Karena itu, artikel pertama saya yang pernah dimuat di salah satu koran nasional pada tahun 1990 (ketika itu, harian Pelita) adalah artikel saya, hasil koreksian Pak Azyumardi Azra. Buat saya itu keren banget. Karena di keterangan penulis tercamum kalimat ini: "Syarifuddin Abdullah, pengamat politik Timur Tengah". Honornya kalau nggak salah ingat, cuma Rp150 ribu atau Rp250 ribu.
Seingat saya, mungkin tidak sampai 10 artikel saya, yang sempat dikoreksi langsung oleh Pak Azyumardi Azra. Tapi metode dan gaya bimbingannya sangat membekas. Dan koreksiannya terhadap beberapa artikel itu ibarat modal dasar yang menjadi panduan jitu untuk membuat tiap artikel berikutnya.
Tegasnya, kalau diasumsikan bahwa sejak saat itu hingga kini, saya relatif lincah dalam menulis, itu antara lain karena bimbingan langsung dari Pak Azyumardi Azra, selama kurang lebih tiga bulanan, di Kairo 32 tahun lalu.
Ketika akhirnya saya balik ke Indonesia tahun 1996, saya tidak pernah bertemu dengan Pak Azyumardi Azra, yang saat itu menjelang atau sedang menjabat sebagai rektor UIN Jakarta.
Sekian tahun kemudian, saya bertemu kembali dengan almarhum pada sebuah forum FGD (Focus Group Discussion) tentang Syiah di Indonesia, yang digelar di sebuah hotel di sekitar Pancoran Jakarta pada tahun 2016 atau 2017.
Selanjutnya, pada 2018, saya bertemu lagi dengan almarhum ketika saya menjadi siswa-peserta di sebuah Diklat Tingkat Menengah di Jakarta, dan Pak Azyumardi Azra menjadi salah satu widyaiswaranya. Kami berdua sempat ngobrol santai sambil ngopi, dan saya berbahagia karena almarhum juga masih ingat suasana ketika membimbing saya tentang menulis dan dunia kepenulisan di Kairo.
Selain dua momentum pertemuan itu, saya hanya mengikuti dari jauh sepak terjang almarhum, khususnya ketika tampil dalam berbagai acara talk-show di televisi sebagai nara sumber.
Sebagai intelektual yang sering diposisikan sebagai sejarawan tentang jaringan ulama Timur Tengah - Nusantara, dan jika dibandingkan misalnya dengan intelektual Islam Indonesia lainnya, ide-ide dan gagasan segar Pak Azyumardi Azra tidak ada yang terlalu spektakuler.Â
Yang pasti, perspektif atau pandangannya tentang Islam dan umat Islam Indonesia lebih sering hanya sebagai ulasan umum, yang tentu saja moderat dan inklusif. Mudah ditebak, pandangan keagamaannya sekuler. Dan setahu saya, almarhum tidak memiliki kedalaman pengetahuan soal fikhi Islam.
Secara personal, saya memosisikan almarhum sebagai guru yang telah banyak andil dalam mengasah kapasitas kepenulisan saya.
Sebagai selingan, dalam salah satu diskusi di Kairo itu, saya bertanya kepada almarhum tentang arti namanya: "Azyumardi Azra", yang menurut saya unik, renyah diucapkan lidah dan puitis didengar telinga.Â