Mohon tunggu...
Sabrina Syahadat
Sabrina Syahadat Mohon Tunggu... -

karena A=N

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Kami Bertemu Para Malaikat Kecil, yang Ada Hanyalah Malu

3 Agustus 2010   15:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami berangkat dari sebuah ikatan yang entah apa, kemudian kami beri nama Spasi. Melawan arus sistem yang ada, yaitu ketika orang-orang mengajarkan rendah hati, kami justru berlomba untuk menyombongkan diri. Tetapi, tidak berarti kami ingin dipuji, bukan berarti kami gila imbalan berupa kepopuleran. Kami menggunakan kesombongan untuk menyemangati diri kami demi mewujudkan sebuah harapan yang dulunya mungkin hanya sebuah khayalan bagi kami: berbagi mimpi, belajar meliarkan imajinasi, mewisatakan hati kami. [caption id="attachment_214901" align="aligncenter" width="300" caption="Spasi"][/caption] --- Jakarta tiga puluh satu Juli dua ribu sepuluh, kami bertemu di sebuah gedung berisi aneka ria yang masih sepi, di sebuah warung donat yang begitu populer di tahun '90-an. Dan ini bukan lagi pertemuan maya. Tangan kami bersentuhan dan kami saling melihat tanpa bantuan lensa kamera digital. Kami menyebut semua itu: Keajaiban! Suasana pagi yang hebat. Ini hanya sebuah awal dari rentetan kegilaan suka duka bahagia airmata yang semoga tidak pernah berakhir. Di barat Jakarta, enampuluh menit berikutnya, kami menyatukan diri dengan Pelita Hati. Tak sabar lagi untuk cepat bertemu malaikat-malaikat di Banten sana, membuka sebuah gerbang yang sesungguhnya tidak pernah memisahkan hati kami. Serta menyimpan kepongahan kami untuk sementara, karena tidak ada satupun yang bisa kami pamerkan kepada malaikat, bukan? Dan dua adalah angka yang tepat untuk kami kalikan dengan enampuluh menit, lamanya perjalanan kami. Adalah sawah, anak-anak kecil di sungai keruh, jalan kecil yang rusak, anak sekolah putih biru yang menjawab sapa kami, bebek-bebek, satu-dua pohon kelapa, ibu-ibu yang menampah beras: Teluk Naga. Malaikat-malaikat telah menunggu. Nampaknya sama tak sabarnya dengan kami. Inilah waktunya kami belajar bermimpi bersama. Seketika saja kami dan malaikat- malaikat itu berubah menjadi imajinasi-imajinasi yang berkeliaran. Namun, para malaikat menjadi imajinasi yang lebih dahsyat daripada kami, imajinasi tanpa rasa takut, imajinasi tanpa yang begitu bebas hingga kami jauh tertinggal di sudut. Kami meringis, terus berusaha mendapatkan cara agar kami menjadi imajinasi maha cantik seperti mereka. Walau begitu, kami dan para malaikat tetap tertawa bersama. Tak ada dinding atau jarak atau spasi. Berbaur. Meliuk-liuk menarikan tarian kelapa, berbagi ruang ketika nasi dan ayam datang dalam satu bungkusan, bergantian membacakan wujud baru kami, bersama-sama kami bermimpi. Kami sempat meracaukan beberapa bahasa yang tak dimengerti oleh malaikat-malaikat kecil itu. Mereka hanya diam, mungkin mereka mempelajarinya, mungkin juga berandai-andai bahwa mereka mengerti atau mungkin juga mereka menertawai kami dalam hati. Ini kebodohan kami, kami malu. Maklum, kami cuma manusia yang berlaga sombong padahal kami cuma sekotoran kuku para malaikat itu. Kami berjanji tak akan lagi. Sebelum berpisah, kami menggambar diri kami bersama malaikat-malaikat itu sebagai dokumen yang akan mengingatkan kami betapa pentingnya bertemu dengan para malaikat cilik seperti mereka, di mana mereka mendapatkan banyak pelajaran dari kami dan kami belajar seratusjuta lebih banyak dari mereka. Ini akan menyulut api semangat kami lebih besar lagi dalam memaknai hidup. [caption id="attachment_214903" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Malaikat-malaikat Kecil"][/caption] Kami pamit. Tidak ingin pergi rasanya, karena belum pernah ada guru sehebat malaikat-malaikat ini. Ada satu rasa yang terlalu hebat untuk kami utarakan. Rasa yang tak pernah kami aduk jadi satu, tetapi telah tercampur dengan sendirinya dalam hati kami. Maka, diam-diam kami berdo'a: semoga bertemu lagi! --- Mau baca cerita kami lainnya bersama para malaikat? Silakan..... Ada di: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. Kami akan sangat bahagia jika ada yang ingin menyatukan spasi dengan kami agar ruang untuk bermimpi menjadi lebih luas lagi. Terima kasih. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun