Usia remaja merupakan masa-masa peralihan seseorang dari periode kanak-kanak menuju dewasa, setiap individu manakala memasuki usia dengan rentang 12-21 tahun ini, tentunya akan mengalami perubahan-perubahan baik secara fisik, kognitif maupun emosional yang mana perubahan tersebut tentunya akan berimplikasi pada kehidupan sosial individu itu sendiri.Â
Salah satu faktor biologis yang menimbulkan adanya perubahan pada fisik seseorang adalah disebabkan oleh mulai berproduksinya kelenjar endokrin, yang mampu mengaktifkan hormon-hormon penunjang dalam pembentukan ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder (Kustanti, 2013).Â
Kematangan organ reproduksi (seksual) diusia remaja ini membawa dampak pada munculnya gairah seksual dan keingintahuan yang tinggi tentang seksualitas. Hal tersebut berakibat pada munculnya perilaku seksual yang menjadikan remaja sangat rentan melakukan tindakan tidak senonoh seperti seks pranikah.
Salah satu faktor utama dari munculnya sebuah tindakan tidak terpuji remaja ialah kurangnya pemahaman mereka seputar kesehatan reproduksi dan seksual, juga rendahnya penanaman nilai-nilai agama dan moral yang berakibat pada kesalahan penafsiran, persepsi dan sikap dalam memandang perilaku seks pranikah. Terdapat dua persoalan pokok yang paling mendominasi kehidupan remaja, yaitu persoalan dari sisi individual dan sisi seksual.Â
Dari sisi individual remaja cenderung mendapati krisis identitas atau kebingungan dalam mencari jati dirinya, sehingga tidak jarang dari mereka senang mencoba hal-hal baru diluar kendali orang dewasa. Sebagian besar dari remaja mengalami kesulitan dalam memahami tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seperti diantaranya, boleh dan tidaknya berpacaran, melakukan masturbasi, menonton film porno hingga berciuman (Soetjiningsih, 2004).Â
Jika tidak ditengahi, maka perilaku seksual semacam ini akan dianggap lumrah dimasyarakat, hal tersebut disebabkan oleh kurangnnya informasi yang didapat oleh remaja tentang perilaku seksual yang benar, lemahnya pondasi iman dan ketakwaan, kepribadian yang rapuh, hubungan dan komunikasi dengan orangtua yang kurang lancar serta kurang harmonis, selain itu juga remaja cenderung lebih mudah terpengaruh oleh ujaran dari teman sebayanya ketimbang ucapan kedua orangtuanya.Â
Minimnya kemampuan dalam pengambilan keputusan juga kurangnya keterampilan dalam berkomunikasi membuat remaja dengan mudah terjerumus kedalam hal-hal yang bersifat negatif misalnya, kesulitan menolak ajakan teman dan tidak mampu bersikap tegas (Suprijanto, 2007).
Berbeda halnya dari sisi seksualitas, diusia remaja merupakan periode individu yang sedang mengalami perkembangan dari sisi biologis, fisik, dan mental. Perkembangan dari sisi biologis ini terjadi sejalan dengan adanya proses kematangan organ reproduksi, dari segi fisik juga ditandai dengan adanya pertumbuhan seks sekunder yang membawa dampak pada mental, yaitu timbulnya hasrat seksual dilihat dari remaja tersebut memiliki ketertarikan lebih dengan lawan jenisnya.Â
Hal semacam itu, pada kenyataanya lebih sering dialami oleh remaja perempuan, yang biasanya tidak tahu begaimana memberikan penolakan kepada lawan jenisnya (pacarnya) jika diminta untuk melakukan tindakan tertentu yang tidak ia kedendaki.
Salah satu fakor terbesar dari perilaku seks pranikah yang acap kali dilakukan oleh remaja, yaitu disebabkan oleh kurangnya pengawasan orangtua dalam hal ini masih rendahnya intensitas komunikasi antara anak dengan orangtua. Padahal kenyataanya, komunikasi memegang peran dan fungsi esensial dalam keluarga, sehingga mutlak diperlukan.Â
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam memberikan pendidikan untuk melaksanaan proses sosialisasi yang mampu mempengaruhi sikap, karakter dan kepribadian anak. Komunikasi interpersonal memegang peran yang krusial dalam proses penanaman nilai, moral, ideologi hingga cinta, termasuk juga sosialisasi tentang seks pada anak.Â
Berdasarkan riset remaja yang lebih cenderung melakukan seks pranikah terbukti jarang menghabiskan waktu bersama orangtua mereka. Kurangnnya komunikasi orangtua-anak menjadikan anak bebas bergaul tanpa pengawasan dari orangtuanya. Orangtua yang enggan membicarakan tentang masalah seks pada anak juga menjadi faktor penyumbang terjadinya seks pranikah di kalangan remaja (Kustanti, 2013).
Komunikasi interpersonal orangtua-anak amat diperlukan untuk membentengi remaja melewati periode penting yang terjadi di fase-fase pertumbuhan dan perkembangan semasa hidup mereka. Meski diusia remaja keluarga bukan lagi menjadi unsur utama mempengaruhi perkembangan remaja, tetapi dukungan keluarga tetaplah dibutuhkan. Terutama peran orangtua dalam memberikan sosialisasi terbaik bagi pembentukan moral remaja sehubungan dengan perilaku seks bebas.Â
Remaja tetap membutuhkan pendampingan dari orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana (Santrock, 2002). Kedekatan orangtua-anak akan memupuk kepercayaan dan ikatan emosional, sehingga remaja dapat bersikap lebih terbuka dan percaya diri untuk mengutarakan segala masalah hidup yang mereka alami.
Komunikasi interpersonal orangtua-anak adalah sebuah proses pengiriman dan penerimaan pesan dua arah antara orangtua dengan anak yang berlangsung secara tatap muka, keduanya menempatan diri mereka sebagai pembicara dan pendengar, sehingga menghasilkan respon dan feedback.Â
Aspek-aspek komunikasi interpersonal berdasarkan pendekatan humanistik yaitu: keterbukaan, empati, sikap suportif, sikap positif dan kesetaraan (Devito, 1995). Keterbukaan adalah usaha dari komunikator ataupun komunikan untuk menunjukan keinginan membuka diri dan berbagi informasi secara jujur sebagai bentuk respon dari pesan yang diterima. Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan. Sikap suportif ditandai dengan pemberian dukungan guna memberikan motivasi dan menjaga kontinuitas komunikasi yang baik.Â
Sikap positif ditunjukan melalui pemberian respon dan penghargaan secara positif seperti pujian, penguatan atau pesan yang membangun. Keefektifan komunikasi interpersonal akan tercipta apabila semua pihak berada dalam situasi yang setara. Sebab kesetaraan ini menjadi aspek penting untuk menepis penolakan dalam berkomunikasi karena salah satu pihak terlalu mendominasi. Â Komunikasi interpersonal yang terjalin antara orangtua-anak berperan penting bagi perkembangan kepribadian anak. Â
Melalui komunikasi, orangtua bisa memasukkan nilai-nilai kehidupan dan menanamkan moral tentang apa yang benar dan boleh dilakukan dengan apa yang salah dan tidak boleh dilakukan sehingga harus dihindari, termasuk batasan-batasan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya dan konsekuensi bila batasan tersebut dilanggar.
Tendensi tentang seks bebas di masyarakat saat ini sudah berubah. Perspektif yang dulu menganggap bahwa hubungan seks hanya dilakukan selepas menikah, kini bergeser menjadi hal yang lumrah dilakukan meskipun diluar ikatan pernikahan. Kondisi psikologis remaja yang labil ditambah lagi rentannya pengaruh buruk dari lingungan sosialnya, menjadi tugas tersendiri bagi orangtua untuk lebih intens memberikan pengawasan pada anaknya.Â
Remaja yang melakukan seks pranikah seringkali terpengaruh oleh teman sebayanya, pengalaman berpacaran hingga informasi seputar seks yang tersebar bebas di internet. Tekanan individu melakukan perilaku seks pranikah bisa disebabkan oleh tekanan dari lingkungannya itu sendiri. Bahkan, tekanan dari teman sebaya bisa jauh lebih kuat. Komunikasi interpersonal yang terjalin dengan baik antara orangtua-anak dapat membantu remaja mendapatkan informasi yang benar tentang seks. Keterbukaan dan cara pandang orangtua juga diperlukan agar tidak muncul kembali opini yang menganggap bahwa pembahasan seputar seks masih menjadi hal yang tabu.
Berdasarkan hasil riset menujukan bahwa kebanyakan remaja melakukan hubungan seks pranikah disebabkan oleh dorongan untuk melakukan seks yang mereka dapatkan dari video porno, internet, majalah hingga pengaruh teman sebaya (Anissa, 2009). Kecenderungan perilaku seks pranikah dikalangan remaja yang saat ini semakin meningkat terjadi akibat derasnya arus informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang sulit untuk dikendalikan (Sarwono, 2004).Â
Hal tersebut didukung oleh rasa penasaran dan hasrat ingin coba-coba, menjadikan remaja mudah sekali untuk meniru apa yang mereka lihat dan dengar, tanpa mempertimbangkan kembali konsekuensi yang akan mereka terima. Kebanyakan remaja yang berada pada posisi demikian masih awam tentang masalah seksualitas yang seharusnya mereka dapatkan dari orangtuanya. Â Â
Kejujuran dan keterbukaan antara orangtua dan anak dalam meyampaikan informasi dan pesan sangat dibutuhkan, karena sikap tersebut akan membantu dalam mewujudkan komunikasi yang efektif. Degan bersikap jujur dan terbuka akan memudahkan keduanya untuk mengambil tindakan yang tepat dalam upaya mewujudkan hubungan interpersonal yang berkualitas. Hubungan yang positif antara individu dengan keluarga akan mendorong individu tersebut bisa belajar untuk memperhatikan kepentingan orang lain, bisa bekerja sama, berempati dan mengedepankan solidaritas dalam sikap tolong menolong, sehingga pengalaman berinteraksi dengan keluarga juga turut menentukan bagaimana pola tingkah laku remaja dengan orang lain di lingkungan sosialnya (Miasari, 2012).
Komunikasi orangtua-anak tentang seksualitas dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah tipe orangtua. Menurut Fisher (Fauzy, 2015), tipe orang tua atau kepercayaan yang dianut orangtua dan gender dari sang anak akan mempengaruhi keefektifitasan komunikasi seksual dalam keluarga. Orangtua yang kuno cenderung tidak akan melakukan komunikasi seksual pada anak, akibatnya anak akan condong memiliki perilaku seksual yang tinggi.
Faktor kedua adalah pengetahuan atau pendidikan orangtua. Menurut Bastien, dkk (Fauzy, 2015), orangtua yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang seks, akan memilih untuk tidak melakukan komunikasi seksual dengan anaknya. Keengganan orangtua melakukan komunikasi seksual ini lantaran mereka merasa tidak nyaman dan takut jika anak mereka bertanya mengenai seksualitas diluar pemahaman orangtua.
Faktor ketiga adalah gender. Kesamaan gender antara orangtua dan anak akan berpengaruh pada terjadinya komunikasi seksual, sebagai perempuan ibu akan cenderung melakukan komunikasi seksual dengan anak perempuannya dibandingkan anak laki-lakinya. Oleh sebab itu, remaja perempuan cenderung menunjukan perilaku seksual yang sedikit dibanding dengan remaja laki-laki.Â
Faktor keempat adalah kenyamanan. Menurut Lou & Chen (Fauzy, 2015), sebagian besar remaja lebih nyaman untuk melakukan komunikasi seksual dengan teman sebaya, sahabat atau saudara yang lebih tua dibandingkan dengan orangtua mereka. Selain itu, ada faktor lain penyebab terjadinya komunikasi seksual antara orangtua dan anak, yaitu media. Menurut Lou & Chen (Fauzy, 2015), tersedianya media cetak, media internet, televisi dan sejenisnya itu menyebabkan kurangnya komunikasi seksual antara remaja dan orang tuanya. Remaja menjadi lebih asik dan lebih nyaman membicarakan seksualitas dengan teman-temannya berdasarkan informasi yang diperoleh dari media massa.
Dapat disimpulkan bahwa, terdapat hubungan negatif antara komunikasi interpersonal dengan perilaku seks pranikah pada remaja, yang artinya semakin efektif hubungan komunikasi interpersonal antara orangtua-anak maka semakin rendah perilaku seks pranikah. Namun, sebaliknya apabila semakin rendah efektifitas hubungan komunikasi interpersonal antara orangtua-anak maka semakin tinggi perilaku seks pranikah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa individu diusia remaja memiliki kemungkinan yang tinggi dalam melakukan seks pranikah. Selain itu, remaja perempuan cenderung menunjukan perilaku seksual yang sedikit dibanding dengan remaja laki-laki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H