“Demikianlah dunia, namun bukan demikian: dunia bukan apa-apa dan dunia adalah segalanya.” Itulah jeritan kontradiktif yang berarti ‘harapan’ dalam pengertian Alber Camus. “Seni bukanlah penolakan total bukan pula penerimaan total terhadap sesuatu seperti apa adanya. Seni sekaligus merupakan penolakan dan penerimaan. Dan inilah sebabnya mengapa seni harus merupakan aksi menjauh yang terus menerus diperbarui sementara seniman senantiasa hidup dalam kondisi ambiguitas, yang tidak mampu menegasikan yang riil, namun terus menerus mempertanyakannya dalam pemberontakan yang tak pernah selesai.” (Wawancara dalam majalah DEMIAN; th. 1942)
Andre Gide menarasikan hal serupa dengan baik, walau menurut Camus pernyataan Gide sering disalah pahami:”Seni hidup dengan pengekangan-pengakangan dan mati kerena kebebasan.” Yaitu pengekangan dari pembatasan yang dikenakan terhadap seni itu sendiri, dan bukan sebab seni bisa dikontrol. Hal itu mengandaikan bahwa jika seni tidak membatasi diri sendiri, seni akan menggunakan ocehan hegeminiknya dan menjadi budak baying-bayang belaka. Alber Camus menilai, tidak ada karya seni yang magis dan jenius seperti dalam tragedy Yunani, Tolstoy atau Gabriel Garcia Marquez, di dasarkan pada kebencian dan penghinaan. Sebab seniman (dan karya seninya) memerdekakan dan bukan mengutuk. Bukankah demikian daya emansipatoris yang kita harapkan dari dunia seni kita? Karena tujuan seni bukanlah mengatur atau merajalela, melainkan yang utama adalah memahami.
Seorang pengarang Austria, Heimito Von Doderer, mengistilahkan usaha “memahami” itu sebagai “ilmu kehidupan”: menawarkan suatu model pemahaman hubungan, tindakan dan gairah manusia. Bukan untuk menentang melainkan mendampingi model-model ilmiah tentang pengetahuan dunia. Kasusastraan, menurut Louis Althuser memang tidak mampu melakukan tindakan revolusi untuk suatu kondisi kehidupan sejahtera, kasusatraan tidak perlu mengganti kepolitikan, tetapi kasusastraan menjadi pendorong dari usaha-usaha revolusi. Fungsi dan keabsahannya yaitu membuka renungan yang tidak akan berakhir tentang makna kehadiran manusia-manusia konkrit.
Karena itulah, tepat rasanya ditengah gagasan “seni untuk seni” dan “seni komitmen” yang mengancam zaman kita seperti telah kita refleksikan di awal tulisan ini, tepat kita mempertimbangkan apa yang oleh Alber Camus di istilahkan sebagai “Memasukkan karya kedalam zamannya”—dengan kata lain, kejadian yang terdekat, manusia-manusia konkrit yang hidup hari ini. Seniman tidak dapat berpaling zamannya, tidak pula kehilangan diri dalam zamannya. Jika dia berpaling dari zamannya, dia berbicara dalam ruang hampa. Apabila dia menggunakan zamannya sebagai objek, dia menegaskan eksistensinya sendiri sebagai subjek, dan dengan demikian tidak menyerah kepada zaman.
”….Cuma kenangan berdebu/kita memberi arti/atau diserahkan pada anak lahir sempat/karena itu jangan mengerdip/tatap dan penamu asah.”(Chairil Anwar: 1942) itulah sajak ajakan Chairil Anwar yang menjadi tonggak bagi semangat zaman modern kita.
Sudah berakhir kiranya zaman dimana seniman hidup sendirian berpangku tangan tercerabut dari realitas generasi zamannya. Mereka memang hidup, dan akhirnya mati sendirian seperti ketika mereka hidup. Begitulah manifesto kesenian Camus yang dengan baik berusaha memahami zamannya, memberontak dan tidak tunduk dikalahkan oleh kondisi zamannya.”Kami para penulis abad ke-20 tidak akan pernah lagi sendirian. Kita hidup bersama zaman kita, kita harus tahu kita tidak pernah dapat lari dari kesengsaraan bersama yang menindas zaman kita. Dan satu-satunya justifikasi kita, jika ada justifikasi, ialah berbicara sejauh kita dapat, bagi mereka yang tidak dapat berbicara.” Atau dengan kata lain Camus ingin mengatakan bahwa seorang penulis saat ini tidak dapat melayani orang-orang yang membuat sejarah; ia harus melayani mereaka yang menjadi sasaran sejarah itu. (Albert Camus, dalam sambutan pada acara penerimaan hadiah Nobel bidang sastra: tahun, 1957)
Maka dari itu izinkanlah saya menutup tulisan ini dengan ajakan, untuk terus hidup dan untuk terus berkarya, sebab mungkin kita akan hidup untuk seribu tahun lagi….!?
----------
Penulis adalah Direktur pada Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI)Jakarta, dan bekerja sebagai Editor Publikasi Indhrra (Indonesian Secretariat for the Development of Human Resources in Rural Areas) Yayasan Bina Desa. Novel Pertama ”Burung Kertas Menempuh Takdir Sunyi” akan segera terbit, April 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H