Belakangan ini muncul di berbagai media keresahan para penikmat musik di festival maupun gigs dengan tarian violence dance atau biasa disebut dengan two step yang tidak bisa menempatkan tariannya sesuai tempatnya.
Jika diamati terjadi lonjakan jumlah penikmat hardcore punk yang notabene musik keras dan agresif sepanjang dekade ini. Banyaknya anak muda yang hadir dari culture dan latar belakang yang berbeda masuk dalam skena hardcore punk saat ini, sehingga perubahan ini tidak bisa dihindarkan.
BERKEMBANG PESAT
Malang adalah salah satu kota dengan pergerakan skena hardcore yang paling masif. Tak heran jika banyak band-band hardcore punk lahir di kota ini. Banyaknya band dan penikmat hardcore di Malang seakan 'membius' dan 'meracuni' kota-kota lain, seperti Blitar, Tulungagung, dan hingga Kediri.
Tentu, arus skena hardcore yang sangat masif ini terbilang positif. Genre musik ini  dengan cepat menyebar ke berbagai daerah, termasuk daerah yang dulunya menjadi 'sarang' penggemar hardcore tetapi kemudian menyusut seiring berjalannya waktu.
Tapi tampaknya counter culture di skena hardcore punk kini sulit untuk diterapkan bahkan agaknya mulai dilupakan karena semua orang berlomba untuk membuat video menari mereka seakan sedang nonton gig lalu mengunggahnya di media sosial untuk menaikkan exposure. Tentu saja tak ada masalah dengan itu sebab itu adalah hak mereka semua. Toh media sosial itu bebas digunakan oleh siapapun.
Di sini kita akan membahas masalah dalam skena hardcore punk saat ini. Pengamatan dalam dekade ini skena hardcore punk hanya sebatas tarian. Seolah hardcore punk cuma tarian penuh kekerasan.
PEMBURU EXPOSURE
Di festival manapun, gigs apapun kalian pasti menemukan beberapa anak skena hardcore ikut meramaikan acara tersebut. Mereka biasanya bergerombol dengan kelompok mereka dengan style fashion ala-ala hardcore saat ini.
Jika menghadiri sebuah festival musik kita akan menemukan banyak orang dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hanya ingin nonton konser band yang ia suka dan ada juga yang hanya sebatas merayakan hari libur dengan nonton konser setelah hari-hari sebelumnya direnggut oleh pekerjaan. Tujuan itu seakan hancur karena datangnya orang-orang dengan tarian memukul dan menendang secara random oleh mereka yang menganggap hardcore punk hanya tren.
Bagaimana tidak? Band penampil festival yang notabene membawakan musik pop/rock malah diwarnai violent dance oleh sebagian orang ini. Sebagian penonton yang bertujuan ingin menikmati suasana festival dengan sing along malah harus 'gigit jari' karena suasana dirusak oleh mereka-mereka yang sembarangan, tidak melihat situasi dan kondisi.