Mohon tunggu...
Sosbud Artikel Utama

Gepeng dan Dosa Kelas Menengah

3 Mei 2015   16:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sensus Penduduk tahun 2010 yang lalu menunjukkan fakta yang menarik. Awalnya, BPS memperkirakan bahwa jumlah penduduk kita sekitar 233, 4 juta.Akan tetapi, fakta yang terjadi justru mengejutkan. Angkanya justru berkisar di 237, 6 juta. Jadi ada ‘bonus’ sekitar 4 jutaan.

Ada data yang menarik terkait dengan populasi penduduk kita yang melonjak luar biasa itu. Betul sekali jika dikatakan, bahwa pelonjakan itu sebagai dampak melemahnya program KB sejak era reformasi. Tetapi, satu hal yang penting direnungkan, bahwa penyumbang membengkaknya jumlah penduduk ternyata tidak hanya dari keluarga-keluarga miskin, tetapi juga orang-orang kaya atau kelas menengah (Lihat: Soeroso Dasar, KB Mati Dikubur Berdiri, Jakarta: 2011).

Ketika keluarga miskin beranak banyak, sebabnya mungkin bisa banyak hal. Pertama, pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah di kalangan keluarga miskin berdampak pada rendahnya kesadaran untuk mengatur besaran keluarga. Kedua, ekonomi. Taraf perekonomian keluarga miskin jelas terbatas, sehingga lebih mengalokasikan belanja keuangannya untuk kebutuhan-kebutuhan yang pokok (sandang, pangan, papan), dan tidak terpikir sama sekali untuk membeli alat kontrasepsi. Memang alat dan obat kontrasepsi disediakan gratis untuk keluarga miskin di fasilitas-fasilitas kesehatan. Hanya saja, tidak semua keluarga miskin bisa mengaksesnya dengan mudah, terutama di kawasan-kawasan galcitas yang mengalami masalah transportasi. Ketiga, kebutuhan. Orang-orang miskin butuh hiburan. Tetapi, karena keterbatasannya, mereka kurang merasakan hiburan sebagaimana orang-orang kaya. Satu-satunya hiburan ya anak-anak mereka. Maka, semakin banyak anak, mereka akan semakin terhibur. Di sisi lain, mereka juga butuh investasi untuk menopang perekonomian mereka. Bukankah banyak kasus, orang-orang miskin menjual anak-anak mereka demi segepok uang, menyuruh anak-anak mereka yang masih usia sekolah untuk pergi ke kota, bekerja, demi membantu perekonomian keluarga? Semakin banyak anak, pundi-pundi investasinya justru makin banyak. Maka, itulah alasan kenapa sasaran utama program KB yang dicanangkan oleh negara adalah keluarga-keluarga miskin. Tujuannya, agar dengan besaran keluarga yang minim, kesejahteraan mereka meningkat, sehingga tidak menjadi beban pembangunan.

Lantas, apa alasan kalangan menengah ketika lebih memilih punya anak banyak? Mereka berpendidikan tinggi, dan secara ekonomi mereka juga tidak mengalami permasalahan. Alasannya adalah, ternyata, karena mereka merasa mampu menafkahi anak-anaknya. Alasan yang pragmatis sekaligus egoistis. Mereka seakan-akan menggunakan logika negara ketika mencanangkan program pengendalian penduduk (KB) yang nota bene menyasar rakyat miskin. Sehingga, ketika orang merasa tidak (lagi) miskin, alias merasa dirinya kaya, lalu merasa mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya sebanyak yang dia inginkan, maka buat apa membatasi jumlah anak? Mereka agaknya tidak sadar, bahwa alasan itu hanya benar ketika kita hidup sendiri, tidak ada siapa-siapa kecuali kita (dan anak istri kita), di mana semua hal yang menyangkut hajat dasar kita adalah milik kita sendiri. Faktanya, kita semua sekarang hidup dalam sebuah kerangka dan sistem bernama negara.

Dalam sistem negara, kita saling terkait satu sama lain, sehingga apa yang kita perbuat, apa yang kita ambil dan beri, kita sadari atau tidak sedikit banyak akan berdampak bagi kehidupan orang lain yang sama-sama masuk dalam sistem. Selain itu, dalam kerangka kenegaraan pula, bumi dengan segala sumber dayanya (air, daratan, udara, energi, dll) adalah kekayaan bersama yang layak dinikmati oleh semua warga negara, tanpa membeda-bedakan status dan kedudukannya, bukan malah diakses hanya oleh segelintir orang saja (baca: kelas menengah).

Program KB dicanangkan oleh negara, pertimbangan dasarnya adalah proyeksi jangka panjang untuk mewujudkan kesejateraan secara merata. Dengan jumlah penduduk yang terkendali, harapannya akan ada pemerataan bagi semua warga negara dalam akses mereka terhadap hal-hal yang menjadi hajat dasar, yakni: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, air bersih, dst. Kenapa musti ada kontrol populasi? Tentu saja karena bumi dengan segala kekayaannya, apa-apa yang menjadi hajat dasar tadi, jumlah dan kapasitasnya terbatas, dan makin hari terus berkurang oleh konsumsi kita. Contoh kecil saja adalah stok energi nasional, yang menurut perkiraan para ahli akan habis dalam kurun waktu sekian puluh tahun saja. Logika gampanya saja, jika kita tidak menghemat sedemikian rupa, sementara tidak ditemukan alternatif energi baru, maka dampaknya hanya ada dua, dan itu sama-sama buruk: akan terjadi krisis energi nasional, atau kita semua akan sangat bergantung pada energi impor dan untuk itu harus membeli dengan harga yang mahal. Itu baru soal energi, belum hal-hal lain.

Program KB memiliki landasan hukum yang kuat, karena disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan menjadi kewajiban bagi pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakannya. Karena DPR adalah kepanjangan tangan kita, atau representasi dari kedaulatan yang kita (rakyat) miliki, maka seakan-akan bisa dikatakan bahwa program tersebut adalah wujudkesepakatan kita bersama, sehingga sudah semustinya kita mendukungnya dengan cara mengikuti program tersebut, mengatur dan membatasi besaran anggota keluarga. Dengan demikian, dalam konteks ini, karakter kita sebagai manusia beradab (civilized) akan diukur sejauh mana kita mendukung program yang sudah menjadi kesepakatan kolektif tersebut, demi tujuan bersama mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata. Sebaliknya, ketidakberadaban kita (uncivilized) terindikasi dari pengabaian kita terhadap program tersebut, yakni dengan cara tidak membatasi besaran anggota keluarga (baca: banyak anak).

Ketika kecenderungan dan tren banyak anak justru dari kelas menengah, maka ketimpangan justru akan semakin menganga lebar, pemerataan hanya akan menjadi jargon kosong belaka. Mengapa? Sebab, kelas menengah, dengan keberlimpahan finansialnya, berpotensi mudah mendapatkan hak-hak dasariahnya: sandang, pangan, papan, pekerjaan, dst. Sebaliknya, orang miskin, karena keterbatasan finansialnya, mungkin akan sulit mendapatkan hal-hal yang sama. Maka ketika faktanya hal-hal atau barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar itu persediaannya terbatas, distribusinya pun akan lebih banyak mengalir kepada kalangan menengah. Jika jumlah mereka besar, porsinya pun akan besar pula. Maka benar jika diistilahkan, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Istilah klise, tetapi sesungguhnya logis untuk mewakili realitas yang ada.

Kaum gelandangan dan pengemis, alias gepeng, mereka itulah kemungkinan besar kelompok yang, disebabkan kemiskinannya, kurang memiliki peluang dan kesempatan untuk memperoleh hak-hak dasariahnya. Ini dengan kata lain, sesungguhnya fenomena gepeng yang kini menjalar di banyak kota besar, secara substansial bisa dianggap sebagai dampak dari dosa kelas menengah yang justru mengabaikan persoalan besaran keluarga (baca: tidak ikut KB).

Altruisme Modern

Ada pandangan kurang masuk akal, yang sepertinya justru diamini oleh orang-orang dari kalangan menengah itu, yakni konsep altruisme, yang biasanya bertolak dari doktrin atau ajaran agama. Bahwa, untuk menciptakan pemerataan gampang saja rumusnya, yakni kesediaan orang kaya (menengah) untuk memberikan sebagian harta miliknya kepada orang miskin. Aturan dan tata caranya bisa mengacu konsep zakat, infak, sedekah (ZIS), dan sejenisnya.

Namun, sekali lagi, sesungguhnya solusi atau pandangan semacam itu adalah bentuk altruisme klasik, yang mungkin memiliki signifikansi ketika diterapkan dalam masyarakat atau budaya tradisional yang sangat menunggulkan aspek penguasaan personal bukan saja atas properti atau sumber daya yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, bumi dan seluruh kekayaannya, tetapi bahkan manusia (misal: konsep perbudakan). Dalam altruisme klasik, untuk menciptakan pemeraatan diperlukan kesadaran dari penguasa-penguasa tradisional seperti: tuan tanah, majikan, kepala suku, ketua kafilah, dll, untuk sharing, berbagi, atas sebagian kecil harta miliknya kepada orang-orang tak berpunya (anak yatim, pengemis, anak telantar, janda tua, dsb).

Kondisi berbeda terjadi di zaman modern, ketika hampir semua orang mengakui dan mengunggulkan konsep negara-bangsa (nation-state). Dalam konsep negara-bangsa, apa pun aset atau sumber daya yang menjadi kebutuhan dasar publik, bumi dan seluruh kekayaannya, tidak boleh dikuasai oleh pribadi-pribadi, melainkan dikuasai oleh negara, dan negara wajib mengelolanya sedemikian rupa sehingga bisa dinikmati oleh semua warga masyarakat dan bangsa tanpa membedakan status sosialnya. Program KB adalah salah satu strategi kebijakan negara, bagaimana mewujudkan distribusi yang merata atas bumi dan seluruh kekayaannya itu kepada seluruh rakyat.

Dalam kerangka seperti itu,ajaran altruisme klasik tentang kemuliaan memberi sesungguhnya tidak signifikan lagi menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan pemerataan. Kalangan menengah tidak perlu repot menghampirkan dirinya pada kesadaran pentingnya menyisihkan sebagian hartanya bagi orang-orang miskin, lalu diwujudkan melalui aksi-aksi altruis memberi santunandi perempatan-perempatan jalan kota besar kepada kaum gepeng, dengan niat yang beraneka macam: niat zakat, niat sedekah, sekadar infak, dst. Sebab, itu tetap tidak ada artinya jika besaran keluarga yang mereka miliki di rumah melampaui rata-rata (baca: beranak banyak).

Pada dasarnya, manusia itu bersifat egois, memikirkan diri sendiri. Sehingga, seberapa pun ia menyisihkan hartanya untuk orang lain, tentu tidak akan melampaui alokasi yang di canangkan untuk anggota keluarganya sendiri (baca: anak-anaknya). Buktinya jelas di mana pun, bahwa apa yang mereka (orang kaya agamis) berikan kepada kaum gepeng tidak lebih dari sekadar receh yang remeh-temeh dan dianggap sudah tidak berfaidah; uang logam 500-an, paling banter seribuan, atau jika uang kertas paling juga sudah lusuh. Maka, jika direnungkan, tetap saja kesadaran dan tindakan seperti itu (baca: altruisme klasik) sesungguhnya tidak akan efektif dan menyelesaikan masalah.

Dalam konteks kesadaran berbangsa dan bernegara, yang diperlukan adalah sebuah altruisme modern, bahwa: “Siapa yang mengambil lebih, maka pasti ada orang lain yang kekurangan.” Ini berarti, yang dibutuhkan adalah kesadaran dan praksis meminimalisir besaran keluarga (baca: membatasi jumlah anak). Ketika kita telah bersepakat di tingkat kenegaraan bahwa seyogianya para keluarga itu (musti) meminimalisir besaran keluarga sebagai salah satu ikhtiar kolektif untuk mewujudkan pemerataan, maka ketika ada keluarga yang memiliki anak melampaui rata-rata, dan kebetulan keluarga tersebut karena sebab kondisional tertentu (baca: kekayaannya) menjadikannya mudah mengakses pada hak-hak dasariahnya, dengan demikian keluarga tersebut telah mengambil lebih banyak dari apa yang bisa diambil oleh orang pada umumnya. Dan, tentu, sebagai konsekuensi logisnya, karena tindakannya itu, pasti akan ada keluarga lain yang tidak bisa mendapatkan akses pada hak-hak dasariah tadi.

Sebaliknya, dengan meminimalisir besaran kelurga, berarti seseorang telah berkontribusi dan memberi peran penting pada gerakan kolektif untuk mewujudkan pemerataan tadi. Dengan menahan diri untuk memiliki banyak anak, berarti seseorang menahan diri untuk mengambil lebih banyak atas hak-hak dasariahnya. Dengan cara seperti itu, secara tidak langsung berarti dia memberi kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan hak yang sama sebagaimana diperoleh oleh orang-orang pada umumnya. Jika ini menjadi gerakan yang massif, maka dengan sendirinya pada tataran lanjut kesejahteraan sosial yang merata itu akan terwujud. Memang butuh waktu panjang untuk sampai pada kondisi seperti itu. Tetapi, program KB sendiri memang bersifat jangka panjang. Wallahu a’lam. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun