Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku: Sang Kiai yang Beristri Empat

12 Juni 2022   00:04 Diperbarui: 12 Juni 2022   00:10 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja selesai membaca buku Kiai Penggerak (Februari 2022) tentang perjalanan hidup dan kiprah dakwah KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. Buku setebal total 528 halaman itu ditulis oleh Haidar Musyafa dalam format novel biografi.

Kesan penyajiannya memang relatif ringan. Mungkin karena buku ini tampaknya lebih dimaksudkan agar pembaca dapat mengikuti semua fase atau periodisasi utama dari rangkaian sejarah hidup KH Ahmad Dahlan, sejak kecil, remaja, dewasa, lika-liku perjuangannya mendirikan organisasi Muhammadiyah hingga akhirnya wafat.

Seperti umumnya buku novel biografi, memang terkesan kuat bahwa tidak ada bagian buku ini, yang ditulis secara mendalam. Artinya, semua bagiannya (26 bab) disajikan secara ringan, sehingga relatif enteng dicerna oleh pembaca publik.

Dan secara umum, ada beberapa poin yang menarik.

Pertama, nama asli KH Ahmad Dahlan (nama pemberian ayah-bundanya) adalah Muhammad Darwis. Nama Ahmad Dahlan adalah nama yang tercamtum dalam sertifikat haji, ketika menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890M, saat berusia 22 tahun.

Kedua, Muhammad Darwis yang kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda. Pendidikan dan pengetahuannya diperoleh lewat otodidak, didikan orangtua di rumah dan mengaji di lingkungan Kauman dan Masjid Gede, Keraton Yogyakarta.

Ketiga, pernah tiga kali menunaikan ibadah haji. Pada haji pertama tahun 1890, beliau berada di Makkah selama sekitar 5 bulan. Sementara haji keduanya yang berlanjut ke haji ketiga, berlangsung selama sekitar 18 bulan  yakni tahun 1903 dan 1904. Selama berada di Makkah pada tiga musim haji itulah, yang dimanfaatkan untuk mengaji dan berguru kepada para ulama Makkah ketika itu.

Keempat, ada yang unik bahkan aneh bin ajaib. Tidak ada satupun bab atau sub-bab yang menggambarkan kunjungan-ziarah Ahmad Dahlan ke maqam Nabi di Madinah. Dan tidak bisa dipastikan apakah penulis buku tidak mendapatkan data-informasi terkait ziarah Ahmad Dahlan ke Madinah, atau memang Ahmad Dahlan tidak pernah berziarah ke maqam Rasulullah saw di Madinah, selama tiga kali menunaikan ibadah haji.

Kelima, Ahmad Dahlan hidup dan lahir dari seorang ayah (KH Abu Bakar) yang bekerja sebagai Abdi Dalem bidang keagamaan di Keraton Yogyakarta. Dan KH Ahmad Dahlan sendiri sampai akhir hayatnya tercatat sebagai Abdi Dalem bidang keagamaan, menggantikan posisi ayahnya.

Keenam, kehidupan rumah tangga KH Ahmad Dahlan digambarkan dan disajikan lebih mirip sisipan atau selingan, sehingga terkesan malu-malu dan dipaksakan. Namun pembaca cermat akhirnya akan tahu bahwa KH Ahmad Dahlan pernah menikahi empat wanita.

Istri pertamanya (menikah tahun 1889) adalah sepupunya sendiri, yang bernama Walidah yang juga berdomisili di Kauman, Yogyakarta.

Istri kedua (dinikahi sekitar 1913 atau 1914) adalah seorang janda di lingkungan Keraton yang bernama Nyai Windyaningrum. Darinya lahir seorang anak laki-laki. Istri kedua ini diceraikan pada sekitar tahun 1918.

Istri ketiga (dinikahi sekitar tahun 1917), bernama Nyai Rum, adik perempuan KH Munawir, pengasuh pesantren Krapyak Yogayakarta.

Dan istri keempat, seorang wanita muda bernama Aisyah, putri seorang Penghulu Ajengan di Cianjur Jawa Barat. Dari Aisyah lahir seorang anak perempuan.

Tidak ada keterangan apakah nama "Aisyiah" (organisasi ounderbouw Muhammadiyah) terinspirasi oleh nama istri keempat. Namun secara kronologis dalam buku ini, organisasi wanita Muhammadiah (Aisyiah) lebih dulu berdiri dibanding pernikahan KH Ahmad Dahlan dengan Aisyah di Cianjur.

Yang unik, keempat pernikahan itu dilakukan berdasarkan "tawaran", yang dalam arti tertentu bisa dimaknai "dijodohkan".

Seandainya buku ini ditulis sekitar 50 tahun lalu, saya cukup yakin detail dan nuansanya akan lebih kaya. Karena masih banyak orang yang eligible sebagai narasumbernya. Meski begitu, tetap bisa dijadikan salah satu buku yang layak baca untuk publik yang ingin memahami salah satu ulama penggerak yang sukses mewariskan legasi untuk umat Islam di Indonesia.

Namun kritik utama saya terhadap buku ini adalah kegagalannya memberikan gambaran utuh tentang gagasan dan basis pemikiran utama mengenai Muhammadiyah dan ke-Muhammadiyah-an.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 11 Juni 2022/ 11 Dzul-qa'dah 1443H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun