Hari ini, Ahad 14 Januari 2023, perang Hamas vs Israel telah memasuki hari ke-100, terhitung sejak serangan mendadak Hamas bersandi Al-Aqsa Flood (Badai Al-Aqsa) ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023.
Ketika militer Israel mengawali serangan darat balasan (Operasi Pedang Besi) ke jalur Gaza pada 27 Oktober 2023, jajaran petinggi militer Israel awalnya sesumbar mengirim sinyal ke publik Israel dan komunitas internasional bahwa operasi itu akan berlangsung efektif dan tuntas dalam tempo yang terukur.
PM Israel Benjamin Netanyahu menegaskan dua target utama secara paralel: pertama, melumpuhkan infra-struktur militer Hamas; dan kedua, membebaskan semua sandera warga Israel.
Setelah perang berlangsung 100 hari, kedua target perang Israel itu masih belum maksimal, bahkan bisa disebut gagal. Israel malah dicap "sukses meluluhlantahkan" infra-struktur sipil di Gaza, dan membunuh lebih dari 23.000 warga Gaza (sumber lain menyebutkan: sudah lebih 30.000 orang). Perang masih berlanjut dan korban tewas itu masih akan bertambah.
Sialnya, belum ada indikator kuat bahwa dua misi Operasi Pedang Besi akan sukses. Meski ritmenya menurun di banding periode awal perang, Hamas masih bisa menembakkan roket ke wilayah Israel atau melakukan serangan geriliya kota terhadap pasukan darat Israel di wilayah Gaza.
Yang paling mempermalukan Israel, belum satupun sandera warga Israel yang sukses dibebaskan melalui operasi militer. Sebagai catatan, sandera Israel yang berhasil dibebaskan sebanyak sekitar 50 orang, bisa dilakukan melalui genjatan senjata selama empat hari melalui mekanisme pertukaran sandera pada periode 24-27 November 2023, yang dimediasi Qatar, Amerika, dan Mesir.
Mengacu pada fakta-fakta lapangan dan dinamika pertempuran di Gaza yang sudah berlangsung 100 hari itu, dengan mudah ditarik beberapa kesimpulan berikut:
Pertama, persoalan harga diri militer Israel belum terpulihkan. Air muka klaim kecanggihan teknologi militer Israel dipermalukan. Kemandulan militer Israel mendeteksi lokasi persembunyian para sandera warga Israel di wilayah Gaza tetap menjadi pertanyaan besar. Padahal luas Jalur Gaza (225 km per segi), hanya sedikit lebih luas dibanding Kota Bima (222,2 km persegi) di NTB.
Padahal, jaringan komunikasi di Gaza yang dioperasikan oleh Paltel (Palestine Telecommunication) yang berbasis di Ramallah, Tepi Barat, tetap dikontrol oleh Israel, melalui kabel bawah tanah yang melintang dari Tepi Barat ke Jalur Gaza. Fasilitas 3G yang digunakan dua operator seluler di Gaza (Jawwal yang merupakan bagian dari PaltelGroup dan perusahaan Oreedoo) juga relatif tetap dikontrol oleh Israel. Namun kontrol seluler ini, sejauh ini, belum mampu mendeteksi keberadaan para sandera.
Kedua, harus diakui bahwa penetrasi intelijen Israel di wilayah Gaza sangat minim, dan kalaupun ada, terbukti mandul. Selama ini, Israel kayaknya terlalu mengandalkan Sigin (signal intelligence), dan tidak memiliki sumber daya Humin (human intelligence) di Gaza. Tidak aneh, ketika Hamas lebih memilih penggunaan komunikasi personal, atau teknologi komunikasi yang relatif tidak canggih, kapasitas Sigin Israel terkesan mandul.