Dalam tradisi akad-nikah di Sulawesi, ada proses awal yang disebut panai (seserahan) yang diberikan oleh keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin perempuan (keterangan lanjut dan detail soal panai ini antara lain dapat diperoleh melalui film Uang Panai tahun 2016).
Dan panai itu bisa berupa uang tunai atau emas, hasil bumi (padi atau beras), hewan berupa sapi atau kerbau. Atau gabungan semua item tersebut.
Proses negosiasi tentang besaran nilai panai itu, antara pihak calon pengantin pria dan wanita, kadang atau bahkan sering berlangsung mirip dengan proses tawar-menawar dagang atau jual beli.
Khusus di kalangan orang Mandar (yang umumnya berdomisili di wilayah provinsi Sulawesi Barat), dalam nego soal nilai panai itu, ada lagi yang disebut "na pirau mokai" atau "dipirau mokai" (bahasa Mandar yang secara letterlijk berarti dimintai agar mundur).
Prakteknya begini: pihak keluarga perempuan menetapkan dan meminta "harga" (nilai panai), yang diasumsikan tidak akan mampu dipenuhi oleh keluarga laki-laki, sehingga pihak laki-laki terpaksa atau dipaksa mundur dan membatalkan lamarannya.
Dengan kata lain, pihak keluarga perempuan sebenarnya sejak awal menolak lamaran keluarga laki-laki, namun merasa kurang nyaman jika menolak lamaran itu secara frontal dari awal.
Makanya, proses lamaran dibiarkan berlangsung normal, tapi keluarga perempuan memasang harga/nilai panai dalam jumlah besar, yang diperkirakan tidak akan mampu dipenuhi (dibeli) oleh keluarga laki-laki. Di sini memang tersirat perilaku meremehkan dari pihak keluarga wanita terhadap kemampuan (finansial) pihak keluarga laki-laki.
Dengan pola "napirau mokai" seperti ini, jika akhirnya lamaran dibatalkan, maka keluarga perempuan terbebas dari tudingan atau gunjingan menolak lamaran.
Namun, dalam beberapa kasus, gengsi keluarga laki-laki bisa tersulut. Artinya, pihak laki-laki memutuskan menerima-menyanggupi harga/nilai panai yang diminta oleh keluarga perempuan. Jika posisinya seperti ini, maka pihak perempuan tidak punya pilihan lain kecuali menerima lamaran.
Orang Mandar bilang: na pirau mokai, anna' na tuai (dimintai agar mundur, namun pihak laki-laki memutuskan menyanggupinya). Kondisi ini mirip dengan pepatah orang Betawi yang mengatakan: "lho jual, gue beli."
Proses tawar-memawar nilai panai seperti ini memang bisa diposisikan sebagai "momentum mempertaruhkan segalanya". Karena di sini, harga diri (siri) dipertaruhkan.
Karena itulah, dalam proses negosiasi nilai panai, masing-masing pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan menunjuk juru runding yang memiliki track-record dalam proses lamar-melamar.
Saya teringat di kampung dulu, tepatnya di Mapilli, Polman, ada orangtua laki-laki yang kami panggil dengan nama Pua Awu, yang terkenal, kharismatik, piawai dan disegani sebagai juru runding panai dan proses lamaran.Â
Sebab, jika Pua Awu diminta dan ditunjuk sebagai juru runding pihak laki-laki, maka juru runding pihak perempuan akan sangat repot dan sulit menolaknya.Â
Saking hebatnya, setiap kali Pua Awu berangkat untuk melamar, orang di kampung akan bilang: lamarannya sudah diterima bahkan sebelum berangkat dan disampaikan kepada pihak perempuan. Dan konon, ini ada ilmunya. Keren.
Pua Awu bolehlah disebut negosiator ulung. Cuma sayang sekali memang, saya tidak/belum sempat mencapai usia yang layak mewarisi dan menerima ilmunya sampai Pua Awu wafat (Allahu yarhamuhu).
Tetapi sampai saat ini, saya tidak akan mau berada dalam posisi di-pirau mokai. Hehehehe.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 15 Nopember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H