Mencermati pernyataan sejumlah pejabat tinggi Amerika dan negara-negara Eropa Barat tentang dan terhadap kebangkitan China, selama dua-tiga tahun terakhir, dapat diringkas dengan satu kalimat: Amerika seperti preman pasar tradisional yang gugup dan cemas ditantang oleh preman baru.
Premis perumpamaan preman pasar ini akan coba diuji melalui beberapa isu global, atau isu regional yang mengglobal, terutama dalam dua soal: kekuatan militer dan teknologi.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Amerika masih unggul dibanding China, dalam berbagai hal, termasuk dalam soal kekuatan militer.
Tapi menafikan apalagi mengolok-olok potensi keunggulan China adalah sikap yang tidak faktual, atau bahkan bisa disebut sikap gugup dan gagap.
China baru punya 3 kapal induk
Mari mengawalinya dengan satu item perbandingan antara Amerika Serikat dan China dalam hal penguasaan perairan samudera di planet bumi.
Hingga saat ini (2023), Amerika punya 11 (sebelas) kapal induk, yang aktif menjelajah non-stop di tujuh samudera.
Sementara China baru dan hanya mampu mengoperasikan 3 (tiga) unit kapal induk. Beberapa proyek pembuatan kapal induk berikutnya bahkan ditunda. Sekali lagi ditunda, bukan dihentikan.
Dan untuk menjadi pemain global, posisi kapal induk memang strategis, sebagai kekuatan deterrent dan pendikte. Di dunia saat ini, tercatat hanya ada 24 unit kapal induk.
Artinya, perbandingan jumlah kapal induk ini saja, China masih jauh dari kedigdayaan Amerika di tujuh Samudera.
Namun kenapa Amerika dan Barat terkesan gugup menghadapi China. Alasannya sederhana: karena hanya persoalan waktu saja bagi China untuk memiliki jumlah kapal induk yang setara dengan Amerika.
Meskipun kita tahu, biaya pembuatan dan pengoperasian satu uni kapal induk memang mahalnya selangit.
Untuk memproduksi kapal induk ke-11 (USS Gerald R Ford), Amerika menggelontorkan biaya sekitar USD128 miliar (setara Rp192 triliun dengan asumsi kurs Rp15.000 per 1 USD).
Jumlah ini lebih besar dibanding anggara militer RI dalam setahun. Setelah jadi, dan siap dioperasikan, menurut sebuah kajian, kapal induk USS Gerald R Ford memerlukan biaya operasional harian: USD 2,5 juta (setara Rp37,5 miliar per hari dengan asumsi kurs Rp15.000 per 1 USD).
Memang China sudah mulai menjajaki memperluas jelajah pengaruh maritimnya di wilayah Samudera Hindia (Indian Ocean). Tapi kehadiran militer China masih sangat terbatas. Sejak 2017, China baru mampu membuka pangkalan militer di Djibouti, di Tanduk Afrika.
Juga muncul spekulasi bahwa China membangun radar pengintaian di Sri Langka, dan post pengintaian dan pendengaran (survailance and listening post) di Pulau Coco Myanmar.
Selain itu, ada rumor yang persisten tentang rencana Angkatan Laut China membangun pangkalan di Pelabuhan Hambantota Sri Langka dan Pelabuhan Gwadar Pakistan.
Juga ada rencana China membangun pelabuhan dagang di Bagamoyo, Tanzania, yang kemudian memicu spekulasi bahwa kemungkinan pelabuhan dagang itu nantinya akan difungsikan sebagai pangkalan militer.
Dan ambisi China untuk menjadi pemain kunci di tujuh samudera memang tidak boleh dianggap enteng. Meskipun itu mungkin baru akan terealiasi dalam satu dekade ke depan.
Saat ini saja, sudah muncul wacana tentang rencana China membangun Armada Samudera Hindia (Indian Ocean Fleet). Dan kalau mau jujur, ambisi inilah yang menjadi salah satu pemicu dan kemudian direspons oleh Amerika dengan rencana mengaktifkan kembali Armada-1-nya di Indian Ocean (yang nota bene dibubarkan puluhan tahun).
Tetapi sekali lagi, sejauh ini, pengaruh China hampir tidak hadir dan tidak punya pengaruh maritim di perairan Teluk Persia, Laut Mediterrania, Laut Hitam, Luat Utara.
Karena itu, jika dilihat dari kapasitasnya dan jangkauan jelajahnya, tiga kapal induk China itu tampaknya masih akan lebih fokus mendukung operasi militer China di wilayah Laut China Selatan, khususnya untuk mengantisipasi perkembangan dan dinamika, jika tiba saatnya menyerang dan menduduki Taiwan.
Isu kunci adalah Taiwan
Dan isu yang paling mungkin memicu gesekan militer antara China dan Amerika (Barat) adalah soal Taiwan. Bagi China, Taiwan adalah wilayah teritorial China dan red-line-nya adalah jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak.
Sementara bagi Amerika, Taiwan (bersama Jepang dan Korea Selatan) adalah negara sekutu utama di Asia Timur. Dan red line-nya adalah tidak akan membiarkan China menduduki kembali Taiwan.
Dan kalau mau jujur, kemungkinan China menyerang dan menduduki kembali Taiwan hanya persoalan waktu saja.
Untuk mengantisipasi kemungkinan China menyerang dan menduduki Taiwan, Amerika melakukan dua langkah strategis dengan membentuk dua aliansi militer di Pasifik dan Indo-China, yaitu QUAD (digagas pertama kali oleh Jepang pada 2007), dan kini beranggotakan empat negara: Amerika, India, Jepang dan Australia.
Selanjutnya pada September 2021, Amerika menginisiasi aliansi baru bernama AUKUS yang beranggotakan Australia, Inggris dan Amerika (AUKUS adalah akronim dari Australia-United Kingdom-United States).
China dan Perang Ukraina
Pihak Barat (Amerika dan Eropa Barat) sangat khawatir dengan kedekatan China dengan Rusia, khususnya terkait dengan kemungkinan bantuan militer China kepada Rusia dalam Perang Ukraina.
Seperti diketahui, beberapa hari sebelum menyerang Ukraina, Putin menemui Xi Jinping di Beijing pada 14 Februari 2022, dan keduanya menegaskan no-limit partnership (pertemanan tanpa batas) antara Rusia-China, lalu kunjungan Xi Jinping ke Rusia pada 20-22 Maret 2023.
Bagi China, jika Amerika dan Eropa Barat bebas memberikan berbagai jenis bantuan militer dan ekonomi kepada Ukraina, lantas kenapa China harus dibatasi dan dipersoalkan jika memberikan bantuan kepada Rusia? Perlakuan yang absurd.
Lagi pula, berdasarkan bocoran dokumen rahasia Pentagon pada Maret 2023, salah satunya menyebutkan bahwa Korea Selatan, melalui pihak ketiga, juga memberikan bantuan amunisi kepada militer Ukraina. Lho, kalau Korsel bisa bantu amunisi untuk Ukraina, kenapa China tidak bisa bantu Rusia.
Kesimpulan saya tentang strategi China dalam Perang Ukraina: China takkan membiarkan Rusia kalah. Dengan kata lain, China hampir pasti akan membantu Rusia dalam Perang Ukraina.
China Unggul dalam 37 dari 44 Teknologi Kunci
Pada Maret 2023, lembaga riset ASPI (Australian Strategic Policiy Institute) yang berbasis di Canberra Australia mempublikasikan kesimpulan hasil riset yang mengguncang dunia teknologi global: dari 44 item teknologi kunci secara global, China sudah unggul di 37 bidang teknologi dibanding Amerika dan sekutunya. Artinya, Amerika hanya unggul di tujuh bidang teknologi.
Dan ketujuh bidang teknologi kunci di mana Amerika masih lebih unggul tersebut adalah high performance computing; Advanced integrated circuit design and fabrication; natural language processing; quantum computing; vaccines and medical countermeasures; small satelite; space launch systems.
Kesimpulan riset ASPI ini sungguh menghentak. Sebab fakta ini menunjukkan China telah melangkah jauh di bidang teknologi dibanding Amerika dan Eropa. Fakta ini juga dapat diposisikan sebagai alasan utama kenapa Amerika dan Barat memposisikan China layak dicemaskan.
Dan mengacu pada sejarah teknologi modern di abad ke-19 dan abad ke-20, fakta penguasaan teknologi oleh China ini pada akhirnya akan mengantar China untuk lebih unggul di bidang ekonomi. It's just the matter time.
Postur Militer China
Alasan lain yang membuat Amerika dan Eropa Barat sangat cemas dengan China adalah agenda strategis China yang menetapkan tahun 2027 sebagai deadline untuk merealisasikan program modernisasi militer China.
Banyak pengamat strategis memperkirakan, China akan atau sudah bisa merebut dan menduduki Taiwan pada 2025 atau paling telat 2027.
Dan tiga kapal induk China, yang dibahas di atas, merupakan salah satu atau bagian dari target postur militer China tersebut.
Sebelumnya, pada 26 Februari 2023, melalui program "Face the Nation", stasiun televisi CBS, "Direktur CIA William Burns mengatakan, "We do know, as has been made public, that President Xi has instructed the PLA, the Chinese military leadership, to be ready by 2027 to invade Taiwan, but that doesn't mean that he's decided to invade in 2027 or any other year as well (Kami tahu, seperti sudah dipublikasikan bahwa Presiden China Xi sudah menginstruksikan militer China dan pempimpin PLC, agar bersiap untuk menyerang Taiwan pada 2017. Namun bukan berarti bahwa China sudah memastikan menyerang China pada 2027 ataupun di tahun-tahun yang lain)"
Preman tua yang gugup
Sikap Amerika dan Barat yang terus menerus merengus karena khawatir terhadap langkah dan tindakan China dalam percaturan berbagai isu regional dan global, khususnya terkait dengan Taiwan, menunjukkan bahwa Amerika dan Barat akhirnya tampak seperti preman pasar tua yang gugup ditantang oleh preman baru (China).
Dan seperti tradisi yang lazim terjadi dalam pergantian preman di pasar, para "pedagang pasar" akhirnya akan menerima fakta kehadiran preman yang berkuasa secara riil, bukan preman yang gugup.
Sebab, bagi "pedagang", tidak akan ada perbedaan signifikan antara preman yang digantikan dan preman pengganti. Dua-duanya iblis.
Syarifuddin Abdullah | 30 April 2023/ 10 Syawwal 1444HÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H