Mohon tunggu...
Sabila Hayuningtyas
Sabila Hayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Gen Halilintar, Bukti Pepatah Banyak Anak Banyak Rezeki?

16 Maret 2021   20:30 Diperbarui: 16 Maret 2021   20:53 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, dari kasus ini apakah masih dapat dikatakan bahwa banyak anak banyak rezeki?

Saya rasa tidak. Toh, adanya rezeki itu dipengaruhi oleh faktor kerja keras atau usaha dari setiap individunya. Memang setiap anak sudah memiliki rezekinya masing-masing, tetapi rezeki akan datang jika ada usaha untuk mau bekerja, dan saya rasa memutuskan menambah anak bukanlah solusi untuk memperoleh rezeki. 

Belum lagi jika semakin banyaknya populasi manusia, mereka harus bersaing dengan orang-orang di luar sana, sementara belum tentu orang tuanya punya cukup waktu untuk menjadikan kehidupan anaknya kepada tingkat yang lebih baik.

Lalu, sebenarnya apakah yang mendasari orang zaman dulu mengatakan pepatah "banyak anak banyak rezeki" dan apa yang membuat orang zaman sekarang masih mempercayainya?

Saya mencoba memahami sesuai logika saya, ketika zaman dulu, khususnya di Indonesia anak-anak jarang ada yang bersekolah, kehidupan mereka dihabiskan untuk membantu kedua orang tuanya di sawah ataupun di ladang, sekalipun bersekolah kegiatan mereka tak sepadat anak zaman sekarang yang hampir menghabiskan waktu dalam sehari untuk bersekolah dan bermain "gadget". Sehingga orang tua pada saat itu, merasa jika memiliki banyak anak akan meringankan pekerjaannya juga menambah penghasilannya.

Mereka juga berpikir jika memiliki banyak anak mereka tidak akan merasa kesepian di hari tua, hidup mereka kelak juga akan dicukupi oleh anak-anaknya. Padahal belum tentu kelak anak-anak mereka bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Dan menjadikan anak sebagai bahan investasi adalah suatu niat yang salah, ketika memutuskan untuk memiliki anak harusnya dilandasi oleh alasan yang baik dan juga harus yakin bahwa akan memberikan kehidupan yang baik ataupun layak untuk si anak.

Bahkan, bisa jadi, sebenarnya ini pun bukanlah sebuah pilihan bagi orang tua zaman dulu, mungkin saja mereka menyadari dampak dari hal ini. Namun, pada saat itu orang zaman dulu belum mengenal apa itu program KB dan seks edukasi juga belum ramai dibicarakan.  

Dan tak disangka sejak dulu hingga sekarang masih banyak orang yang merasa rezekinya semakin bertambah setelah kelahiran anaknya, padahal sebenarnya kemungkinan hal itu disebabkan karena sikap orang tua yang lebih termotivasi untuk giat bekerja setelah kelahiran anaknya, karena merasa akan memiliki tanggungjawab yang bukanlah main-main terlebih biaya melahirkan yang tak murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun