Mohon tunggu...
sabirin
sabirin Mohon Tunggu... -

IG/BLOG : Sabirinsaiga/sabirinsaiga19.blogspot.com "Pengetahuan hanya akan seperti segelas susu jika tidak disebarkan, tapi akan menjadi seluas lautan jika kita berbagi."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guru Ngaji

12 Februari 2016   10:54 Diperbarui: 12 Februari 2016   11:05 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Anak-anak kita ulang sekali lagi ya, Ngaji-nya yang bener, Biar orang tuanya bangga” Ucap seorang guru ngaji yang berhati lembut dan berperangai indah. Tutur katanya selalu manis, dan yang dilakukannya selalu indah.

“Iyaaaa Pak” Jawab muridnya serempak.

Setelah mengajar di TPA (Taman Pendidikan Alquran) di musalla sederhana di samping rumahnya, Dia tak akan langsung pulang. Setelah muridnya sepi, pekerjaan keduanya pun akan dimulai—merapikan musalla yang berantakan karena ulah murid-muridnya yang belum tahu benar tentang arti kerapian lantaran umur mereka yang masih belia. Dia, sang guru ngaji yang lembut sekali prilakunya, tak pernah marah dengan murid-muridnya. Ia selalu tersenyum.

Hari itu, sungguh kegamumanku padanya telah semakin berlipat. Kuselami keindahan perangainya yang penyayang. Jalannya yang teguh pada jalan yang lurus, ucapannya yang selalu jujur, dan keteguhan hatinya pada yang benar, walau pun terkadang Ia melewatkan banyak rupiah karena kejujurannya. Tapi Dia, tak pernah menyesal dengan yang dilakukannya. Baginya,menjadi guru ngaji, jauh lebih indah dan tinggi derajatnya.

Pernah sekali waktu, Ia mendapat amanah dari seorang yang dermawan, yang menyerahkan uang padanya dalam jumlah nominal yang besar. Orang yang sungguh dermawan itu berpesan, agar uang itu di sampaikan ke pengurus musalla, mudah-mudahan bisa digunakan renovasi musalla.

Lalu tak lama dari itu, datanglah pengurus lain kepadanya. Mengajak sang guru ngaji itu untuk berkompromi dalam jalan yang nista. Sang guru ngaji yang teguh hatinya menolak dengan lembut.

“Saya malu dengan peci saya, malu dengan murid-murid TPA saya” katanya berucap.

Pria bengis yang juga sedang menggunakan peci hitamnya itu, tetap tak mau menyerah. Sang guru ngaji terus di rayu, agar mau turut serta dalam langkah gelap dengannya.

“Sedikit saja kita ambil dari uang sumbangan itu, cukuplah untuk keperluan rumah tangga kita” bujuknya.

“Kamu juga baru menikahkan?, emangnya kamu nggak mau punya rumah sendiri?, nah uang itu sudah lebih dari cukup untuk uang muka” lanjutnya merayu.

“Maaf Bang, saya tetap nggak bisa. Sama sekali dalam uang ini nggak ada hak kita Bang.” Lanjut sang guru ngaji.

Setelah berbincang panjang. Dan setelah cara-cara membujuk tertolak mentah-mentah oleh sang guru ngaji, pengurus yang tengah khilaf itu pun menyerah. Dia pulang, tanpa berhasil menggoyahkan kejujuran sang guru ngaji.

Akan kuceritakan banyak hal tentang Sang guru ngaji itu. Akan kuceritakan juga pada kalian tentang kenapa sosoknya begitu kukagumi.

Dulu, sebelum akhirnya sang guru ngaji menetap di kota, Dia dilahirkan dan menghabiskan masa remajanya di sebuah desa terpencil di salah satu kabupaten di Indonesia. Desa sungai jaga A, lebih tepatnya.

Dia adalah sosok yang mandiri. Jarang sekali Ia merepotkan kedua orang tuanya. Baginya, selagi masih bisa dikerjakan seorang diri, Ia pasti akan melakukannya sendiri. Ia juga tak terbiasa menadahkan tangannya pada Ayah dan Ibunya. Selain karena keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan, juga karena tabiat Dia yang tak mau menyusahkan siapa-pun.

Dikampung, Dia dikenal sebagai anak yang baik. Yang selalu menjadi kebanggan orang tuanya. Sekali pun namanya tak pernah menjadi pergunjingan, yang ada hanya pujian atas prilakunya, yang kian menyebar di penjuru kampung. Ibunya selalu sumringah senyumnya ketika ditanya kenapa sang anak bisa sebaik itu?

“Ibunya, bagaimana cara mendidik anaknya, ajarin saya Bu.?”Begitulah pertanyaan yang sering diterima Ibunya. .

Beranjaklah usianya, hingga Ia masuk di usia remaja yang sudah mulai memikirkan masa depannya. Mau jadi apa?, dan hendak kemana tujuannya? Dan suatu malam, terucaplah niatnya untuk merantau ke kota, ingin merasakan bagaimana sekolah di sana. Sang Ibu menolak, karena kota terlalu jauh. Tapi akhirnya, Ia berhasil meyakinkan Ibunya. Ibunya pun memberi restu, dan restu itulah yang mampu diberikan kedua orang tuanya. Bukan uang atau pun bentuk lainnya.

Lalu berangkatlah Ia berbekal restu dari Ayah dan juga Ibunya. Setalah sebelumnya, Ia harus bekerja apa saja agar terkumpul uang untuk berangkat ke kota. Di kota, dia tinggal dimesjid, menjadi marbot, muazin jadi apa saja, yang penting baginya,pekerjaannya tetap halal dan sama sekali tak merugikan orang lain.  

Berjalan waktu, selama masa pendidikan Ia tak pernah menerima kiriman dari orang tuanya. Justru Dia yang setiap dua bulan sekali mengirimi sedikit dari penghasilannya yang selalu Ia sisihkan. Begitu terus. Di perjalanan, adiknya berniat sama seperti Dia, ingin melanjutkan sekolah di kota, sama percis seperti dirinya. Kembalilah Ia ke kampung halaman untuk menjemput adiknya. Di ucapkannya pada kedua orang tuanya, untuk tidak khawatir masalah biaya, karena Ia yang akan menanggungnya. Padahal kala itu, Dia sendiri masih menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi, yang pastinya juga membutuhkan biaya yang tak kecil, apa lagi yang jika di bandingkan dengan penghasilannya sebagai guru ngaji, dan dari profesi-profesiya yang lain. Kala itu, untuk mencukupi kebutuhannya dan Adiknya, Ia harus bekerja merangkap, sore sebagai guru ngaji dan malamnya Ia harus menahan kantuk karena harus berperan seabagai penjaga malam.

Ia pun akhirnya lulus dari perguruan tinggi, dan akhirnya bekerja, dan pada ahirnya Ia pun menikah. Sementara adiknya tetap Ia sekolahkan, hingga sekarang Adiknya pun hampir menyelesaikan pendidikannnya di salah perguruan terfavorit di kotanya. Dan sang guru ngaji itu tetap tak bisa meninggalkan niatnya di jalan agama, seletih apa pun Ia setelah pulang kerja, tetap Ia sempatkan untuk mengajar mengaji. Karena bukan tentang uang yang dicarinya, tapi kepuasan diri di saat bisa memberi manfaat untuk orang lain.

Dengan bangga, kupanggil sang guru ngaji itu dengan Abangku. Hendri. Abangku yang paling berjasa dalam kehidupanku. Karena dia akhirnya aku bisa merasakan pendidikan di kota yang jauh lebih bagus dari pada di desa-desa kecil seperti kampung halamanku. Darinya pula aku belajar banyak hal, terutama tentang keikhlasan dan memberi yang tak berbatas.

Jika banyak sosok sepertinya, ku yakin tak akan melarat negri ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun