Mohon tunggu...
Sabella Angie
Sabella Angie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Perspektif Hukum Perdata Islam di Indonesia Mengenai Pernikahan dan Perceraian di Indonesia

21 Maret 2023   17:41 Diperbarui: 21 Maret 2023   17:49 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Sabella Angie Maharani Putri

NIM: 212121012

Prodi/Kelas: Hukum Keluarga Islam/4C

Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia

Dosen: Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

PENGERTIAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah suatu sistem hukum yang mengatur hubungan hukum antara individu atau badan hukum dalam konteks hukum perdata, namun dengan dasar prinsip-prinsip hukum Islam atau syariah. Hukum Perdata Islam ini berlaku untuk semua warga negara Indonesia yang beragama Islam, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun yang tinggal di luar negeri.

Hukum Perdata Islam di Indonesia bersumber dari Al-Quran, Hadits, ijtihad (usaha menggali hukum dari sumber yang ada), dan pendapat para ulama. Sumber-sumber hukum ini membentuk prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang kemudian diaplikasikan dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Tujuan dari Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah untuk memastikan keadilan dan keadilan bagi individu atau badan hukum dalam masyarakat Muslim.

Hukum Perdata Islam di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam yang dikenal sebagai syariah. Syariah adalah aturan-aturan hukum yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah, serta ijtihad (usaha menggali hukum dari sumber yang ada) oleh para ulama.

Hukum Perdata Islam di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu, ada juga beberapa lembaga dan badan hukum Islam di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengadilan Agama, yang bertanggung jawab untuk memperjuangkan dan mengembangkan hukum perdata Islam di Indonesia.

Beberapa aspek penting yang diatur oleh Hukum Perdata Islam di Indonesia antara lain:

1.Perkawinan: Hukum Perdata Islam mengatur tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, perceraian, dan warisan. Hukum perdata Islam juga mengatur tentang hukum perkawinan beda agama, poligami, dan hak-hak anak dalam perceraian.

2.Kontrak: Hukum Perdata Islam juga mengatur tentang kontrak-kontrak dalam berbagai bentuk, seperti jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip hukum Islam dalam kontrak adalah kesepakatan yang berpihak pada keadilan dan keseimbangan.

3.Warisan: Hukum Perdata Islam mengatur tentang pembagian harta warisan dan penerimaan warisan. Hukum perdata Islam juga mengatur tentang wasiat dan pengurusan harta warisan.

4.Hibah: Hukum Perdata Islam juga mengatur tentang hibah, yaitu pemberian harta tanpa imbalan yang diberikan oleh seseorang kepada pihak lain.

5.Pernikahan Beda Agama: Hukum Perdata Islam juga mengatur tentang pernikahan beda agama atau interfaith, yang mencakup persyaratan dan prosedur untuk mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda agama.

Hukum Perdata Islam di Indonesia berperan penting dalam memastikan keadilan dan kesetaraan bagi individu atau badan hukum dalam masyarakat Muslim di Indonesia. Meskipun demikian, penerapan hukum ini juga harus memperhatikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

PRINSIP PERKAWINAN DALAM UU NO. 1 TAHUN 1947 DAN KHI

Prinsip perkawinan adalah prinsip dasar yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, perceraian, dan warisan dalam hukum pernikahan di Indonesia. Prinsip ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Kitab Undang-Undang Hukum Islam (KHI).

UU Perkawinan menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar dalam perkawinan adalah persamaan hak dan kewajiban suami-istri, cinta kasih, dan ketentraman keluarga. Dalam hal ini, prinsip persamaan hak dan kewajiban suami-istri menunjukkan bahwa suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam perkawinan, sehingga tercipta keseimbangan dalam hubungan perkawinan. Selain itu, prinsip cinta kasih menunjukkan bahwa perkawinan harus didasari oleh perasaan saling mencintai dan saling menghormati antara suami dan istri. Prinsip ketentraman keluarga juga menunjukkan bahwa perkawinan harus bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia.

Sementara itu, KUHPerdata dan KHI juga mengatur tentang prinsip perkawinan. Dalam KUHPerdata, prinsip dasar perkawinan adalah persetujuan yang bebas dari kedua belah pihak yang ingin menikah. Dalam hal ini, persetujuan harus diberikan secara sukarela dan tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Selain itu, KUHPerdata juga mengatur tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, seperti usia minimal, keturunan, kewarganegaraan, dan lain sebagainya.

KHI juga mengatur tentang prinsip perkawinan dalam hukum Islam. Dalam KHI, prinsip dasar perkawinan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pernikahan, seperti adanya wali nikah, adanya dua saksi, mahar, dan ijab kabul. Selain itu, KHI juga mengatur tentang hak dan kewajiban suami-istri, seperti nafkah, perawatan, dan perlindungan bagi istri dan anak-anak.

Dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut, prinsip dasar perkawinan adalah mengatur tentang hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, perceraian, dan warisan dalam hukum pernikahan di Indonesia. Selain itu, prinsip dasar perkawinan juga menekankan pentingnya persetujuan yang bebas dari kedua belah pihak yang ingin menikah serta adanya rasa cinta kasih dan ketentraman dalam keluarga.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN DAN DAMPAK BILA PERNIKAHAN TIDAK DICATATKAN

*Sosiologis

Menurut saya, pencatatan perkawinan sangatlah penting dalam konteks hukum dan sosial. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap status perkawinan dan melindungi hak-hak yang diperoleh oleh pasangan yang sah secara hukum. Selain itu, pencatatan perkawinan juga memudahkan pemerintah dalam mengumpulkan data terkait jumlah penduduk, kesejahteraan keluarga, dan sebagainya.

Dalam konsep sosiologis, ketiadaan pencatatan perkawinan dapat memiliki dampak yang serius pada masyarakat. Pernikahan yang tidak dicatatkan dapat memunculkan ketidakpastian terkait status pasangan, dan pada gilirannya dapat mengakibatkan kesulitan dalam memperoleh hak-hak hukum dan sosial. Selain itu, ketiadaan pencatatan perkawinan juga dapat meningkatkan angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga, karena pasangan yang tidak sah secara hukum cenderung tidak merasa terikat oleh hukum dan norma-norma sosial yang mengatur perkawinan.

Dengan demikian, pencatatan perkawinan memiliki peran penting dalam menjaga ketertiban sosial dan melindungi hak-hak pasangan yang sah secara hukum. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami pentingnya pencatatan perkawinan dan untuk memastikan bahwa pernikahan mereka dicatatkan secara resmi.

*Religius

Dalam banyak agama, pernikahan dianggap suci dan diatur oleh aturan-aturan yang ketat. Pencatatan perkawinan menjadi penting dalam konteks religius untuk menetapkan status pernikahan secara resmi di mata agama dan untuk memastikan bahwa pasangan tersebut dapat memperoleh hak-hak yang diberikan oleh agama.

Dampak dari ketiadaan pencatatan perkawinan dalam konteks religius dapat berbeda-beda tergantung pada aturan-aturan agama yang berlaku. Namun, dalam banyak kasus, ketiadaan pencatatan perkawinan dapat menyebabkan ketidakpastian terkait status pernikahan dan dapat mengakibatkan masalah hukum dan sosial yang kompleks. Pada tingkat yang lebih luas, ketiadaan pencatatan perkawinan juga dapat berdampak pada kepentingan sosial dan agama, karena dapat mengurangi pengakuan dan penghormatan terhadap institusi pernikahan dan nilai-nilai keluarga yang dijunjung tinggi oleh agama.

Dalam konsep religius, pencatatan perkawinan dapat membantu memperkuat komitmen pasangan dan mengokohkan ikatan mereka di hadapan Tuhan dan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk memahami pentingnya pencatatan perkawinan dalam konteks religius dan untuk memastikan bahwa pernikahan mereka diakui secara resmi oleh agama yang mereka anut.

*Yuridis

Menurut saya, pencatatan perkawinan sangat penting dalam konsep yuridis atau hukum. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang sah secara hukum dan melindungi hak-hak yang diperoleh oleh pasangan tersebut. Pencatatan perkawinan juga memudahkan pemerintah dalam mengumpulkan data terkait jumlah penduduk, kesejahteraan keluarga, dan sebagainya.

Dalam konteks yuridis, ketiadaan pencatatan perkawinan dapat memiliki dampak yang serius pada pasangan yang tidak dicatatkan. Pasangan yang tidak dicatatkan memiliki ketidakpastian hukum terkait status mereka, dan hak-hak hukum yang diperoleh melalui pernikahan mungkin tidak dapat diakui oleh pihak yang berwenang. Selain itu, ketiadaan pencatatan perkawinan dapat menghambat pasangan yang ingin memperoleh hak-hak yang diberikan oleh hukum, seperti hak waris, hak asuransi, dan sebagainya.

Dampak lain dari ketiadaan pencatatan perkawinan dalam konsep yuridis adalah meningkatnya jumlah kasus perceraian dan perselisihan di antara pasangan. Tanpa pencatatan perkawinan yang resmi, sulit bagi pihak yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan di antara pasangan dengan cara yang adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dengan demikian, pencatatan perkawinan memiliki peran penting dalam menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak pasangan yang sah secara hukum. Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk memahami pentingnya pencatatan perkawinan dalam konsep yuridis atau hukum dan memastikan bahwa pernikahan mereka dicatatkan secara resmi oleh pihak yang berwenang.

PENDAPAT ULAMA DAN KHI MENGENAI PERKAWINAN WANITA HAMIL

Pendapat ulama dan KHI (Kitab Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil dapat bervariasi tergantung pada mazhab (aliran) yang dianut. Namun, secara umum, ulama dan KHI sepakat bahwa perkawinan wanita hamil diperbolehkan dalam Islam.

Menurut mayoritas ulama, termasuk ulama empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali), perkawinan wanita hamil tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan. Sebagai bukti, pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, banyak wanita yang menikah dalam keadaan hamil. Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa wanita hamil dapat menikah tanpa harus menunggu kelahiran anak mereka terlebih dahulu.

Namun, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi untuk memastikan keabsahan perkawinan wanita hamil. Misalnya, jika wanita hamil karena perzinaan, ia harus menyatakan dengan jujur bahwa ia hamil di luar nikah. Selain itu, calon suami harus mengetahui dan setuju untuk menikahi wanita hamil tersebut.

KHI juga mengatur tentang perkawinan wanita hamil. Menurut Pasal 22 KHI, perkawinan wanita hamil tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan. Namun, calon suami harus mengetahui bahwa calon istrinya sedang hamil dan calon istri harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku untuk menikah.

Dalam kesimpulannya, secara umum, ulama dan KHI sepakat bahwa perkawinan wanita hamil diperbolehkan dalam Islam. Namun, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi untuk memastikan keabsahan perkawinan tersebut.

USAHA UNTUK MENGHINDARI PERCERAIAN

Perceraian adalah masalah serius yang dapat mempengaruhi kehidupan pasangan dan anak-anak mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk menghindari perceraian dan mempertahankan keharmonisan dalam hubungan pernikahan. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari perceraian:

1.Meningkatkan komunikasi yang efektif: Pasangan harus selalu berbicara secara jujur dan terbuka tentang perasaan mereka. Mereka harus mendengarkan satu sama lain dengan penuh perhatian dan tidak meremehkan pendapat atau perasaan pasangan.

2.Memprioritaskan waktu bersama: Pasangan harus memprioritaskan waktu untuk bersama-sama dan melakukan aktivitas yang menyenangkan bersama-sama. Mereka dapat berbicara tentang hobi, impian dan keinginan mereka dan melakukan kegiatan bersama-sama yang dapat memperkuat hubungan mereka.

3.Menyelesaikan masalah dengan cara yang sehat: Pasangan harus belajar menyelesaikan masalah dengan cara yang sehat dan tidak menghakimi satu sama lain. Mereka dapat meminta bantuan orang lain, seperti konselor atau teman dekat, jika mereka merasa kesulitan menyelesaikan masalah.

4.Menghindari perilaku yang merusak hubungan: Pasangan harus berusaha menghindari perilaku yang merusak hubungan, seperti berselingkuh, kekerasan fisik atau verbal, atau penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang.

5.Membangun kepercayaan: Pasangan harus saling membangun kepercayaan dalam hubungan mereka. Mereka harus berbicara secara jujur tentang masalah yang ada dan berjanji untuk saling mendukung dan mempercayai satu sama lain.

6.Menjaga kehidupan seksual yang sehat: Kehidupan seksual yang sehat dan aktif dapat membantu memperkuat hubungan pasangan. Pasangan harus berbicara tentang preferensi mereka dan membicarakan masalah yang mungkin terjadi.

7.Menghadiri konseling pernikahan: Jika pasangan mengalami masalah yang serius dalam hubungan mereka, menghadiri konseling pernikahan dapat membantu mereka menyelesaikan masalah dan memperkuat hubungan mereka.

Menghindari perceraian memerlukan upaya dan kerja keras dari kedua pasangan. Dengan berkomunikasi secara efektif, menghindari perilaku merusak, membangun kepercayaan, dan menjaga kehidupan seksual yang sehat, pasangan dapat memperkuat hubungan mereka dan menghindari perceraian.

BOOK REVIEW

Buku yang berjudul "HUKUM KELUARGA Potret Keragaman Perundang-undangan di Negara-negara Muslim Modern", yang ditulis oleh Dr. Miftahul Huda, M.Ag., merupakan sebuah kajian mendalam tentang sistem hukum keluarga yang diterapkan di berbagai negara muslim modern. Buku ini menggambarkan dengan jelas tentang beragamnya perundang-undangan keluarga di negara-negara muslim modern, termasuk aspek-aspek yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian, hak-hak anak, harta warisan, dan lain sebagainya.

Melalui buku ini, penulis memberikan gambaran yang komprehensif tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat muslim modern terkait dengan hukum keluarga. Buku ini juga menyoroti perbedaan pendekatan dan pandangan di antara negara-negara muslim dalam menangani masalah keluarga. Dengan demikian, buku ini memberikan pemahaman yang penting tentang keragaman hukum keluarga di negara-negara muslim modern dan menjadi sumber referensi yang bermanfaat bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam mengenai masalah-masalah keluarga dalam konteks hukum Islam.

Dari buku "HUKUM KELUARGA Potret Keragaman Perundang-undangan di Negara-negara Muslim Modern", pembaca mungkin akan terinspirasi untuk lebih memahami keragaman hukum keluarga yang ada di berbagai negara Muslim modern. Buku ini menggambarkan berbagai macam peraturan hukum keluarga, seperti pernikahan, perceraian, hak waris, dan lain-lain, yang berbeda-beda di berbagai negara Muslim modern. Inspirasi yang mungkin dapat diambil adalah pentingnya menghargai dan menghormati keragaman budaya dan agama di dunia, serta memperluas pemahaman tentang berbagai peraturan hukum keluarga yang ada di berbagai negara Muslim modern. Selain itu, buku ini juga dapat menginspirasi pembaca untuk berpartisipasi dalam diskusi dan pengembangan hukum keluarga yang lebih inklusif dan adil di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun