Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Resensi Film: Eye in the Sky, Gambaran Bagaimana Sebuah Operasi Intelijen Digelar

8 Agustus 2021   07:15 Diperbarui: 8 Agustus 2021   08:01 3049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: screen-shot dari trailler film Eye in the Sky via movieclips trailers

 

Secara intelijen, film Eye in the Sky adalah plot yang bercerita tentang operasi bersandi Cobra untuk mengeliminasi (baca: membunuh) beberapa tokoh teroris Al-Shabab Somalia. Momentum klimaks dari hasil penyelidikan dan pengintaian intelijen yang berlangsung selama enam tahun.

Dan sejauh ini, Eye in the Sky (2016) mungkin satu-satunya film yang relatif paling utuh menggambarkan bagaimana sebuah operasi intelijen digelar, untuk memperoleh informasi akurat yang dapat dijadikan acuan pengambilan keputusan eksekusi militer. 

Sebuah keputusan pelik dan berjenjang, karena melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perdebatan hukum dan risiko politisnya. Dan juga pertimbangan etisnya.

Film ini berhasil melibatkan pemirsa secara emosional, sedemikian rupa sehingga seolah-olah ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang segera harus diambil, dalam hitungan menit.

Keputusan itu menjadi semakin sulit karena operasi Cobra merupakan aksi yang melibatkan dua negara (Inggris dan Amerika Serikat), dan target operasinya adalah sebuah rumah di suatu kampung di Somalia, yang menjadi lokasi pertemuan beberapa anggota teroris Al-Shabab, yang sedang mempersiapkan tiga pengantin pelaku bom bunuh diri.

Dari segi intelijen, target operasi sudah diidentifikasi secara pasti: lima orang anggota kelompok teroris Al-Shabab Somalia, yakni tiga calon pengantin bunuh diri (dua warga Inggris: lelaki dan wanita), plus satu warga Amerika. Pemilik rumah, dan seorang yang diidentifikasi sebagai perakit bom. Dan tentu saja para pengawal bersenjata di sekitar rumah sasaran.

Film ini juga dengan apik menggambarkan operasi gabungan militer yang mengandalkan teknologi canggih (drone) dan Humint (human intelligence). Pesannya: kecanggihan teknologi tetap memerlukan Humint (agen atau operator lapangan yang hadir secara fisik di lokasi sasaran operasi).

Dan peran Humin itu diperankan dengan baik oleh Jama Farah (aktor Somalia, Barkhad Abdi) yang diperintahkan hadir secara fisik di lokasi, untuk memastikan kondisi obyektif di titik sasaran tembak. Ia menyamar sebagai penjual ember. Sebagai catatan, Barhkad Abdi sebelumnya pernah sukses memainkan peran Abduwali Muse, pemimpin pembajak laut di perairan Somalia dalam film Captain Phillips (2013).

Faktor teknologinya berupa serangan melalui drone (pesawat tanpa awak yang membawa rudal hellfire), yang dikendalikan dari sebuah kamar operasi di Nevada Amerika Serikat, untuk menembak satu rumah yang terletak ribuan mil di suatu kampung Somalia. 

Kondisi lapangan di sasaran tembak diperlihatkan secara riil-time di layar, disaksikan secara live oleh sejumlah pejabat di Inggris dan Amerika Serikat.

Sejak awal, pemirsa sebenarnya bisa menduga bahwa pada akhirnya bom hellfire itu akan diluncurkan. Namun film ini sukses menggambarkan bahwa keputusan eksekusi militer (menjatuhkan bom hellfire ke sasaran) tak semudah yang dibayangkan. Diperlukan persetujuan politik (Menlu Inggris dan Amerika) dan pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Inggris.

Namun poin yang menjadi pesan utama dan sekaligus membuat film Eye in the Sky menjadi menarik justru terletak pada sisi moralitasnya. Perdebatan etisnya adalah soal collateral damage (korban sampingan), baik materil ataupun korban jiwa tambahan yang mungkin terjadi, jika bom hellfire itu ditembakkan ke sasaran. 

Menurut perhitungan teknisnya, radius ledakan bisa mengakibatkan korban antarai 65 sampai 80 persen. Dan jika titik sasaran tembak digeser sekian meter, korban sampingannya bisa berkurang hingga 45 persen. Tapi ini hanya sekedar perkiraan.

Lalu ada Kolonel Katherine Powell (diperankan Helen Mirren), yang sejak awal ngotot lalu membujuk sambil memaksa agar serangan rudal hellfire segera dilaksanakan. Alasannya: hanya inilah kesempatan untuk menghabisi para teroris Al-Shabab yang sudah menjadi target operasi intelijen selama enam tahun itu.

Pesan moral film Eye in the Sky relatif sukses dimainkan oleh Steve Watts (Aaron Paul), yang bertugas mengoperasikan drone dan menembakkan rudal hellfire dari drone ke titik sasaran tembak. Pesan moral itu berupa beban batin antara upaya menekan korban sekecil mungkin dan kewajiban mengeksekusi perintah komandannya.

Dan momen menegangkan itu akhirnya terjadi juga. Setelah perhitungan mundur (count down) yang cuma tiga digit (3-2-1), kokang kendali yang mirip stik permainan game itu ditekan, lalu rudal hellfire lepas dari drone, dan hanya perlu waktu 50 detik untuk sampai ke sasaran. 

Lalu buuuuum, suara ledakan keras, asap dan debu membubung, sebuah rumah beserta isinya luluh-lantak, rata dengan tanah, seluruh penghuninya tewas atau luka serius. 

Dan tentu, beberapa colateral damage (korban sampingan) yang kebetulan berada di sekitar sasaran tembak ikut terbunuh atau luka, termasuk seorang wanita cilik berusia belasan tahun, yang menjual roti di dekat pagar rumah sasaran tembak rudal hellfire.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 08 Agustus 2021/ 29 Dzul-hijjah 1442H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun