Konflik yang terjadi antara Israel dengan kelompok Hizbullah memakan waktu hampir setengah abad lamanya. Konflik ini memiliki akar yang berasal dari dinamika sejarah, ideologi, dan geopolitik yang terjadi di wilayah Lebanon Selatan dan sekitarnya. Â Semua ini bermula saat terjadinya invasi yang dilakukan oleh Israel ke Lebanon untuk merespon adanya kehadiran militant Palestina dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Untuk menciptakan zona penyangga, Israel tetap menjaga pendudukan di Lebanon Selatan bahkan setelah PLO diusir. Invasi ini pastinya memancing kemarahan dari berbagai kelompok yang ada di Lebanon, salah satunya adalah kalangan Syiah yang sudah merasa terpinggirkan dengan adanya kehadiran militer asing.
Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979 yang berupa adanya hubungan antara para ulama Syiah Lebanon dan Iran menjadi cikal bakal terbentuknya Hizbullah. Hizbullah merupakan suatu organisasi gerakan syiah yang berada di Lebanon yang bersayapkan politik, agama, dan militer yang dibentuk pada tahun 1985. Â Organisasi ini menggunakan ideologi hasil gabungan pan-Syiah dan anti-Zionisme yang berkomitmen pada garis politik Iran. Gerakan Hizbullah ini timbul karena adanya respon dari golongan penganut Syiah atas invasi dan kependudukan yang terlah dilakukan oleh Isarel di Lebanon Selatan.
Pada kurun waktu tahun 1985—2000, Hizbullah melawan militer Israel dan sekutunya, yaitu Pasukan Lebanon Selatan (SLA) dengan menggunakan stategi gerilya. Pada tahun 2000, Israel menarik pasukannya dari Lebanon Selatan sebagai akibat dari adanya tekanan internasional dan kerugian militer yang mereka alami pada saat itu. Karena adanya hal ini, kelompok Hizbullah dianggap menang dan meningkatkan popularutasnya di Lebanon.
Konflik antara Hizbullah dan Israel menyentuh puncaknya pada tahun 2006 saat Hizbullah melakukan penyerangan lintas perbatasan yang menewaskan beberapa tentara Israel dan menculik dua tentara lainnya. Karena adanya penyerangan tersebut, Israel melakukan penyerangan balik dengan mengirimkan serangan militer besar-besaran ke Lebanon. Bukannya terdiam karena mendapat serangan balasan, Hizbullah malah mengirim serangan roket ke Israel bagian utara. Situasi saling serang-menyerang ini berlangsung selama 34 hari lamanya, yang menyebabkan timbulnya korban jiwa serta kerusakan pada infrastruktur yang ada baik di Israel maupun di Lebanon. Pada saat itu tercatat sebanyak 1.200 warga Lebanon tewas dan 4.400 orang luka-luka. Di sisi lain, Israel melaporkan sebanyak 158 kematian, dan Sebagian besarnya adalah tantara. Hingga akhirnya dilakukannya gencatan senjata oleh PBB (Resolusi 1701) dan penempatan UNIFIL di daerah perbatasan.
Konflik yang terjadi antara Hizbullah dan Israel ini juga memengaruhi politik Lebanon yang telah membentuk pemerintahan dan struktur masyarakat Lebanon sebagai akibat dari adanya peran ganda yang dimiliki oleh Hizbullah sebagai entitas militer dan politik. Pasca terjadinya perang 2006 itu, Hizbullah memperkuat militernya dengan berupa bantuan dari Iran dan Suriah. Pada tahun 2009, Hizbullah berkomitmen untuk mengintegrasikan manifestonya ke dalam pemerintahan yang demokratis sehingga dapat mewakili persatuan nasional daripada kepentingan sektarian. Dengan ini, Hizbullah berubah dari milisi menjadi aktor politik utama yang memiliki kursi di parlemen dan peran dalam pemerintahan Lebanon. Akan tetapi, dominasi Hizbullah ini membuat pembentukan consensus nasional menjadi lebih sulit yang akhirnya menimbulkan krisis pemerintahan. Perang 2006 juga membuat reputasi Hizbullah sebagai kekuatan yang mampu menghadap Israel menjadi lebih kuat. Serta berkat dukungan yang diterima dari komunitas Syiah dan beberapa masyarakat Lebanon membuat kukuhnya peran Hizbullah dalam politik nasional. Tak hanya memiliki kekuatan politik, Hizbullah juga membentuk jaringan layanan sosial, pendidikan, dan kesejahteraan akibat mendapat dukungan dari kalangan penduduk Syiah yang ada di sanai.
Lebanon yang masih mendapat pengaruh besar Hizbullah dalam politiknya membuat Lebanon yang membuat koalisi politik di sana terbagi menjadi dua blok besar, yaitu koalisi 8 maret yang mendukung Hizbullah dan juga koalisi 14 Maret yang mendukung hubungan denga Barat dan negara Teluk. Dengan pengaruh politik yang besar ini mengakibatkan Lebanon terlibat dalam Perang Suriah yang terjadi pada tahun 2011-sekarang. Keterlibatan dalam perang saudara ini dikalukan untuk mendukung rezim Bashar al-Assad. Akibat dari adanya keterlibatan ini adalah munculnya kecaman-kecaman dari kubu anti-Hizbullah dan memperburuk hubungan Sunni-Syiah yang ada di Lebanon, serta membuat Lebanon terkena sanksi internasional yang diterima dari Amerika Serikat dan negara Teluk lainnya sehingga berdampak pada keadaan ekonomi Lebanon.
Dilihat dari sejarahnya, konflik Hizbullah dan Israel ini tidak hanya memberikan dampak terhadap keamanan regional tetapi juga memperbesar krisis politik internal Lebanon. Adanya kemenangan yang diraih oleh Hizbullah dalam melawan Israel membuat politik Lebanon mendapat pengaruh yang besar dari kelompok ini. Namun besarnya pengaruh ini memperburuk situasi politik domestic dan hubungan antar-komunitas. Keterlibatan dalam konflik Suriah juga membuat dinamika pollitik Lebanon semakin rumit karena mendapat sanksi internaasional berupa isolasi internasional sehingga berdampak pada kondisi perekonomian yang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dari adanya konflik antara Hizbullah dan Israel ini, dapat kita lihat bahwa adanya konsep-konsep HI seperti, aktor-aktor HI yang terlibat di dalam situ, seperti Israel yang berperan sebagai state actor, Hizbullah sebagai  non-state actor karena merupakan suatu organisasi, ada juga PBB, dan Amerika Serikat yang merupakan state actor dengan kekuatan dan juga pengaruhnya yang besar. Selain adanya konsep aktor-aktor HI, kita juga dapat melihat adanya security dilemma yang terjadi pasca konflik 2006 karena walaupun sudah ada tindakan perdamaian yang dilakukan oleh PBB dengan adanya gencatan senjata, tetapi rasa kekhawatiran akan perang tiba-tiba selalu menghantui di antara kedua belah pihak karena sama-sama saling memperkuat kekuatan militer yang menimbulkan kecurigaan. Ada pula faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya ketegangan berkelanjutan, yaitu adanya perang Proxy Iran dan Israel yang menganggap bahwa Hizbullah merupakan alat proxy Iran dalam melawan kepentingan Israel dan sekutunya, Suriah sebagai sekutu Hizbullah pada perang saudara di Suriah yang juga membuat Hizbullah melibatkan dirinya dalam konflik regional, dan juga adanya sengketa perbatasan yang menjadi faktor pemicu ketegangan berkelanjutan, adanya masalah Lahan Shebaa Farms yang ada di perbatasan Lebanon-Israel. Hizbullah mengakui bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari Lebanon, sementara Israel mengakui bahwa lahan tersebut adalah milik Suriah.
Tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap Hizbullah membuat keseimbangan antara Israel dan Lebanon mengalami perubahan hingga sekarang2. Israel terhitung telah melakukan empat kali invasi pada Lebanon, invasi pertama dilakukan pada tahun 1987, invasi terbesar terjadi pada tahun 1982, invasi ketiga terjadi pada tahun 1996, dan yang terakhir terjadi pada tahun 2006 yaitu adanya perang selama 34 hari. Analisis militer Israel, Yoav Stern mengatakan kepada BBC bahwa ia meyakini strategi mirip tahun 2006, dengan serangan terbatas, akan kembali terjadi kali ini. Menurutnya, serangan tahun ini berbeda dengan serbuan besar-besaaran yang terjadi di tahun 1982
DAFTAR PUSTAKA
Israel sudah empat kali menginvasi Lebanon, apa bedanya dengan invasi kali ini? (2024, Oktober 3). BBC.com, p. https://www.bbc.com/indonesia/articles/ceqn0j3e5qqo.