Mohon tunggu...
Muhammad Sabiq Hilmi
Muhammad Sabiq Hilmi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Santri

Alumni Perguruan Islam Mathali'ul Falah Kajen-Pati Sekarang nyantri di Pondok Pesantren Mamba'ul Ulum Pakis Tayu

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Beriman Secara Taqlid

9 April 2024   00:08 Diperbarui: 9 April 2024   00:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbincangan mengenai ketuhanan nampaknya masih akan selalu menarik dan terus diperdebatkan sampai sekarang. Bagaimana tidak, fitrahnya manusia memang diberi akal yang sebegitu menakjubkan yang membuatnya  terus berkembang menyesuaikan zaman.

Salah satu pembahasan yang agak musykil dan menjadi diskusi hangat dikalangan para mutakallimun (teologi) adalah mengenai konsep beriman secara taqlid. Apalagi bagi kita yang hidup di Indonesia yang kental dengan tradisi manut kepada orangtua atau gurunya baik urusan duniawi atau ukhrawi. Lantas, apa itu taqlid? Dan sebatas mana seseorang dalam bertaqlid?

Para ulama ahli kalam (teologi) bersepakat bahwasanya wajib bagi setiap orang mukallaf mengetahui setiap aqidah ketauhidan walau hanya secara dalil ijmaly (global).

Seperti contoh ketika seseorang ditanya “apa dalil adanya allah SWT?” kemudian  dia menjawab “adanya alam semesta” tanpa menyebutkan dalilnya, maka dinamakan dalil ijmaly dan sah keimanan seseorang. Lantas, bagaimana bila tidak mengetahui dalil sama sekali, dengan hanya taqlid kepada seseorang?

Imam al-Baijuri dalam kitabnya Tuhfatul Murid syarh Jauharat at-Tauhid menjelaskan bahwa iman secara taqlid ialah seseorang yang meyakini aqidah-aqidah ketuhanan dari guru atau orang lain yang dia percaya, dan dia yakin seyakin-yakinnya tanpa perlu mengetahui dalilnya.

Bisa kita ambil contoh semisal gurunya mengatakan “Allah itu maha melihat”, lalu dia yakin akan pendapat itu dan membenarkannya dalam hati. Dia tak tahu dalilnya, dan mungkin tak mampu menjawab bila didebat soal ini. Tapi dia yakin dan bila ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu tuli, dia akan mengingkarinya dan menganggap hal itu salah.

Setidaknya, ada enam pendapat mengenai status iman orang yang bertaqlid dengan uraian sebagai berikut:

1.Tidak sah imannya orang yang bertaqlid, maka orang yang bertaqlid dihukumi kafir, ini adalah pandangan imam Sanusi dalam kitab al-Kubra

2.Sah imannya orang yang bertaqlid namun dihukumi maksiat (berdosa) secara mutlak, baik dia mempunyai kemampuan mengkaji (nadzhor) atau tidak.

3.Sah imannya orang yang bertaqlid namun dihukumi maksiat (berdosa) jika dia mempunyai kemampuan mengkaji (nadzhor). Jika dia tidak mempunyai kemampuan mengkaji (nadzhor) maka tidak berdosa.

4.Orang yang bertaqlid dengan al-Qur’an dan al-Sunnah sah imannya karena dia mengikuti sesuatu yang qath’i. namun apabila dia mengikuti selain keduanya, maka tidak sah imannya karena mengikuti sesuatu yang tidak selamat dari kesalahan aqidah.

5. Sah imannya orang yang bertaqlid dan tidak berdosa secara mutlak. Karena mengkaji (nadzhor) hanyalah syarat kesempurnaan iman. Namun, orang yang meninggalkan mengkaji (nadzhor), termasuk telah meninggalkan perkara yang lebih utama

6.Imannya orang yang bertaqlid dihukumi sah dan haram untuk mengkaji (nadhzor) karena ditakutkan terjadi kesalahpahaman dalam berfikir sehingga tidak menutup kemungkinan terkandung pencampuran dengan falsafah.

Dari keenam pendapat ini, ulama Ahli Sunnah mengeluarkan suatu kesimpulan  bahwa imannya seorang yang bertaqlid itu sah, namun dihukumi maksiat (berdosa) sebab meninggalkan mengkaji (nadzhor) jika memang orang tersebut mempunyai kemampuan mengkaji.

Lebih lanjut lagi, Imam Ibrahim al-laqoni dalam bait selanjutnya yang berbunyi:
فَقَالَ: إِنْ يَجْزِمْ بِقَوْلِ  الْغَيْـرِ - كَفَى وَإِلا لَـمْ يَـزَلْ فِـي  الضَّيْـرِ

Mengutip pendapat Imam Tajuddin as-Subki yang mengatakan jika keyakinan orang yang bertaqlid itu begitu kuat, dan seandainya orang yang dia ikuti merubah pendapatnya namun dia tidak mengikutinya dalam artian masih yakin dengan pendapat yang sebelumnya, maka diperbolehkan keyakinan orang tersebut.

Berbeda halnya ketika orang yang dia ikuti merubah pendapatnya, kemudian orang tersebut ikut merubah keyakinannya, maka orang tesebut masih dalam masalah, sebab ragu akan keimanan yang dianutnya.

Yang perlu digarisbawahi adalah taqlid bukan hanya ikut dengan pendapat seseorang tanpa tahu aqidah sama sekali. Kita tetap diwajibkan mengetahui aqidah-aqidah ketuhanan, namun untuk mengetahui dalil-dalil Nya secara jelas dan terperinci, diperbolehkan bertaqlid.

Meskipun ada pendapat yang mengatakan iman seorang muqallid dianggap sah, bukan berarti membuat kita seenaknya taqlid kepada seseorang tanpa mengkaji aqidah-aqidah terlebih dahulu. Apalagi kita sebagai manusia yang diberikan anugerah akal oleh Allah SWT. Akan tetapi, dalam hal urusan ketuhanan malah hanya ikut-ikutan tanpa menggunakan akal untuk mengetahui sifat-sifat Nya.

Hal ini perlu kita perhatikan terlebih bagi kita yang masih dalam proses belajar. Sudah sepatutnya untuk mengkaji lebih dalam lagi aqidah serta dalil-dalil ketuhanan secara jelas dan terperinci. Sebab dengan begitu, dapat memperteguh keyakinan iman dalam diri kita sehingga terhindar dari aliran-aliran yang menyimpang yang sekarang banyak terjadi di dunia maya.

Terakhir, Imam as-Showi dalam kitabnya yang berjudul Syarah Showi ‘ala Jauharat at-Tauhid menegaskan bahwa “sesungguhnya buah daripada keimanan adalah melakukan ketaatan, maka barang siapa yang beriman walaupun secara taqlid dan dia memperbanyak ketaaatan, maka Allah akan menerangi hatinya.” Wallahu a’lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun