sekarang masih) dianut para orangtua bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Adagium itu barangkali betul, tetapi hanya jika ditambah dengan kata-kata lain, menjadi “banyak anak banyak rezeki yang harus dicari”. Dengan banyaknya anak, orangtua musti mencari dan menganggarkan nafkah lebih besar bagi seluruh buah hatinya, menyangkut segala hajat mereka dari kecil hingga dewasa (mandiri): sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dll.

Bagi kalangan menengah ke atas, apalagi yang kategori “the have”, mungkin soal nafkah ini tidak jadi persoalan, sehingga potensi berlaku tidak adil bisa diminimalisir. Tetapi bagi kalangan menengah ke bawah, apalagi keluarga pra-sejahtera, yang taraf perekonomiannya pas-pasan, soal pernafkahan anak-anak ini tentu masalah yang serius dan acap kali krusial. Dampaknya adalah apa yang disinyalir dalam tesis Shahrour tadi, yakni ketidakadilan terhadap anak-anak. Ketidakadilan ini bisa diteropong dari dua sisi, eksternal dan internal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun