"Kita telah begitu disesatkan untuk menjelek-jelekkan keraguan dan mengagung-agungkan keyakinan" begitulah yang diungkapkan Lesley Hazleton seorang penulis dan jurnalis kawakan asal Amerika dalam bukunya yang berjudul Agnostik Sebuah Manifesto Penuh Gairah.
Lanjutnya, kita telah dibuat sedemikian takut pada keraguan yang sampai-sampai kita menganggap siapa saja yang dihinggapi keraguan, maka ia memiliki cacat karakter.Â
Padahal keraguan merupakan suatu proses olah jiwa dan olah pikiran. Keraguan dan keyakinan bukan untuk saling dipertentangkan satu sama lain, tetapi untuk sama-sama saling menjalin, saling merasai, sehingga akan saling memperkaya.Â
Keduanya merupakan komponen penting yang harus ada dalam diri seorang manusia, termasuk itu dalam sains dan agama sekalipun.
Lesley memberikan contoh salah satu keraguan agama paling menakjubkan datang dari Nabi Muhammad SAW. Dalam momen malam pertama beliau menerima wahyu Al-Qur'an di Gua Hira, sebagaimana diriwayatkan dalam banyak biografi Islam, Sang Nabi melewatinya dengan keraguan besar yang menggetarkan jiwa.Â
Setelah menerima wahyu pertama, Sang Nabi yang telah diberkahi tersebut tidaklah lantas melayang berjalan di atas udara menuruni gunung itu, melaikan beliau turun dengan berlari tersengal-senggal untuk menyelamatkan diri dengan tubuh gemetar terguncang hebat, bukan karena rasa sukacita, melainkan karena rasa takut yang teramat sangat.
Rasa ngeri dan penyangkalan adalah tanggapan waras yang merupakan bagian alamiah reaksi yang sangat manusiawi. Keraguannyalah yang membuat Nabi Muhammad hidup, yang memberinya keyakinan atas keseluruhan realitas, yang membuatnya terlihat manusiawi, dan sisi kemanusiaan inilah yang menjadikan beliau nyata.
Begitupula para ilmuwan sains telah menekankan pentingnya keraguan dan ketidakpastian dalam cara kerja mereka.Â
Setiap konsep sains memang diukur keabsahannya pada skala tertentu. Tetapi, pada akhirnya, tidak satu pun bisa dianggap sepenuhnya salah atau sepenuhnya benar. Menjadi seorang saintis butuh keyakinan pada ketidakpastian dan bagaimana cara belajar menumbuhkan keraguan. Karena tidak ada yang lebih pasti untuk mengacaukan suatu eksperimen sains selain dengan keyakinan yang terburu-buru.
Lesley menyatakan tak mungkin mempercayai siapa pun yang tidak pernah mengalami dan mengakui adanya keraguan. Oleh karena itu, dia menampakan kebenciannya terhadap sikap fanatisme.Â
Karena menurutnya, sikap ini sama dengan menafikan keraguan. Baik itu penganut agama fanatik atau ateis fanatik, merupakan sama-sama makhluk yang 'tidak bisa mendengar musik dari berbagai genre'. Mereka dengan jumawa merasa paling yakin dengan kebenaran dan segala ketakbersalahan mereka sendiri dan mencap siapa saja yang bersebrangan dengannya pastilah berada di jurang kesalahan.
Lesley menyatakan, tanpa keraguan, keimanan yang sebenarnya mustahil dimiliki. Keraguanlah yang membentuk agama manusia. Karena jika keraguan dibuang, maka yang tersisa bukanlah keimanan, melainkan keyakinan absolut tak berperasaan, suaka gelap gulita yang membutakan pikiran dan kemanusiaan. Sehingga akan memandang semua yang bersebarangan sebagai musuh dan ancaman yang perlu dibantai habis.Â
Tetapi lanjutnya, sikap keimanan dengan kerentanan dan kerendahan hati yang menyertainya adalah suatu hal penting yang perlu dimiliki penganut agama dan suatu hal yang tidak dimiliki kelompok fundamentalis agama mana pun.
Namun Lesley Hazleton yang juga seorang Yahudi Agnostik sebagaimana diungkapkan dalam bukunya telah dan lebih memilih jalan hidupnya dengan 'Menari di atas keraguan' daripada harus 'Bersemayam di atas keyakinan'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H