Mohon tunggu...
sabrina putri
sabrina putri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Prodi: Ilmu Al Qur'an dan Tafsir Fakultas: Ushuluddin dan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendekatan Islam Normatif-Historis terhadap Wacana Peran Sosial Seorang Perempuan

30 Oktober 2022   02:09 Diperbarui: 30 Oktober 2022   05:51 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDEKATAN ISLAM NORMATIF-HISTORIS TERHADAP WACANA PERAN SOSIAL SEORANG PEREMPUAN

Masih menjadi suatu perdebatan di berbagai pihak mengenai peran sosial perempuan terutama di ranah publik, baik dalam frame feminisme global ataupun dalam paradigma kajian pemikiran Islam. Wacana tersebut terus berkembang hingga saat ini, setidaknya dikarenakan dua hal: Pertama, adanya keprihatinan yang mendalam terhadap realitas kecilnya peran perempuan di berbagai aspek dalam kehidupan. Kedua, keinginan yang kuat dari perempuan itu sendiri untuk memberdayakan dirinya guna memberikan kontribusi penting untuk kehidupan pada umumnya.

Upaya penyetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang diusung oleh semangat gerakan feminisme global, memberikan dampak yang cukup signifikan pula terhadap lingkungan masyarakat muslim. Tidak hanya memberikan dorongan kepada para pemikir Islam kontemporer untuk melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi Islam klasik terkait isu perempuan, akan tetapi juga melahirkan beberapa tokoh feminis baru. Mereka berupaya untuk mengangkat wacana feminisme seperti kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan peran sosial perempuan dalam perspektif ajaran Islam, terutama melalui sumber aslinya yakni Al-Qur'an.
Hampir di sepanjang sejarah peradaban manusia, perempuan hanya memainkan peran sosial, ekonomi apalagi politik yang kecil kalau dibandingkan dengan laki-laki. 

Sebaliknya peran domistik perempuanlah yang lebih menonjol, baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pandangan stereotip terhadap perempuan, terutama yang membatasi peran sosial perempuan hanya dalam seputar keluarga masih menggejala sampai saat ini di dalam komunitas masyarakat muslim, seakan merupakan dogma agama yang diwarisi secara turun temurun dan 'dipandang' mempunyai akar historis pada tradisi  Nabi Muhammad dan sesudahnya. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk melakukan analisa normatif-historis terhadap wacana feminisme dan peran sosial bagi seorang perempuan.

Analisis Dalam Pendekatan Normatif

Dalam konteks feminisme, peran sosial dikenal dengan peran domestik dan publik. Peran domestik dimaksudkan sebagai peran perempuan dalam keluarga atau rumah tangga, baik sebagai istri maupun ibu. Sedangkan peran publik diartikan sebagai peran perempuan dalam masyarakat, baik dalam rangka mencari nafkah, maupun untuk aktualisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan: sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dakwah dan lain sebagainya.
Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menggambarkan perempuan mempunyai peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam sektor publik, misalnya dalam Surat An-Nahl ayat 97:

97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat di atas menjelaskan  bahwa Allah memberi peluang dan menghargai secara sama antara laki-laki dan perempuan untuk melakukan amal saleh. Amal saleh tentu saja tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik, melainkan juga sosial dan publik. Bahkan terdapat dalam surat At-Taubah ayat 71:

71. Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Ayat ini berisi penegasan bahwa perempuan beriman saling tolong-menolong, bahu-membahu dengan laki-laki beriman dalam rangka amar ma'ruf dan nahi mungkar, akan mendapatkan rahmat Tuhan. Dimana amar ma'ruf dan nahi munkar pada ayat ini yang berarti kegiatan untuk berdakwah tidaklah terbatas dalam rumah tangga, melainkan juga dalam ruang lingkup masyarakat sosial secara luas. Lebih jauh dari pada itu, dalam Al-Qur'an sendiri terdapat suatu isyarat akan kemampuan seorang perempuan dalam memimpin suatu negara, sebagaimana Al-Qur'an dalam surah An-Naml ayat 22-23 yang menceritakan kepemimpinan Ratu Balqis di negeri Saba':

22. Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata, "Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba' membawa suatu berita yang meyakinkan.

23. Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.

Secara normatif, dengan melalui beberapa ayat ini, sebenarnya dapat kita garis bawahi bahwa perekaman Al-Qur'an terhadap peran sosial yang dimainkan oleh perempuan tidak hanya menunjukan suatu kebolehan. Akan tetapi, hal itu merupakan suatu anjuran bagi perempuan Islam guna berperan aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga diharapkan kaum perempuan juga mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam mensejahterakan hidup dan memakmurkan bumi. 

Meskipun dalam hal ini Islam telah memberikan sinyalemen kesamaan hak dalam partisipasi setiap aspek kehidupan. Namun dalam realitas kehidupan, masih saja terjadi kesenjangan antara idealita dan realita. Sejarah pergolakan dunia Islam, tidak meninggalkan sedikitpun partisipasi kaum perempuan dalam menentukan arah dan mewarnai corak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Analisis Dalam Pendekatan Historis

Apabila kita runtut terkait sejarah perjuangan perempuan, baik sebelum Islam datang ataupun pada saat awal-awal pertumbuhan Islam, maka dapat dilihat adanya suatu rekam jejak indah yang menyajikan berbagai catatan strategis akan pentingnya peran perempuan dalam berbagai ruang. Sebut saja Ratu Balqis yang mampu membawa bangsanya menjadi negeri yang sejahtera dalam naungan ridha Ilahi. Kemudian pada awal Islam, kita juga mengenal Khadijah sebagai seorang perempuan yang independen. Setelah menikah dengan nabi, Khadijah tetap menjalankan bisnisnya berdagang, aktif berinteraksi dengan masyarakat dan mendukung sepenuhnya perjuangan nabi berdakwah kepada Islam. Khadijah adalah citra perempuan yang bebas, tegas dan tidak sesuai dengan 'anggapan' tentang perempuan pasif dalam masyarakat Islam.

Demikian juga, masa setelah wafatnya sang Nabi, merupakan masa transisi, yang justru perempuan mengambil peran sosial yang cukup signifikan dan menuntukan, bahkan dalam politik. Hal ini setidaknya tergambar dalam sikap 'Aisyah binti Abu Bakar yang menentang kekuasaan 'Ali ibn Abi Thalib dalam perang Jamal, dan posisinya sebagai referensi utama dalam urusan keagamaan, terutama yang terkait dengan urusan keperempuanan. Ada juga Hafsah binti Umar yang mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam sejarah penghimpunan Al-Qur'an.

Dalam sejarah Indonesia juga pernah mencatat kepemimpinan empat ratu di Aceh, bahkan ada beberapa pelopor perempuan muslimah dalam memperjuangkan harkat dan martabat perempuan bangsa Indonesia, seperti yang dilakukan oleh R.A. Kartini di Jawa, Nyi Ageng Serang di Banten, dan Cut Nyak Dien di bumi Serambi Mekah. Dalam konteks saat ini pun, muncul nama Wardah Hafid, Nurul Agustina, Ratna Megawangi, serta Sinta Nuriyah Abdurrahman Wachid yang juga berada pada posisi terdepan guna membela kaum perempuan.

Melalui beberapa bukti historis di atas, kita bisa memetik poin penting bahwa perempuan sesungguhnya senantiasa memiliki kontribusi yang cukup besar dalam dunia Islam. Oleh karena itu, apabila masih adanya sebuah pemahaman dan keraguan akan peran sosial dari perempuan, maka sama halnya kita bersikap historis, bahkan memutar sejarah ke belakang yang berarti adalah kemunduran dan bahkan lebih parahnya lagi dapat disebut sebagai upaya pembodohan sejarah. Dengan kata lain, bukti-bukti sejarah itulah yang nantinya dapat menggambarkan bahwa perempuan merupakan bagian dari pelaku sejarah, bukan semata objek sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun