Semua semu, dunianya kelabu, jiawanya kaku, pikirannya pun rancu.
Dia memilih diam, karena itu lebih jantan dari pertarungan sebuah pertemuan.
Mengedipkan mata pun terasa berat, dari saat dimana dia selalu menatap jiwanya kuat.
Apa yang bisa dia usaha? Mencoba menerima dengan kalbu, berusaha mendengar semua yang palsu, lalu tetap tegar melawan pilu.
Terasa amat singkat ketika berharap lekat sedekat langit dan bumi, namun kenyataan sejauh jarak mata dan hati.
Dengan tutupan mata, memeluk raga, tatapan hampa. Sulit baginya mengakui keberadaan lara.
Mencoba mengubur hatinya yang hancur. Entah sejak kapan, untuk kapan, dan sampai kapan.
Hingga...
Dalam pagi, dia berteriak pada awan untuk dapat lagi bertatap dengannya.
Dalam petang, dia temui senja dan berbicara untuk dapat mempertemukan kedua kalinya.
Namun dia tetap meminta pada Sang Kuasa untuk mempersatukan abadi selamanya.