Ilustrasinya begini: ketika sebuah laga digelar, teman yang suka berjudi tadi akan bertanya ke saya: mendukung tim Y atau X?
Jika saya menjawab mendukung tim-Y (yang diasumsikan kalah), maka teman tadi akan bertaruh untuk tim X. Karena seperti disebut di awal artikel ini: sangat sering terjadi, kesebelasan yang saya dukung, biasanya justru kalah.
Brasil vs Argentina
Ada satu yang unik, sekaligus mungkin bisa disebut pengecualian: jika Brasil melawan Argentina (keduanya tim unggulan dari Amerika Latin), feeling saya umumnya akan bingung mau berpihak ke mana. Perasaan seolah pasrah, nggak peduli siapa yang menang, karena semata ingin menikmati permainan tim yang cantik dan solid plus aksi-aksi individual yang memukau di lapangan hijau.
Tidak seasyik dulu
Pada periode 1980-an hingga 1990-an, jika Piala Dinia digelar, saya boleh disebut termasuk candu: merasa rugi banget jika ada pertandingan yang terlewat.
Tapi memasuki tahun 2000-an, perasaan rugi jika ada yang terlewat itu, pelan-pelan melentur.
Pada Piala Dunia 2002, 2006, 2010, 2014 dan 2018, masing-masing hanya sekitar separuh pertandingan yang saya tonton. Dan sekali lagi, tidak merasa rugi sedikit pun jika ada pertandingan yang terlewat.
Tapi perasan itu kembali bergairah di Piala Dunia Qatar 2022: merasa rugi kalau ada pertandingan yang terlewatkan.
Persolannya, pada Piala Dunia 2022 ini, ada sesuatu yang sangat megganjal. Menonton bola terkesan kurang semarak dan tidak seasyik dulu, ketika hampir semua stasiun televisi menyiarkan langsung pertandingan Piala Dunia dengan gratis. Komentatornya juga keren-keran.
Sekarang, untuk bisa menonton pertandingan harus merogoh kocek dulu.