Mohon tunggu...
Sabila Hayuningtyas
Sabila Hayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Rayakan Hari Film Nasional dengan Berhenti Menonton Film Bajakan

30 Maret 2021   10:47 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:52 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, tepat pada tanggal 30 Maret, adalah sebuah hari yang istimewa bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya para sineas atau pekerja film di Indonesia. Ya, hari ini merupakan Hari Film Nasional, mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya. 

Kenapa, sih, perlu ada peringatan Hari Film Nasional? Alasannya adalah untuk menghargai serta memberi dukungan kepada para pekerja film Indonesia dalam berkarya, sehingga para pekerja film menjadi lebih percaya diri dan semangat dalam meraih prestasi yang kemudian dapat mengangkat derajat perfilman Indonesia.

Namun, sayangnya, sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari bahwa menonton film di situs bajakan itu sangat berdampak buruk bagi masa depan industri perfilman Indonesia, khususnya para pekerja film. 

Ya, saya masih menemukan teman-teman yang dengan bangga atau tanpa perasaan bersalah membagikan situs film bajakan melalui akun media sosialnya seperti telegram, facebook, dan lain sebagainya. 

Sangat tidak disangka, beberapa orang justru menanggapi hal ini dengan wajar, padahal sebenarnya ini sudah termasuk salah satu tindakan kejahatan.

Mereka menganggap bahwa tindakannya itu tidak akan berpengaruh, toh, para aktor dan pekerja film lainnya masih bisa hidup enak dan glamour. Benarkah begitu?

Melalui akun twitter-nya, Joko Anwar mencoba menjelaskan, bahwa kehidupan para pekerja film sebenarnya tak semudah dan se-glamour yang dibayangkan orang, penuh perjuangan di dalamnya, mulai dari waktu istirahat yang tidak teratur, melakukan adegan-adegan yang berbahaya, hingga tak jarang para pemainnya kelelahan dan harus dirawat di rumah sakit. 

Ya, cukup mempertaruhkan nyawa dan tanpa kita ketahui sebenarnya banyak film-film yang dibuat dengan proses yang amat serius atau butuh usaha yang cukup keras.

Seperti salah satu contohnya, Lukman Sardi ketika memerankan sosok K.H Ahmad Dahlan. Di sebuah kanal youtube yang dibawakan oleh Vincent dan Desta, Lukman Sardi mengaku cukup kesulitan dalam memerankan sosok K.H Ahmad Dahlan, sebab sosok K.H Ahmad Dahlan bukanlah orang yang banyak meninggalkan tulisan layaknya Bung Hatta sementara untuk mendalami karakter.

Ia perlu mengenal atau mengetahui bagaimana kesan sehari-hari tokoh tersebut dengan data-data yang ada, demi hal itu ia harus pergi ke sebuah perpustakaan di Belanda yang banyak menyediakan buku sejarah Jawa, kemudian ia interpretasikan sendiri berdasarkan apa yang ia baca. Semua itu dilakukan demi menghasilkan karya yang baik dan bisa dinikmati oleh banyak orang.

Bayangkan, dengan segala perjuangan dan keseriusan para pekerja film, masih ada beberapa orang yang tega melakukan pembajakan, yang tentunya sangat merugikan.

Ya, tahukah kalian, bahwa perfilman Indonesia sempat mati suri pada sekitar tahun 90-an, di mana pada saat itu dalam setahunnya negara kita hanya memproduksi 2-3 film saja. Hal ini disebabkan karena kurangngnya dukungan dari masyarakat, mulai dari munculnya pembajakan, adanya televisi, DVD, VCD, yang membuat masyarakat kurang berminat untuk pergi ke bioskop. Dan mirisnya adalah pada tahun tersebut perfilman Indonesia dipenuhi dengan tema "seks" atau hal-hal yang berbau tabu demi menarik perhatian masyarakat.

Bahkan, sempat ada anggapan bahwa film-film Indonesia itu jelek atau tidak berkualitas, sehingga masyarakat tidak lagi percaya dengan film Indonesia dan tidak rela mengeluarkan uangnya untuk menonton ke bioskop. 

Tak jarang dari mereka justru membangga-banggakan film karya luar negeri. Saya akui, perfilman Indonesia memang sempat diwarnai dengan genre horror yang kerap memasukan adegan yang tak pantas, alih-alih untuk menarik minat pasar hal ini menjadi berdampak buruk bagi film-film yang sebenarnya punya kualitas. Bisa jadi, masyarakat hanya kurang referensi akan film-film yang sebenarnya berkualitas.

Jika pernyataan tersebut beralasan mungkin tak masalah, justru kritik-kritik seperti itu menjadi diperlukan sebagai bahan evaluasi para pekerja film agar berusaha membuat film yang lebih baik lagi dan kemudian kembali menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat untuk menonton secara legal, dan hal itu terbukti. Negara kita kembali banyak melahirkan film-film berkualitas dengan cerita juga naskah yang baik dan tentunya melewati proses yang tak mudah untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.

Sangat memprihatinkan. Beberapa tahun belakangan, bioskop kita baru saja kembali ramai, kemudian tak lama diuji dengan adanya pandemi yang menghambat proses produksi dan mengharuskan sejumlah bioskop ditutup. Mirisnya lagi, pembajakan justru semakin merajalela. Bayangkan, sudah kesulitan membuat karya di tengah pandemi pembajakan justru merajalela.

Perilaku-perilaku seperti itulah yang dapat membuat industri perfilman merugi, dan memberikan kemungkinan bahwa suatu saat Indonesia kembali melahirkan karya film yang "seadanya" atau yang lebih parahnya lagi industri perfilman tak dapat bertahan. Mengapa?

Karena ketika seseorang membajak sebuah film itu sama sekali tidak menguntungkan bagi si pembuat film. Justru menguntungkan si pembajak dari banyaknya orang yang mengunjungi situs gratisan tersebut. Jika hal seperti itu dibiarkan, tentu ini akan membuat para pekerja film "kapok" membuat film karena tidak mendapat hasil atau keuntungan dari banyaknya biaya produksi yang sudah dikeluarkan.

Ya, saya paham. Beberapa orang memang tak selalu punya cukup uang atau kesempatan untuk bisa menikmati film di bioskop setiap minggu atau setiap bulannya.

Tapi di zaman sekarang kita sudah semakin mudah menonton film secara legal, banyak media streaming film seperti Netflix, Iflix, dan lain-lain yang menawarkan harga terjangkau, dengan uang sebesar tiga puluh ribu rupiah saja kita sudah bisa berlangganan dan menonton ratusan film.

Jadi alangkah baiknya kita berusaha menghargai para pekerja film demi lestarinya industri perfilman dengan menonton film secara legal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun