Tren berbelanja melalui e-commerce yang berbasis di luar negeri semakin mudah dijumpai di belahan dunia, bahkan Indonesia saat ini. Konsumen dari Indonesia bisa mendapatkan barang, misalnya, dari Australia dengan murah melalui toko online yang ada. Harga murah itu didapatkan karena barang dari e-commerce luar negeri tersebut tidak terkena bea masuk impor. Jika dibiarkan, dapat mengganggu iklim bisnis dalam negeri. Utamanya, pengusaha-pengusaha kecil-menengah tanah air yang juga berjualan melalui platform e-commerce (Pajakku, 2019). Hal ini adalah salah satu pengaruh kemajuan teknologi yang berkembang pesat dalam dunia market di seluruh belahan dunia. Akibat daripada tersebut, menimbulkan kebiasaan yang serba instan dalam mendapatkan suatu barang dengan hanya menggunakan aplikasi belanja online. Sehingga semua pelaku bisnis yang berada di penjuru negara mana, mulai memasang strategi marketing untuk melintasi negara-negara yang menjadi tujuan untuk menjual produknya.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak menjadi tujuan bagi para pelaku usaha tersebut. Langkah sejumlah perusahaan e-commerce untuk menutup akses perdagangan lintas negara dinilai tidak signifikan dalam membendung persaingan tidak seimbang antara produk impor dan produk lokal. Transaksi lintas negara melalui platform online cenderung kecil. Mengutip laporan Shopee Indonesia porsinya hanya sekitar 3 persen dari total transaksi. Perdagangan barang impor lebih banyak terjadi setelah produk diimpor secara umum oleh pelaku usaha, lalu dijual kembali secara online (Fathimah, 2021).
Produk asing ilegal yang berharga sangat murah dan belum tentu asli bisa mengancam produk lokal di Indonesia. Potensi kerugian negara juga sangat besar akibat praktik cross border ilegal karena tidak ada pajak yang dibayarkan (Ratih, 2021). Bagi pemerintah, perumusan skema pemajakan transaksi e-commerce yang sifatnya lintas batas lebih kompleks dibandingkan dengan yang diterapkan kepada pelaku lokal. (Bisnis.com, 2019). Hal ini tentu menjadi permasalahan yang urgent untuk dapat segera diselesaikan dengan kebijakan-kebijakan yang memihak pada pelaku usaha lokal (dalam negeri). Dampak yang besar dialami oleh pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia, khususnya pelaku UMKM, sehingga peran kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran UMKM dalam perekonomian negara perlu ditindak lanjuti dengan dengan perlidungan hukum dengan konsep green economy. Hal ini berkaitan dengan upaya menggerakkan sektor riil, sehingga para pelaku UMKM mendapatkan kepastian hukum. Ekonomi lemah dapat ditingkatkan peranannya apabila peta permasalahan yang dialaminya dapat diidentifikasi kemudian dibantu dengan program penanggulangan secara komprehensif sehingga pertumbuhannya dapat dirasakan oleh masyarakat paling bawah khususnya masyarakat UMKM (Miguna dkk, 2018).
Mengingat pentingnya menjaga kelangsungan lingkungan hidup untuk kesejahteraan umat manusia, baik untuk generasi sekarang maupun generasi berikutnya, kegiatan ekonomi yang memproduksi barang dan membuka lapangan kerja. Demikian, green economy diperlukan dalam rangka mendukung kesejahteraan dan keadilan para pelaku pasar dalam negeri untuk diberikan kesempatan dalam membangun ekonomi Indonesia. Kita berharap visi pembangunan pasar nasional ke depan harus berbasis peraturan green economy, untuk menjaga keseimbangan, antara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga perekonomian nasional. Kita berharap pembangunan ekonomi mikro dan makro yang dijalankan pemerintah sudah mengadopsi prinsip-prinsip green economy dalam implementasi di lapangan. Mengingat prinsip-prinsip green economy telah disusun PBB, dalam pertemuan The UN High Level Forum on Sustainable Development di New York, pada 16 Juli 2019 (United Nations, 2021).
Lima prinsip yang menjadi acuan semua negara yang ingin membangun perekonomiannya berbasis green economy. Prinsip pertama, green economy harus mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Kedua, harus mampu menciptakan kesetaraan, baik dalam satu periode generasi maupun dengan generasi berikutnya. Ketiga, harus mampu menjaga, memulihkan, dan berinvestasi di berbagai kegiatan yang berbasis sumber alam. Keempat, diharapkan mampu mendukung tingkat konsumsi maupun produksi yang berkelanjutan. Kelima, harus didukung adanya kelembagaan yang kuat, terintegrasi, dan dapat dipertanggungjawabkan (Fauzi. A, 2010). Berikut konsep green economy yang kami tawarkan dengan konsep tradisional sesusi falsafat ekonomi Pancasila yang mementingkan asas kekeluargaan.
Berdasarkan paparan tersebut urgensi dalam mengatasi masalah berkenaan perlindungan terhadap pelaku UMKM dalam negeri di era cross border e-commerce. Perlu segera dilakukan oleh pemerintah terlebih semakin kedepan, semakin berkembang pesat pula teknologi. Oleh karena itu, dari pembahasan di atas, lalu para penulis memberikan solusi terhadap pelaku usaha UMKM dengan konsep green economy yang mengedepankan asas ekonomi kekeluargaan dan pengawasan yang adil dan benar dalm meregulasikan peraturan-peraturan bekenaan dengan cross border e-commerce dan dampaknya pada Hukum Persaingan Usahan di Indonesia.
Berdasarkan dari paparan permasalahan-permasalahan di atas, maka kami di sini menarik dua rumusan masalah sebagai berikut ini: 1) Ingin mengetahui Kondisi dan Tantangan pelaku usaha UMKM di Indonesia di Tengah Meningkatnya Perdagangan Cross Border E-commerce, 2) Ingin mengetahui Konsep Kebijakan Green Economy sebagai Sebuah Solusi dalam menghadapi tantangan para pelaku UMKM di Indonesia di Tengah Meningkatnya Perdagangan Cross Border E-commerce. Sedangkan Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian dilakukan dengan cara menggunakan bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar, dengan cara mengadakan penelusuran terhadap literatur-literatur seperti buku-buku, jurnal, majalah dan tulisan-tulisan lainya baik kunjungan langsung ke perpustakaan maupun melalui internet. Hasil dari penelitian tersebut, disajikan secara deskriptif berupa pemaparan yang menggambarkan selengkap mungkin tentang bagaimana permasalahan kondisi dan tantangan pelaku UMKM di tengah meningkatnya perdagangan cross border e-commerce.
Kondisi dan Tantangan Pelaku UMKM di Tengah Meningkatnya Perdagangan Cross Border E-commerce.
Seiring dengan kemajuan teknologi, tidak dapat dipungkiri terjadi juga kemajuan lainnya pada perkembangan kehidupan manusia. Perkembangan yang terjadi bukan hanya mengenai sisi sosial dan pendidikan, tetapi juga terjadi pada sisi perekonomian di Indonesia. Adanya kemajuan serta peningkatan yang tidak hanya melibatkan satu orang dan orang lainnya atau satu badan usaha dengan badan usaha lainnya yang hanya terbatas pada Indonesia tentu mengantarkan Indonesia pada titik menuju perekonomian yang terintegritas. Secara sadar, saat ini perkembangan perekonomian terlebih dalam kegiatan jual beli sudah bisa dilakukan antar negara dan tidak terkurung pada suatu negara tertentu, sehingga Indonesia sebagai masyarakat internasional harus bisa mengikuti adanya perkembangan yang ada saat ini.
Dunia usaha sepatutnya memang dianggap sebagai dunia yang tidak dapat berdiri sendiri. Secara singkat, dapat dibuktikan dengan harus adanya suatu transaksi yang menyertakan antara pelaku usaha dan konsumen. Terdapat aspek lain yang ikut serta dan terlibat dalam dunia usaha atau perekonomian. Keterkaitan yang ada bisa memberikan suatu pembatasan tersendiri dengan dunia usaha, contohnya adalah suatu regulasi yang harus ditaati oleh para pelaku dunia usaha dan konsumen. Apabila para pelaku dalam dunia usaha beserta konsumen tidak mau tunduk pada regulasi yang ada, maka suatu aturan dapat dikatakan akan terlanggar dan terabaikan (Ahmad & Gunawan, 2000, 1). Di Indonesia, terdapat peraturan yang menjabarkan mengenai definisi dari pelaku usaha ataupun konsumen. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa:
"Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi."
Lalu, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa definisi dari konsumen ialah:
"Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."
Kembali pada pembahasan awal mengenai kemajuan dalam bidang perekonomian di Indonesia yang berubah secara cepat dan kompleks, akhirnya membentuk suatu perekonomian Indonesia yang terintegritas. Namun, perubahan yang cepat ini membawa suatu daya saing yang tinggi dan memaksa pelaku usaha untuk bisa terus mengikuti perkembangan yang ada, padahal untuk membentuk suatu aturan atau regulasi mengenai perubahan-perubahan tersebut cukup memakan waktu yang lama, dikarenakan perlunya suatu proses dan melewati berbagai pembahasan dan pertimbangan. Daya saing yang ada dapat dianggap sebagai tantangan penting bagi sistem perekonomian di Indonesia terlebih pada hukum persaingan usaha.
Perkembangan dalam dunia persaingan usaha ditandai dengan semakin meningkatnya perdagangan cross border e-commerce, perdagangan lintas batas atau negara. E-commerce adalah area dengan pertumbuhan tercepat dalam ekonomi global, yang memberikan kemudahan antara penjual dan pembeli. Kemudahan yang diberikan berupa perpendekan jarak dikarenakan transaksi dilakukan secara online dan dapat diakses oleh berbagai wilayah atau negara asalkan mereka memiliki teknologi dan informasi dan komunikasi (TIK) yang memadai, hal ini yang disebut dengan cross border e-commerce (Feng & Jiazhen, 2019).
Kemudahan yang diberikan dalam berbelanja secara daring atau secara e- commerce di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahkan Bank Indonesia (BI) mencatatkan bahwa transaksi perdagangan online atau melalui e- commerce bertumbuh ke arah positif pada saat kondisi pandemi. Peningkatan ini diproyeksikan sampai menyentuh angka Rp 429 triliun sepanjang tahun 2020 (Fika, 2020). Adanya hal ini tentu menjadi bunga harum bagi kemajuan perdagangan di Indonesia, karena para pedagang mau tidak mau harus bisa berinovasi dan mengikuti kemajuan teknologi yang ada. Berdasarkan hal ini, persaingan dalam dunia bisnis atau perdaganganpun akan semakin kuat. Namun, diharapkan adanya suatu persaingan yang sehat tanpa ada kegiatan monopoli atau persaingan yang tidak sehat yang nantinya akan berdampak buruk pada kondisi perekonomian di Indonesia.
Persaingan usaha yang sehat, bisa membawa perekonomian Indonesia kepada arah yang semakin baik dan positif, tetapi untuk membentuk, memperkuat, dan mendirikan suatu persaingan usaha yang sehat tidak bisa hanya dilakukan oleh pedagang atau pembeli. Diperlukan adanya bantuan dari pemerintah atau negara untuk bisa mengarahkan dan membimbing seluruh organ dalam dunia perdagangan di Indonesia untuk bisa menjadikan persaingan sehat menjadi satu-satunya bentuk persaingan usaha yang dijalankan. Dalam hal ini, negara memiliki peran untuk membentuk suatu aturan atau perundang-undangan yang mengatur jalannya gerak dari arah perdagangan terlebih mengenai persaingan usaha yang sehat untuk menutup celah-celah terjadinya kegiatan dagang atau persaingan monopoli di Indonesia (Syahmin, 2016, 4-6).
Apabila tidak ada suatu peraturan atau perundang-undangan yang membatasi gerak dari persaingan monopolistik, maka kebebasan yang berada dalam sistem pasar tidak jarang akan membentuk perilaku dari pelaku usaha untuk melakukan perbuatan yang membentuk struktur pasar yang memiliki sifat monopolistik atau oligopolistik. Pembentukan dari struktur pasar yang memiliki sifat monopolistik atau oligopolistik adalah suatu perwujudan dari adanya persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga diperlukan adanya pencegahan dan penanggulangan untuk hal ini (Mustafa, 2016, 1). Persaingan tidak sehat menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat didefinisikan sebagai kondisi persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atas jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Mengingat bahwa Indonesia sudah memasuki kondisi yang mana menunjukan bahwa masyarakatnya dapat dikatakan sebagai masyarakat pasar bebas, terdapat perdagangan yang dilakukan sudah berada pada jalur regional bahkan internasional. Mengingat belum tersedianya peraturan yang memadai mengenai prinsip ekstratoriterialitas dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, merupakan salah satu tantangan dalam menghadai dunia e-commerce ini. Meskipun terdapat acuan dalam peraturan mengenai e-commerce, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta terdapat pula pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, rasanya aturan-aturan ini masih kurang dalam mengikuti perkembangan zaman mengenai perdagangan dan transaksi jual beli yang sudah mengarah pada cross border e-commerce.
Pada saat melihat kondisi mengenai monopolistik dan persaingan usaha tidak
sehat, memang benar bahwa negara Indonesia telah membentuk suatu peraturan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, jangkauan dalam peraturan ini tidaklah cukup. Hal ini berkenaan mengenai kondisi penerapan prinsip ekstrateritorial persaingan usaha di Indonesia, terdapat hambatan dikarenakan sifat dari prinsip ekstrateritorial tidak sejalan dengan definisi Pelaku Usaha yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini. Definisi yang tertera dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengatakan bahwa "Menyelenggarakan kegiatan usaha di Indonesia" sehingga terjadi kerancuan dalam batas ekstrateritorial sebab adanya frasa tersebut memberikan batasan untuk usaha asing yang berkegiatan di luar dari wilayah Indonesia.
Prinsip ekstrateritorial merupakan prinsip yang mengatakan bahwa suatu negara mempunyai wewenang untuk menerapkan sistem hukum atau aturan suatu negara pada wilayah yang bukan bagian dari negaranya. Pada prakteknya, hambatan dalam sisi prinsip ekstrateritorial ini berimplikasi pada tidak dapat dijatuhkannya hukuman atau sanksi kepada pelaku usaha di luar dari wilayah Indonesia, meskipun ternyata terdapat kepastian bahwa pelaku usaha baik secara perorangan atau badan hukum tersebut melanggar undang-undang monopolistik dan melakukan persaingan usaha yang tidak sehat, amat disayangkan bahwa hal tersebut masih terbebaskan disebabkan tidak adanya peraturan yang mengikat serta terdapat pembatasan ekstrateritorial.
Penolakan akan tunduk pada aturan negara Indonesia bisa saja terjadi dikarenakan pelaku usaha tidak memiliki anak usaha atau pendirian usaha di Indonesia, padahal kemajuan kegiatan perdagangan lintas negara sedang marak dan tidak dapat terawasi secara rinci siapa saja pelaku usaha didalamnya, seperti contoh akun bisnis pada Shopee yang berada pada luar negeri tidak dapat dilihat satu persatu siapa saja pelaku usaha didalamnya sehingga memudahkan mereka untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak mengikuti aturan persaingan usaha di Indonesia. Kewenangan mengenai penegakan hukum persaingan usaha yang terjadi pada luar wilayah dari yuridiksi Indonesia yang dalam hal ini terpaku pada prinsip ekstrateritorial ternyata tidak menjadi mendapatkan perhatian lebih oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), hal ini bisa terjadi dimungkinkan karena KPPU kurang hati-hati dalam melihat kondisi persaingan usaha saat ini yang semakin berkembang dan merasa bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja. KPPU merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-undang mengenai persaingan usaha dan merupakan lembaga independen yang tidak terikat oleh pengaruh serta kekuasaan pemerintah. Tugas dan wewenang KPPU ada dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 5 tahun 1999. Nantonya, apabila terjadi atau terduga adanya suatu pelanggaran dalam kegiatan persaingan usaha, maka KPPU akan bergerak dan melakukan penegakan hukum. Penegakanyangnantinya akandilakukan meliputi pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan hingga pada titik pembuatan putusan untuk pelaku usaha tersebut (Rai, 2016).
Sejatinya, kembali membahas mengenai penegakan hukum dalam persaingan usaha yang belum jelas arah mengenai prinsip ekstrateritorial didalamnya, melihat lebih jauh pada Pasal 1 huruf e, yaitu:
"Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis." Pengertian definisi dari kata "perjanjian" apabila dikaitkan dengan Pasal 1 huruf g, yaitu:"Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi." Adanya kesinambungan antara 2 pasal ini, dapat terlihat bahwa perjanjian yang dimaksud hanya mengenai perjanjian yang ada dan terjadi pada wilayah hukum Indonesia saja, di mana penerapan prinsip yang digunakan juga terbatas pada prinsip teritorial sebagai landasan yang menyusunnya (Ahmad, 2016).
Tidak adanya perjanjian antar negara atau multilateral dan bilateral dalam menegakkan hukum persaingan usaha dalam bentuk ekstrateritorial juga menjadi salah satu hambatan besar bagi perkembangan aturan antar negaranya. Oleh sebab itu, KPPU sendiri terhambat dalam memproses laporan mengenai permasalahan persaingan usaha tidak sehat, meskipun pada dasarnya KPPU harus bergerak untuk mencari bukti. Namun tidak adanya laporan serta aturan hukum yang jelas juga menjadi salah satu sulitnya bergerak dalam negara hukum ini. Di samping itu, penempatan eksekusi putusan di Indonesia masih bersifat teritorialitas menempatkan sulitnya dilaksanakan suatu putusan pengadilan yang hanya berlaku pada wilayah Indonesia saja. Eksekusi untuk wilayah luar Indonesia atau luar negeri sulit dilakukan atau bahkan dapat dikatakan mustahil mengingat tidak adanya aturan yang berlangsung, padahal penanganan eksekusi terlebih dalam kasus perdagangan pada masa cross border e-commerce ini sangat penting agar bisa menertibkan pelaku usaha asing yang nakal dan bermain-main pada aturan yang ada.
Tidak adanya kerja sama internasional mengenai hukum perdagangan yang
mengarah pada persaingan usaha dalam jalur cross border e-commerce memberikan kesan bahwa tiap negaranya masih ingkar pada aturan hukum masyarakat internasional dan tidak mengandalkan hukum dalam mekanismenya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama antar negara untuk membentuk otoritas persaingan usaha yang lebih taat hukum baik secara bilateral maupun multilateral, hal ini tidak saja menguntungkan bagi negara Indonesia tapi juga negara lain, mengingat dengan adanya kepastian hukum bisa membantu para pelaku usaha yang sedang merintih maupun pelaku usaha yang menjaga kestabilan usahanya.
Kebijakan Green Economy sebagai Sebuah Solusi dalam Tantangan Pelaku UMKM di Tengan Meningkatnya Perdagangan Cross Border E-Commerce.
Penggunaan istilah green economy berawal dari diskusi seputar permasalahan lingkungan yang berorientasi kepada "Pembangunan berkelanjutan" pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1992 yang dikenal juga sebagai KTT Rio (D Amato, dkk, 2019). Inisiasi ini kemudian mulai diimplementasikan setelah krisis keuangan global pada tahun 2008 ketika masyarakat internasional berupaya menghidupkan ekonomi dengan cara yang lebih berkelanjutan. United Nations Environment Programme (UNEP) merumuskan definisi green economy yang hingga saat ini dapat diterima secara umum sebagai ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesejahteraan sosial, serta secara signifikan mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Dengan kata lain penerapan green economy dapat mengubah praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang merusak lingkungan menjadi perekonomian yang ramah lingkungan.
Dalam hal mengatur dan menjaga kegiatan ekonomi agar berjalan tertib dan seimbang merupakan salah satu peranan hukum di Indonesia. Melalui peraturan perundang-undangan yang berperan sebagai batasan pengawas sekaligus memberikan kepastian hukum bagi setiap pelaku eknomomi di Indonesia. Tidak terkecuali salah satu bentuknya dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Selain itu, pembangunan di bidang ekonomi pun harus diorientasikan kepada perlindungan terhadap lingkungan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Demi tercapainya tujuan tersebut, demokrasi dalam bidang ekonomi memberi kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha untuk berpartisipasi aktif di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang efektif, sehat, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Prinsip ekonomi yang berupaya memperoleh keuntungan (profit) yang sebesar-besarnya terkadang tidak luput dari exploitasi yang mengesampingkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, kebijakan green economy dalam hukum persaingan usaha merupakan tantangan dan solusi yang dibutuhkan saat ini.
Menilik sudut pandang perokonomian nasional sejak pandemi Covid-19 telah menyebabkan guncangnya penawaran dan permintaan yang drastis. Runtuhnya penawaran dan permintaan untuk barang dan/atau jasa menyebabkan arus perdagangan dan pendapatan nasional berkontraksi. Pada tahun 2020, International Monetary Fund (IMF) pun telah mengkonfirmasi terjadinya resesi tingkat global (Mark, 2020). Tidak terkecuali di Indonesia, pandemi Covid-19 mempengaruhi hampir disetiap sektor ekonomi. Menyikapi persoalan yang terjadi, mengingat berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah bulan Maret 2021, jumlah UMKM lokal mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 61,07%, (Kementrian Investasi RI, 2020) maka langkah solutif untuk meningkatkan UMKM ke arah digitalisasi sangatlah penting dalam pemulihan ekonomi nasional. Pengembangan UMKM digital menjadi salah satu jalan alternatif untuk menyelamatkan UMKM di masa pandemi Covid-19.
Dengan demikian pandemi Covid-19 telah mendorong tumbuhnya ekosistem perdagangan digital dengan memanfaatkan teknologi mulai dari proses hingga pada pemasaran produk dan jasa. Kehadiran electronic commerce (e-commerce) yang tumbuh signifikan baik itu domestik maupun nondomestik menjadi salah satu wadah bagi pelaku UMKM untuk memasarkan produknya, dengan kata lain e-commerce merupakan solusi kemudahan dan keuntungan bagi kegiatan usaha dengan melakukan bargaining atau pertukaran barang dan jasa antara penjual dan pembeli tanpa akses yang terbatas, serta cepat dalam memperoleh suatu produk sesuai keinginan tanpa harus keluar rumah (Margaretha, 2018).
Mengenal era digitalisasi tidak selamanya dipandang selalu menguntungkan. Kondisi yang sekarang terjadi dalam praktik justru cenderung merugikan pelaku UMKM dengan munculnya perdagangan cross border e-commerce yang dilakukan oleh e- commerce nondomestik. Belum adanya norma hukum yang mengatur, maka terlihat jelas masih lemahnya kepastian dan perlindungan hukum yang diberikan kepada UMKM dari praktik perdagangan cross border e-commerce. Perdagangan cross border e-commerce merupakan salah satu jenis e-commerce internasional yang mirip dengan cross border e-tailling. Tindakan yang memungkinkan untuk splitting atau pemecahan transaksi pembelian barang dan jasa oleh Cross Border E-Commerce inilah yang membuat pelaku UMKM akan sangat dirugikan dan tersaingi secara tidak sehat dalam ekosistem pasar.
Menilik permasalahan cross border e-commerce yang terjadi, maka peraturan perundang-undangan khususnya hukum persaingan usaha Indonesia memiliki peran yang sangat penting juga mempunyai andil yang sangat besar. Menjadi persoalan lanjutan bahwa saat ini hukum persaingan usaha di indonesia belum mencapai taraf cross border, hal ini disimpulkan dari rumusan definisi pelaku usaha dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa:
"Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi."
Adanya unsur "Kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia" maka terlihat jelas bahwa undang-undang persaingan usaha di sini terbatas dan tidak mempunyai daya extraterritorial. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan Hukum Persaingan Usaha di negara di Eropa yang penyelesaiannya dapat dilakukan secara cross border (European Commission. 2013).
Dalam tantangan dan persoalan cross border e-commerce seiring belum adanya
norma hukum yang mengatur, maka kebijakan green economy menjadi suatu solusi yang berkontribusi dalam hukum persaingan usaha yang akan datang. Prinsip umum yang digunakan dalam green economy, diantaranya (UNEP, 2020):
1)Ekonomi hijau merupakan sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan;
2)Ekonomi hijau meningkatkan tata kelola dan supremasi hukum, inklusif, demokratis, partisipatif, akuntabel, transparan, dan stabil.
Mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif memerlukan bauran kebijakan yang mencakup dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan dari proses pembangunan kebijakan tersebut akan mencakup kebijakan perdagangan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Jika dirancang dengan tepat dan diterapkan secara efektif, maka kebijakan persaingan adalah alat lain yang melengkapi kebijakan ini dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif (CMA, 2020).
Peluang yang diberikan oleh green economy dapat membantu mengatasi banyak dampak negatif di atas sekaligus mendukung beberapa jenis pembangunan ekonomi, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya denagra yang ikut serta dalam penandatanganan Paris Agreemen. Ekonomi hijau membutuhkan regulasi yang kuat dan sehat kerangka kebijakan yang benar-benar dilaksanakan dan ditegakkan. Hal ini perlu didukung oleh reformasi pasar dan ekonomi untuk menghindari model dan teori ekonomi tradisional yang mengesampingkan alam dan berinvestasi dalam kegiatan yang merusak lingkungan dan sosial. Sebaliknya, pasar dan strategi ekonomi dalam ekonomi hijau perlu dibentuk untuk mendukung kerangka kebijakan yang menetapkan aturan main, dan mendorong investasi dalam kinerja lingkungan yang baik, dalam modal alam dan dalam memungkinkan solusi untuk tantangan lingkungan dan social (UNEP, 2019).
Meskipun disadari bahwa undang-undang persaingan usaha bukanlah alat utama untuk mengatasi masalah lingkungan. Namun, Hukum Persaingan Usaha memiliki peran untuk dimainkan dan dapat dikatakan lebih dari sekedar mendukung dalam mencapai green economy. Hal ini didasarkan oleh beberapa negara anggota European Union (UE) yang telah mengkonkritiasi green economy kedalam Hukum Persaingan Usahanya.
Secara historis Komisi Eropa berserta negara anggota EU telah menggunakan pendekatan green economy sebagai langkah tujuan keberlanjutan sebagaimana tercantum dalam perjanjian Treaty of the Functioning European Union (TFEU) dan Piagam Uni Eropa tentang Hak Fundamental Uni Eropa yang bisa disebut sebagai ketentuan konstitusional. Khususnya pada Pasal 37 yang menyatakan bahwa "Perlindungan lingkungan dan peningkatan kualitas lingkungan harus diintegrasikan ke dalam kebijakan penghimpunan (Treaty of the Functioning European Union (TFEU), 2020). Kemudian pasal 3 ayat 3 TEU menegaskan kembali bahwa Uni Eropa bekerja untuk pembangunan berkelanjutan (The Treaty On European Union (TEU), 2020). Tidak terkecuali hukum persaingan usaha juga digunakan sebagai instrumen dalam mencapai tujuan berkelanjutan.
Meninjau dari segi teknis hukum persaingan usaha secara tradisional dikenal dari dua perspektif yang berbeda yaitu Hukum Persaingan Usaha menjadi "Perisai" dan hukum persaingan usaha menjadi "Pedang." Penerapan hukum persaingan usaha dapat dijadikan sebagai "Pedang" untuk mencapai keberlanjutan dapat dicapai melalui larangan terhadap tindakan yang menyimpang dari sudut pandang keberlanjutan. Sementara itu, hukum persaingan usaha sejauh aspek pendukung sebagai "Perisai" memungkinkan tindakan yang diarahkan untuk mencapai keberlanjutan dalam mengimbangi efek keberlanjutan (Jurgita, 2020). Gambaran jelas terhadap Hukum Persaingan Usaha sebagai "Pedang" ditinjau berdasarkan penerapan Pasal 101 ayat 3 TFEU.
Penerapan Pasal 101 ayat 3 TFEU tercermin dalam kasus pembuat mobil di Jerman, di mana Komisi Eropa mengenakan denda sebesar EUR 875.189.000 pada BMW dan grup Volkswagen (Audi dan Porche) karena melanggar aturan antimonopoli EU khususnya Pasal 101 ayat 1 TFEU dengan berkolusi pada pengembangan teknis di area pembersihan nitrogen oksida (European Commission. 2013). Selain itu, dapat terlihat juga dalam kasus deterjen yang melibatkan Henkel, Unilever dan Procter & Gamble yang terlibat dalam prilaku stabilisasi pasar dengan tidak menggunakan inisiatif lingkungan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif atas yang lain. Tinjauan kasus ini menggambarkan implementasi green economy dalam hukum persaingan usaha di UE.
Penerapan green economy dalam hukum persaingan usaha di Eropa telah memberikan dorongan baru kepada bisnis untuk mengejar inisiatif keberlanjutan dalam hukum persiangan usahanya. Namun, kenyataan ini berbanding terbalik dalam praktiknya di Indonesia. Jika melihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tidak ada satu pasal pun membahas dan/atau mengadopsi kebijakan green economy. Ditambah persoalan mengenai cross border e-commerce yang belum memiiki instrumen hukum membuat tantangan baru dalam pembaharuan hukum persaingan usaha yang berorientasi dan berwawasan lingkungan.
Persoalan mengenai Cross Border E-Commerce bukanlah suatu hal yang baru, tetapi sampai saat ini kesadaran akan pentingnya pembaharuan hukum belumlah tercapai. Pemerintah memiliki peran penting untuk melakukan intervensi dengan mengenakan pajak kepada pelaku cross border e-commerce yang berdampak negatif terhadap persaingan usaha dan lingkungan sehingga dibutuhkan instrumen hukum persaingan usaha yang baru serta diarahkan kepada tujuan dalam membangun iklim persaingan di pasar yang sehat dan berwawasan lingkungan, serta memaksimalkan kesejahteraan UMKM lokal.
Pada hakekatnya prinsip kebijakan hukum persaingan usaha mengacu pada larangan atau penghapusan praktik yang membatasi persaingan tidak sehat. Dari sudut pandang penegakan hukum persaingan usaha dengan menggunakan green economy terhadap praktik cross border e-commerce merupakan solusi baru dalam menjawab dan mengidentifikasi masalah berupa (a) Setiap kali terdapat tindakan yang mempengaruhi lingkungan dapat dikenai sanksi oleh aturan hukum persaingan di tengah praktik cross border e-commerce. (b) Setiap pertimbangan lingkungan dalam relevan dengan penyelesaian suatu kasus, maka pertimbangan tersebut dapat dipertimbangkan untuk membuat suatu keputusan. Dewasa ini dengan adanya praktik cross border e-commerce secara politis, dan legitimasi hukum persaingan usaha yang akan mendatang diharapkan tidak hanya menyediakan kepastian hukum semata, tetapi di era saat ini kebutuhan hukum persaingan usaha dengan menggunakan kebijakan green economy di mana ekonomi pasar berada di bawah tantangan kelestarian lingkungan menjadi hal yang penting.
Simpulan
Berdasarkan dari penelitian di atas maka para penulis di sini ingin menyimpulkan hasil daripada penelitian ini. Pergerakan pembentukan aturan hukum mengenai perdagangan ekstraterirorial di Indonesia masih belum memiliki landasan hukum yang jelas. Padahal adanya dasar hukum yang akan menjadi jalur dari jalannya perdagangan lintas negara ini sangat penting, mengingat diperlukan pencegahan dan/atau bahkan penanggulangan mengenai segala konflik yang mungkin terjadi. Terlebih kegiatan perdagangan erat hubungannya dengan monopolistik dan persaingan tidak sehat sehingga perlu dibentuk peraturan yang mengikat baik di dalam Indonesia atau bahkan oleh negara-negara internasional untuk mencegah adanya tindakan penyalahgunaan kemajuan perdagangan internasional. Tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan persaingan sendiri yaitu untuk memaksimalkan kesejahteraan konsumen dan pera pelaku usaha. Dalam memaksimalkan upaya tersebut diperlukan syarat yang harus dipenuhi yaitu efisiensi alokatif. Ini adalah situasi yang menunjukan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen ditawarkan kepada mereka sesuai dengan harga yang mereka inginkan. Munculnya praktik cross border e-commerce yang melakukan splitting harga membuat rugi UMKM lokal. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai peran untuk melakukan intervensi melalui perpajakan sebagai solusi dalam memperkuat perlindungan para pelaku usaha dan konsumen sehingga dengan ini dapat menciptakan eksternalitas untuk menyesuaikan prilaku mereka.
Rekomendasi
Adapun demi tercapainya tujuan ideal dalam di tengah praktik cross border e-commerce, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendukung hal tersebut adalah dengan membentuk payung hukum mengenai ketentuan ekstrateritorial dalam perdagangan lintas negara (cross border e-commerce) yang bisa menguntungkan UMKM dalam negeri atau melindungi segala aktivitas perdagangan lintas Negara, serta membentuk perjanjian internasional dengan negara-negara lain untuk bisa mengimbangi peraturan dalam negeri, peraturan internasional yang dibentuk mengenai larangan, hukuman, dan juga apa saja yang harus ditaati dalam perdagangan lintas negara yang tentunya tidak hanya melibatkan dua negara saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H