Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Resensi Film: Eye in the Sky, Gambaran Bagaimana Sebuah Operasi Intelijen Digelar

8 Agustus 2021   07:15 Diperbarui: 8 Agustus 2021   08:01 3049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal, pemirsa sebenarnya bisa menduga bahwa pada akhirnya bom hellfire itu akan diluncurkan. Namun film ini sukses menggambarkan bahwa keputusan eksekusi militer (menjatuhkan bom hellfire ke sasaran) tak semudah yang dibayangkan. Diperlukan persetujuan politik (Menlu Inggris dan Amerika) dan pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Inggris.

Namun poin yang menjadi pesan utama dan sekaligus membuat film Eye in the Sky menjadi menarik justru terletak pada sisi moralitasnya. Perdebatan etisnya adalah soal collateral damage (korban sampingan), baik materil ataupun korban jiwa tambahan yang mungkin terjadi, jika bom hellfire itu ditembakkan ke sasaran. 

Menurut perhitungan teknisnya, radius ledakan bisa mengakibatkan korban antarai 65 sampai 80 persen. Dan jika titik sasaran tembak digeser sekian meter, korban sampingannya bisa berkurang hingga 45 persen. Tapi ini hanya sekedar perkiraan.

Lalu ada Kolonel Katherine Powell (diperankan Helen Mirren), yang sejak awal ngotot lalu membujuk sambil memaksa agar serangan rudal hellfire segera dilaksanakan. Alasannya: hanya inilah kesempatan untuk menghabisi para teroris Al-Shabab yang sudah menjadi target operasi intelijen selama enam tahun itu.

Pesan moral film Eye in the Sky relatif sukses dimainkan oleh Steve Watts (Aaron Paul), yang bertugas mengoperasikan drone dan menembakkan rudal hellfire dari drone ke titik sasaran tembak. Pesan moral itu berupa beban batin antara upaya menekan korban sekecil mungkin dan kewajiban mengeksekusi perintah komandannya.

Dan momen menegangkan itu akhirnya terjadi juga. Setelah perhitungan mundur (count down) yang cuma tiga digit (3-2-1), kokang kendali yang mirip stik permainan game itu ditekan, lalu rudal hellfire lepas dari drone, dan hanya perlu waktu 50 detik untuk sampai ke sasaran. 

Lalu buuuuum, suara ledakan keras, asap dan debu membubung, sebuah rumah beserta isinya luluh-lantak, rata dengan tanah, seluruh penghuninya tewas atau luka serius. 

Dan tentu, beberapa colateral damage (korban sampingan) yang kebetulan berada di sekitar sasaran tembak ikut terbunuh atau luka, termasuk seorang wanita cilik berusia belasan tahun, yang menjual roti di dekat pagar rumah sasaran tembak rudal hellfire.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 08 Agustus 2021/ 29 Dzul-hijjah 1442H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun