Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Olahraga itu Bid'ah

29 Mei 2024   22:43 Diperbarui: 1 Juni 2024   13:40 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah obrolan santai sambil ngopi sehabis berolahraga bersama, saya sengaja menyampaikan pernyataan ini: "olahraga itu bid'ah".

Seperti bisa diduga, semua yang hadir dan mendengar kontan terlihat terperangah.

Empat alasan utama

Sebelum diberondong dengan pertanyaan protes, saya langsung menjelaskannya: setidaknya ada empat alasan utama yang melatarbelakangi pernyataan bahwa "olahraga itu bid'ah".

Pertama, tidak ada satupun ayat di dalam Quran, yang secara langsung ataupun tidak langsung, yang menyinggung apalagi memerintahkan umat Islam berolah raga supaya sehat.

Kedua, juga tidak satu pun hadits Nabi yang secara langsung memerintahkan umat Islam untuk berolahraga supaya sehat. Tidak ada sunnah fi'liyah (perbuatan Rasulullah saw) yang menggambarkan beliau berolahraga untuk tujuan sehat.

Ketiga, bahkan lebih jauh, sebenarnya tidak ada kosa kata bahasa Arab yang spesifik dan bisa disepandankan dengan kata sport (bahasa Inggris) atau olahraga (bahasa Indonesia).

Keempat, dalam buku-buku tafsir, fikhi atau hadits, terutama kitab-kitab gundul klasik, tak ditemukan satu pun bab atau sub-bab, yang secara khusus mengulas urgensi berolahraga dan kaitannya dengan kesehatan.

Kesimpulannya, mengacu pada Quran dan Sunnah Nabi serta khazanah keilmuan Islam, tema tentang berolahraga supaya sehat tidak memiliki acuan yang solid. Dan tidak pernah menjadi pokok perhatian para ulama-ulama Islam, sepanjang sejarah.

*-*-*

Dalam bahasa Arab modern, kata sport (Inggris) dan/atau olahraga (bahasa Indonesia/melalyu) diterjemahkan ke bahasa Arab dengan menggunakan kata riyadhah () dan/atau setiap cabang olahraga biasanya diawali dengan kata la'ibun atau la'bun (permaianan).

Kata riyadhah itu sendiri, yang bisa diterjemahkan latihan fisik atau exercise, awalnya populer digunakan di kitab-kitab tasauf-tarekat, dalam pengertian latihan kejiwaan atau olahjiwa (bukan olahraga).

Misalnya, jika ingin mencapai maqam sabar yang maksimal, harus melakukan zikir tertentu, dalam jumlah tertentu dan selama periode tertentu. Zikirnya bisa berbeda-beda antara satu aliran tarikat dengan aliran tarekat lainnya. Proses berzikir untuk mencapai maqam sabar itulah yang disebut riyadhah, yang lebih berkonotasi dengan olahjiwa (bukan olahraga).

Al-Jarjani (322-392H) dalam bukunya "At-Ta'rifaat" (kumpulan defenisi-defenisi berbagai bidang ilmu), mendefinisikan kata riyadhah dengan kalimat: "Latihan mengasah-melatih akhlak spritual untuk membersihkan jiwa dari segala bentuk watak dan perangai buruk".

Saya sudah mengecek dan memastikan, bahkan buku "At-Thibbu An-Nabawi (Pengobatan Nabi)", karya Abu Naim Al-Ashfahani (w. 430H), yang nota bene fokus membahas teks-teks keagamaan terkait legasi pengobatan cara Nabi, juga tidak pernah menyebutkan satu katapun tentang riyadhah, dalam pengertian olahraga untuk tujuan sehat.

Sebenarnya ada buku lain yang judulnya sama: At-Thibbu An-Nabawi (Pengobatan Nabi)", karya Ibnul-Qayyim Al-Jauziyah (w. 751H/ 1351M). Dalam buku ini, Ibnu Qayyim menyebut kata riyadhah hanya sebanyak 6 (enam) kali, tok. Dan beberapa di antaranya memang menyinggung soal latihan fisik, tapi sangat sumir. Tidak ada bab atau sub-bab atau sub-sub-bab yang secara khusus membahas olahraga dan kesehatan, atau berolahraga supaya sehat.

Hadits tentang berenang-memanah-menunggang kuda

Saya tahu ada riwayat yang menyebutkan: "Ajarilah anak-anakmu berenang, memanah dan menunggang kuda, karena mereka (anak-anakmu itu) akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu".

Sebagai catatan, riwayat tentang "Keutamaan berenang-memanah-menunggang kuda" juga tidak ditemukan dibuku-buku hadits utama. Sebagian ulama menyebutkan, itu adalah ungkapan Umar bin Khattab.

Lagi pula, perintah belajar "berenang-memanah-menunggang kuda" ini lebih terkait dengan latihan fisik untuk persiapan tempur, bukan supaya sehat. Sebab tidak ada satu pun keterangan di riwayat itu yang mengaitkan secara langsung antara berenang-memanah-menunggang kuda dengan kesehatan atau supaya sehat.

Fisik kuat tidak selalu identik dengan berolahraga

Di dalam Quran ada ayat yang menegaskan, "Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS Al-Qashash, ayat 26).

Ayat ini berkisah tentang Nabi Musa as, dan yang dimaksud "orang kuat dan amanah" di ayat itu adalah Nabi Musa as.

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Musa itu orang kuat secara fisik dan amanah secara mental. Tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Musa as memiliki fisik kuat karena aktif berolahraga (latihan fisik) tertentu.

Tentu saja, kita tidak menafikan bahwa berolahraga atau latihan fisik tertentu, khususnya yang dilakukan secara rutin, akan memperkuat otot-otok tubuh. Tetapi otot tubuh yang kuat dapat diperoleh dengan cara lain. Para pekerja di profesi yang membutuhkan tenaga fisik, seperti petani, tukang kayu, nelayan, pandai besi dan sejenisnya, umumnya memiliki otot yang kuat, padahal boleh jadi mereka tidak pernah berolahraga.

Para kiai dan kegiatan olahraga di pondok-pondok

Saya pernah melakukan riset kecil-kecilan di berbagai pondok, khususnya di Pulau Jawa dan Madura. Temuan saya cukup unik: sebagian besar pondok memang mengarahkan santri-santrinya untuk berolahraga, terutama latihan belah diri. 

Tetapi kegiatan olahraga para santri di berbagai pondok itu, modern atau klasik, lebih diposisikan sebagai bagian dari "permainan" saja, yang bertujuan antara lain untuk membuat santri tidak bosan dan mengurangi kangen mereka ke rumah orangtuanya. Bukan berolahraga supaya sehat, apalagi diberikan justifikasi dalil-dalil keagamaan.

Sependek pengetahuan saya, hampir semua ulama besar yang pernah hidup di Nusantara, khususnya pada periode tahun 1800-an hingga 1900-an, tidak ada yang aktif berolahraga dengan justifikasi supaya sehat. 

Cuma, saya memang belum pernah dan belum sempat meneliti dan menelusuri apakah para walisongo memiliki kebiasaan berolahraga atau tidak.

"Berpuasalah supaya kamu sehat!"

Cukup unik, teks keagamaan yang sering dikutip para ustadz, dan dikaitkan secara langsung antara suatu kegiatan ibadah dengan kesehatan fisik adalah puasa. Rasulullah saw bersabda: "Berpuasalah supaya kamu sehat!"

Tapi setelah ditelusuri secara cermat, hadits ini ("berpuasalah supaya kamu sehat") sebenarnya tidak disebutkan dalam 6 kitab induk (kutub-sittah) yang merangkum hadits-hadits Nabi ("Shahih Bukhari", "Shahih Muslim", "Sunan Abu Daud", "Sunan Turmudzi", "Sunan An-Nasa'i", "Sunan Ibnu Majah").

Dan "hadits" itu juga tidak ditemukan dalam buku-buku kumpulan hadits lainnya (bukan kutub sittah) seperti "Muwattha' Imam Malik", "Musnad Imam Ahmad", "Sunan Ad-Daruqutni" dan "Mu'jam Al-Awsath" karya Imam At-Thabrani.

Tidak aneh, jika teks "Berpuasalah supaya kamu sehat!" banyak diulas terkait derajat kesahihannya oleh para ulama hadits.

Namun ada hadits lain yang seirama, yang meriwatkan tentang: "Beberapa muallaf (orang yang baru memeluk Islam) mendatangi dan meminta izin kepada Rasulullah untuk melakukan kebiri, dan Rasulullah saw bersabda, "Kalian harus berpuasa! Karena puasa itu dapat menyekat (mengontrol) urat pembuluh darah kamu dan menghilangkan kejahatan". Dengan kata lain, hadits ini lebih mengarah pada upaya mengontrol hawa nafsu, bukan berpuasa untuk tujuan sehat (lihat: "At-Thibbu An-Nabawi = Pengobatan Nabi", karya Abu Naim Al-Ashfahani).

Sehat itu lebih karena pola makan

Jika dicermati, kegiatan berpuasa yang menyehatkan itu mungkin lebih tepat jika dikaitkan dengan pola makan.

Dan memang banyak penelitian modern menyebutkan, kesehatan fisik manusia sesungguhnya lebih terkait dan lebih sering dipengaruhi oleh pola hidup sehat secara umum, khususnya terkait dengan pola makan.

Nah, terkait dengan pola makan ini, memang ada beberapa riwayat, yang sering dijelaskan sebagai tuntunan etika dan tata cara makan yang sehat.

Rasulullah saw bersabda "Kita adalah kaum yang tidak makan kecuali jika sudah lapar; dan kalau sudah makan, tidak akan sampai kekenyangan." Tapi lagi-lahi, hadits inipun juga tidak ditemukan dalam kitab-kitab utama hadits. Hadits ini hanya disebutkan dalam buku "As-Sirah Al-Halabiyah" karya Burhanuddin Al-Halabi (w. 1044H). Dan banyak peneliti hadits Nabi (seperti Al-Albani) yang memastikan ini bukan hadits sahih dan tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw.

Tetapi ada riwayat lain, yang derajatnya hasan-sahih, dari Ma'di Kirab yang berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Wadah terburuk yang diisi oleh manusia adalah perutnya... Namun jika harus mengisinya, maka sebaiknya (diukur) agar sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman dan sepertiga untuk bernapas" (HR Ahmad, hadits nomor 16735; Turmudzi hadits nomor 2380).

Tetapi pola makan yang membagi tiga ruang perut ketika makan, sebagai bagian dari pola makan sehat, pun tidak dikaitkan secara langsung dengan kesehatan.

Pikiran jernih pada tubuh yang sehat

Banyak juga yang mengutip ungkapan bahwa "Pikiran sehat terdapat pada tubuh/fisik yang sehat". Namun ungkapan ini juga lebih pantas disebut pepatah-petitih.

Sebab secara normal (common sense), setiap orang memang sulit dibayangkan akan mampu berpikir sehat secara maksimal, jika kondisi fisiknya sedang kurang sehat apalagi sakit keras. Wong, sakit gigi saja bisa membuat sempoyongan.

Olahraga dan Hukum Wajib-Sunnat-Haram-Makruh-Mubah

Jika olahraga ini ditinjau secara fikhi dan ushul-fiqhi, sebenarnya ada qaidah yang mengatakan, semua hal yang tidak ada perintahnya dan tidak ada larangannya, maka hal itu harus dikembalikan ke hukum dasar, yaitu mubah (boleh).

Dan kita tahu, perintah itu terbagi dua: wajib dan sunnat. Larangan juga terbagi dua: haram dan makruh.

Nah, kalau tidak ada perintah berolahraga (baik perintah wajib ataupun perintah sunnat), dan juga tidak ada larangan berolahraga (haram atau makruh), maka hukum dasar berolahraga adalah mubah. Sederhan saja.

Dan setiap perbuatan mubah tidak bisa dijadikan acuan dasar untuk mengukur atau menentukan tingkat atau bobot ketaatan dan kedurhakaan seorang hamba.

Seorang ulama, Shaleh bin Farih Al-Bahlal, menulis sebuah risalah (berupa disertasi doktoral) di Universitas Malik Suud di Saudi Arabia, yang kemudian diterbitkan dengan judul: “Al-Ahaditsu Al-Waridatu fi Al-Lu’abi wa Al-Riyadhah (Hadits-Hadits Nabi yang Berkaitan Permainan Fisik-Otak dan Olahraga” (1435H/ 2013M).

Awalnya, saya pikir buku ini akan mengaitkan antara olahraga dengan kesehatan fisik. Dan ternyata tidak. Risalah itu hanya mengupas berbagai riwayat dari Rasulullah saw dan para sahabat, yang berkaitan dengan permaianan atau kegiatan fisik yang biasa dilakukan oleh masyarakat yang hidup di zaman Rasulullah saw dan para sahabat.

Berolahraga sebagai joy

Biar tidak salah paham dan keliru memahami uraian di atas, saya perlu menegaskan bahwa secara pribadi, saya termasuk orang yang relatif aktif berolahraga, dan alhamdulillah cukup sehat hingga saat ini.

Pernyataan bahwa "olahraga itu bid'ah" lebih bertujuan agar kita tidak enteng menisbahkan atau mengait-ngaitkan suatu kegiatan dengan perintah keagamaan.

Tegasnya, kalau mau dan hobi berolahraga, silahkan saja! Tapi jangan lantas dikait-kaitkan dengan kesehatan dan/atau dijustifikasi dengan nas-nas keagamaan.

Sebab faktanya, banyak orang yang aktif beolahraga tetap saja sakit-sakitan. Demikian pula sebaliknya, banyak orang yang bahkan tidak mengenal olahraga apapun, dan alhamdulillah, sehat-sehat saja.

Sebagai catatan, olahraga pavorit saya adalah berjalan kaki. Rata-rata tiga kali seminggu berjalan kaki sejauh sekitar 3 km, baik di jalan-jalan terbuka atau di treadmill di dalam ruangan.

Sambil bercanda dengan teman-teman, saya suka bergurau begini: selain murah, berjalan kaki itu adalah "olahraganya Nabi Adam".

Kalau lagi luang dan waktunya memungkinkan, sesekali juga saya bersepeda, sendirian atau berombongan.

Namun, dan ini poinnya, saya aktif berolahraga lebih sebagai joy saja: menikmati hidup, bersenang-senang, bergembira dan berupaya agar terus berbahagia. Bahwa kemudian salah satu efek positifnya adalah sehat dan bugar, itu adalah konsekuensi logis saja atau bagian dari proses sebab-akibat.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 29 Mei 2024/  21 Dzul-qa'dah 1445H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun