Terlihat dua orang duduk dibalkon yang sedang memandangi indahnya gemerlap-gemerlap bintang yang tersusun rapi di langit. Tidak ada pembicaraan apapun di dalamnya, hanya merasakan angin malam yang menyentuh kulit. Dingin, itu yang mereka rasakan.
"Diem-diem bae dah neng." Ucap seorang laki-laki sambil menyenggol lengan seorang gadis yang terlihat fokus memandang keindahan langit malam.
"Apasih senggol-senggol!" Gadis itu berucap dengan nada yang judes.
"Buset dah neng, judes amat itu." Ucap Gibran dengan tertawa. Bukan Gibran jika tidak menjahili anak orang.
"Nang neng nang neng, takut tau gak. Aku Issya!" Ia menatap tajam Gibran yang berada di sampingnya.
"Kalo lu natap tajem begitu ke gua mah, yang ada gua yang takut." Gibran berucap sambil memeluk tubuhnya sok ketakutan.Â
"Alay." Issya memutarkan bola matanya dengan malas, temannya yang satu itu memang lah sangat dramatis.
"Hahaha, omong-omong. Semua orang di dunia ini bakal meninggal kan?" Gibran membenarkan duduknya lalu menatap Issya.
"Tiba-tiba banget? Hm, iya dong bakal meninggal," Issya heran, tetapi ia setuju-setuju saja.
"Kalo gitu, apa yang mau lu wujudin sebelum meninggal?" Gibran masih berbicara sambil menatap Issya.
"Ini konyol, tapi aku ingin hidup di bulan, main bareng sama kamu, sama bintang-bintang juga." Issya tersenyum manis menampilkan gigi kelincinya pada Gibran.Â