Ketiga, ketidakmampuan atau lebih tepatnya keterlambatan militer dan intelijen Israel mendeteksi dan memastikan waktu serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023, yang notabene konon melibatkan hingga 1.500 kombatan Hamas, mengindikasikan dua hal: kapasitas dan kedidayaan intelijen Israel tidak secanggih dan sehebat yang digembar-gemborkan selama ini; Di sisi lain, kesuksesan Hamas menjaga kedisiplinan dalam merahasiakan rencana serangan.
Keempat, jika militer Israel tidak mampu menuntaskan dua misi utamanya di Gaza (menghancurkan infrastuktur militer Hamas dan membebaskan sandera), maka operasi militer Israel akan menghadapi tantangan makin mendesak. Sebab meskipun tetap mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat, namun tekanan insternasional akan semakin kuat, khususnya setelah korban tewas menyentuh angka 30 ribu jiwa, yang lebih dari separuh adalah wanita dan anak-anak.
Kelima, saat ini, pertaruhan utama militer Israel di Gaza adalah membebaskan sekitar 180-an sandera warga Israel yang ditahan Hamas. Jika gagal atau semakin lama target ini dapat direalisasikan, air muka militer Israel akan semakin terpuruk; legitimasi dan alasan melakukan serangan darat akan semakin memudar; klaim melindungi warga Israel akan kehilangan legimitasi. Dan keluarga inti para sandera Israel di Israel akan semakin meningkatkan tekanannya terhadap Pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Keenam, meskipun kecil, masih terbuka kemungkinan Tel Aviv tiba-tiba membuat keputusan menelan pil pahit: menghentikan perang secara sepihak dan mulai menempuh jalur perundingan untuk menyelamatkan air mukanya. Dan inilah harapan komunitas internasional yang mencintai perdamaian.
Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 14 Januari 2024/ 02 Rajab 1445H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI