Mohon tunggu...
Sabila Rosyida
Sabila Rosyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sabila

An aspiring writer.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menilai Cerpen "Saksi Mata" Karya Seno Gumira Ajidarma

4 Juli 2021   09:52 Diperbarui: 4 Juli 2021   09:53 5471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seno Gumira AJidara | Alinea TV

Atas kumpulan cerpen "Saksi Mata", SGA dianugerahi Penghargaan Penulisan Karya Sastra pada tahun 1995 oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Terjemahan bahasa Inggrisnya, Eyewitness, memenangkan Penghargaan Dinny O'Hearn untuk Terjemahan Sastra pada tahun 1997 dalam Premier's Literary Award.

"Saksi Mata" terbukti dibenci rezim, dicintai masyarakat dengan penghargaan yang diperolehnya. Namun, bagus-tidaknya suatu karya sastra tetap saja relatif bagi setiap orang. Dalam tulisan ini, saya berusaha menilai cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sesuai tiga dari tolok ukur yang ditentukan Maman S. Mahayana dalam Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: kebaruan (inovasi), kepaduan (koherensi), dan kompleksitas (kerumitan).

Saksi Mata memiliki latar belakang yang panjang dalam penulisannya yang menyangkut Insiden Dili 1991 dan keterlibatan SGA bersama kawan-kawannya dalam memublikasikan insiden tersebut. 

Saya tidak akan bicara panjang lebar mengenai jalur jurnalistik yang ditempuh SGA demi memberikan informasi kepada masyarakat -- jika tidak keadilan -- yang toh berhasil juga walau sempat "disandung" sana-sini. 

Saksi Mata merupakan salah satu cerpen yang dikarang SGA atas hak istimewanya sebagai pengarang -- imajinasi yang terinspirasi berdasarkan kejadian aktual. Beberapa detail seperti nama tokoh dan latar disamarkan dalam Saksi Mata. 

Saksi Mata berperan memajukan dunia sastra dengan keberanian pengarang mengangkat isu sensitif di dalamnya. Untuk itu, saya rasa aman mengatakan bahwa Saksi Mata bukan karya sastra yang ditulis untuk "main-main". Namun, untuk memenuhi kriteria kebaruan, kita masih perlu membandingkan Saksi Mata dengan cerpen-cerpen SGA sebelumnya.

Manusia Kamar (1988) menceritakan tentang seorang introvert dengan sikap pesimismenya terhadap manusia dan hidup. Cerpen tersebut berlatarkan suasana perkotaan di malam hari. 

Manusia Kamar menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan tentang temannya, ia, si introvert. Dalam perbandingannya dengan Saksi Mata, Manusia Kamar mengangkat tema yang lebih personal yang condong ke sisi psikologis menyangkut pergulatan seseorang dengan hidup. Selain itu, latar tempat dan waktu yang ditampilkan dalam Manusia Kamar lebih variatif daripada Saksi Mata.

Namun, Saksi Mata bukan cerpen berbau kriminalitas pertamanya. SGA pernah menulis Keroncong Pembunuhan (1985) dan Bunyi Hujan di Atas Genting (1985) yang sama-sama menceritakan pembunuhan. 

Kedua cerpen tersebut menampilkan satu latar tempat dominan dan satu latar waktu dominan -- malam hari dan setelah hujan berhenti. Keroncong Pembunuhan menyinggung tentang kebobrokan politik yang tidak dijelaskan seeksplisit Saksi Mata.

Yang menarik, keempat cerpen SGA yang tergabung dalam kumcer berbeda tersebut sama-sama memiliki akhiran gantung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun