Reklamasi pesisir Surabaya, khususnya proyek Surabaya Waterfront Land (SWL), telah menjadi isu kontroversial yang memicu perdebatan antara pemerintah, investor, nelayan, dan aktivis lingkungan. Proyek ini direncanakan mencakup area seluas 1.184 hektare di pesisir utara Surabaya, dengan tujuan membangun empat pulau buatan yang akan digunakan untuk pengembangan kawasan wisata, perumahan, dan fasilitas pengolahan ikan.
Dampak terhadap Nelayan dan Komunitas Pesisir
Nelayan lokal mengkhawatirkan bahwa reklamasi ini akan menghilangkan area tangkapan ikan mereka, yang merupakan sumber mata pencaharian utama. Misbahul Munir, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Timur, menyatakan bahwa sekitar 12 kampung nelayan akan terdampak oleh proyek ini, termasuk Tambakrejo, Tambakwedi, Nambangan, dan lainnya. Selain itu, pedagang kaki lima dan pelaku usaha perikanan di sekitar Pantai Kenjeran juga akan merasakan dampaknya.
Ahmad Sukron, seorang nelayan dari Nambangan, menilai bahwa proyek strategis nasional ini merupakan upaya pemerintah dan investor yang dapat menggeser perkampungan nelayan dan mengancam tradisi serta adat yang telah lama ada. Ia menekankan bahwa proyek ini tidak hanya membunuh mata pencaharian nelayan tetapi juga mengubah kawasan pesisir menjadi area yang hanya dapat diakses oleh kalangan elite.
Dampak Lingkungan
Aktivitas reklamasi dikhawatirkan akan merusak ekosistem pesisir dan laut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyatakan bahwa reklamasi dapat menyebabkan penurunan kualitas air laut, kerusakan habitat mangrove, dan peningkatan risiko penurunan muka tanah yang berpotensi menyebabkan banjir rob. Selain itu, kebutuhan material tambang seperti pasir dalam jumlah besar untuk reklamasi dapat memicu praktik penambangan pasir yang merusak lingkungan di daerah lain.
Perspektif Pemerintah dan Investor
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyatakan bahwa proyek reklamasi ini merupakan inisiatif pemerintah pusat dan investor, dengan sedikit campur tangan dari pemerintah daerah. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa kehidupan nelayan tidak terganggu oleh proyek ini.
Sementara itu, PT. Granting Jaya, pengembang utama proyek SWL, berkomitmen untuk memajukan pembangunan di Surabaya, khususnya di kawasan timur. Mereka berencana membangun hotel berbintang, kawasan wisata, hunian nelayan, serta berbagai fasilitas pengolahan ikan di pulau hasil reklamasi. Meskipun demikian, mereka menyadari adanya pro dan kontra terkait proyek ini dan berjanji akan mendengarkan masukan dari masyarakat nelayan.
Analisis Regulasi dan Legalitas
Beberapa pakar hukum menilai bahwa penetapan proyek SWL sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) memiliki cacat regulasi, karena dianggap melanggar peraturan daerah yang ada, seperti Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Provinsi Jawa Timur Tahun 2023-2043, dan Perda Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034. Selain itu, proses penetapan PSN dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara utuh.