Dan semua paparan dan argumentasi itu merujuk ke tiga kitab suci (Taurat, Al-Kitab, Quran) serta pengalaman Musa menerima 10 perintah di Gunung Sinai, Isa yang menerima wahyu di Bukit Tabor, serta peristiwa mi'raj Nabi Muhammad saw.
Selama melintasi halaman-halamannya, pembaca mungkin membayangkan akan mendapatkan gambaran rasional-materil tentang Tuhan. Dan itu tidak terjadi. Sebab sekali lagi, buku ini mengulas sejarah manusia dalam mempersepsikan Tuhan.Â
Pertanyaan kunci yang selalu mengekor dan mendesak selama membaca: apakah paparan pencarian dan imajinasi tentang Tuhan itu berhasil atau gagal? Kesimpulan saya: sulit untuk mengatakan berhasil.
Tuhan akhirnya tidak-belum ditemukan (melalui imajniasi yang paling liar sekalipun). Mungkin karena seperti digambarkan oleh sebuah adagium: "Tuhan ada di mana-mana, dan pada saat yang sama, tidak ada di mana-mana".
 Dan adagium ini sebenarnya merupakan perumusan yang coba menggabungkan dua sifat-nama Allah (menurut Islam): al-Gaib (yang tidak tampak atau hilang) dan az-Zhahir (nyata, tampak jelas). Singkat kata, Tuhan itu tidak memiliki ruang geografis.
Secara umum bisa disimpulkan, sejarah panjang pencarian dan persepsi tentang Tuhan itu menggunakan dua metode utama: pertama, kelompok yang mengandalkan pendekatan pengalaman batin (Amstrong menggunakan istilah mistisisme), yang diwakili antara lain oleh tradisi kabbalis Yahudi, Sufi-tarikat Islam, spritualis Hindu dan yogi Budha; Kedua, kelompok yang mengacu pada pendekatan rasional-filosofis.
Namun, alih-alih mendapatkan gambaran utuh tentang Tuhan, dua kelompok itu sibuk berargumen dengan analisis-spekulatif, yang sering saling bertentangan dan tidak satupun yang sukses memenuhi harapan pembaca.
 Meskipun harus diakui, kelompok mistikus tampaknya lebih mampu merasakan kehadiran Tuhan melalui penampakan dalam makhluk-makhluk-Nya. Sementara kelompok kedua (rasionalis-filosofis) umumnya gagal dan bahkan semakin membingungkan.
Sebenarnya ada kelompok ketiga, yang coba meski akhirnya gagal juga dalam menggabungkan kedua metode itu, yakni penjelasan tentang Tuhan oleh beberapa ilmuan sains dan filosof di zaman Renaisans di Eropa, yang diwakili antara lain oleh Isaac Newton (Inggris), Descartes (Perancis).
Terkait dengan pencarian dan penjelasan tentang Tuhan, ada satu hal yang penting: Jika Tuhan ingin disembah oleh manusia, seharusnya Tuhan itu sederhana, sehingga mudah dikenali dan bisa diakses oleh semua orang.
Mungkin karena itulah, Descartes sampai menegaskan bahwa "jika seandainya Tuhan tidak ada, maka manusia harus menciptakan-Nya."