Oleh: Dita Ulandari
Mahasiswi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogjakarta / Mahasiswi Asal Bangka Belitung
Memasuki bulan Agustus 2015 berarti memasuki bulan sibuk. Bulan kemerdekaan RI Ke-70. Betapa tidak? Karena ada beraneka event yang bakalan kita sambut. Tiga diantaranya adalah Hari Pramuka, Bulan Ramadhan dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Event terakhir inilah yang akan kita soroti dalam tulisan kali ini. Menjelang peringatan kemerdekaan biasanya semangat nasionalis menggelora kembali, pekik merdeka dimana-mana. Kesemuanya itu diwujudkan dalam rupa-rupa kegiatan. Perlombaan-perlombaan (panjat pinang, makan krupuk, balap karung, pecah air, mengambil koin dalam semangka, bakiak, sepakbola ibu-ibu, baris-berbaris dll.), jalan sehat, karnaval, tabur bunga dimakam pahlawan, bikin gapura dan aneka hiasan, serta masih banyak yang lainnya. Tapi apakah cukup hanya dengan itu saja kita mengisi kemerdekan ini?
Era globalisasi saat ini, lompatan perubahan mental dan sikap remaja begitu dahsyat. Hal ini dipotret oleh seorang Pakar Psikologis dan Kesehatan Anthony Giddens bahwa dunia bagai truk besar yang menggelinding tanpa bisa dikendalikan. Fenomena ini memaksa kelompok-kelompok Gerakan Resistensi yang memaknai globalisasi sebagai wadah atau bentuk lain dari Kolonialisasi bahkan Imperalialisme pasca penjajahan secara fisik.
Kemerdekaan baru bermakna substantif apabila masyarakat dan penyelenggara negara memiliki komitmen yang kuat untuk tidak bersikap koruptif, kolusif dan nepotistik. Kini, lanjut dia, tantangan kemerdekaan yang paling konkret adalah harkat kemanusiaan belum optimal dimuliakan, keadilan dan kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya diwujudkan."Salah satu penyebab utamanya adalah belum ditaklukannya korupsi konstitusi, di mana penyelenggara negara mengingkari dan menyalahgunakan mandat konstitusi untuk mewujudkan daulat rakyat, hukum dan kemanusiaan,"
Indonesia baru bisa disebut merdeka bila telah mampu membebaskan dirinya dari tindak pidana korupsi yang sistematis dann struktur mengeksploitasi sendi kehidupan bangsa dan negara," Perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia disegala bidang yang semakin bergandeng erat dengan satu hal, yaitu korupsi. Korupsi bertebaran dimana-mana, bahkan carut marut korupsi membuat si buta dari gua hantu jadi melihat kembali. Atau mungkin Superman yang terbang akan terjatuh, karena udara Indonesia tercemar hawa korupsi.
Korupsi tidak lagi menjadi bagian penyakit dari para pejabat, petinggi atau politisi saja, tapi telah menyebar dan merasuki tatanan kehidupan masyarakat umum di Indonesia. Apa jadinya generasi penerus bangsa, bila tidak ada cara dan jalan menghalau korupsi dari bumi pertiwi? Disini, mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus  maju bersama, berpegang erat menghalau korupsi agar keluar dari Indonesia tercinta.
Untuk mencegah tumbuhnya tunas baru tidak juga harus mencabut seluruh pohon, karena hal itu tidak mungkin terjadi. Begitupun dengan korupsi, tak mungkin rasanya diberlakukan cara seperti mencabut sebuah pohon, agar tidak tumbuh pelaku korupsi lainnya Mencabut pohon hanya berlaku pada kejahatan biasa, bukan pada kejahatan korupsi. Kejahatan korupsi itu termasuk kejahatan luar biasa, sehingga cara dan perlakuannya pun harus luar biasa. Jujur, siapapun akan berkata iya, jika pelaku korupsi itu selalu berjamaah atau berkelompok seperti tim sepak bola. Ada penggagas, pelaksana dan ada juga yang diajak untuk tutup telinga atau tutup mata ketika mengetahui sedang terjadi korupsi. Hebat dan canggih pola korupsi dari hari ke hari, sepertinya mereka (korupsi) tidak mau ketinggalan dengan kemajuan jaman di era globalisasi.
Pasca reformasi korupsi dipahami sebagai kejahatan luar biasa,secara filosofis hal ini bermakna korupsi tidak saja merusak secara moral tapi juga berdampak pada kesengsaraan ummat,berangkat dari itulah mestinya disemua level penegak hukum termasuk juga kejaksaan dalam upaya pemberantasan korupsi sudah sejogjanya menangkap spirit jika korupsi adalah kejahatan yang menyengsarakan ummat.Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Keadilan yang diharapkan oleh publik bukanlah keadilan bagai sarang laba-laba. Yang hanya mampu menjangkau dan menindas mereka yang tak berdaya, mereka yang lemah, meraka yang tidak mapan. Keadilan bagaikan sarang laba-laba akan terkoyak (sobek) oleh kelompok yang punya daya saing ekonomi yang kuat. Roda penegakan hukum yang pada awalnya bebas dipengaruhi oleh stratifikasi sosial menjelma menjadi kekuatan perputaran alat produksi ekonomi.
Kemerdekaan perlu beri ekspresi yang lebih fundamental, bukan sekadar bercita-cita. Lewat kemerdekaan, sesungguhnya Republik ini berjanji. Narasi di Pembukaan UUD 1945 bukanlah ekspresi cita-cita semata, tapi itu adalah janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan bisa berperan di dunia global. Republik ini dibangun dengan ikatan janji! Cita-cita itu adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa cita-cita itu bermakna keinginan (kehendak) yg selalu ada di dalam pikiran atau dapat juga diartikan sebagai sebuah tujuan yang hendak dilaksanakan. Bila tercapai cita-citanya maka akan disyukuri. Tapi, jika tidak tercapai maka cita-cita bisa direvisi. Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang didalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.