Keabadian hanya milik Allah semata. Dan hari ini, hampir seluruh warga Sulawesi Selatan, terutama di kota Makassar dan sekitarnya, menerima berita duka yang mendalam atas wafatnya Anregurutta (dalam ejaan Bahasa Mandar disebut Annanggurutta' yang bermakna tungguru atau tuangguru atau mahaguru) K.H. Sanusi Baco, Lc., yang menghembuskan napas terakhirnya pada Sabtu, 15 Mei 2021/ 03 Syawwal 1442H, sekitar pukul 20.00 WITA, di RS Primaya eks Awal Bros Jl Urip Sumoharjo, Makassar. Beliau wafat di usia sekitar 84 tahun (kelahiran Maros, 04 April 1937).
Pikiran saya secara otomatis mendaur ulang kenangan dengan almarhum ke awal tahun 1980-an, hampir empat puluh tahun silam, lalu jejari saya juga secara otomatis mengetik artikel takziyah ini.
Saya ingin mengawalinya dengan kalimat sederhana: saya memposisikan diri sebagai salah satu murid almarhum K.H. Sanusi Baco, Lc. Dan ini panjang ceritanya.
Pada awal tahun 1980-an, ketika masih duduk di kelas 5 Pesantren IMMIM Makassar (setara kelas 2 SMA), ada sebuah tradisi keilmuan yang bagi kami santri-santri merupakan keistimewaan tersendiri: setiap bulan, pimpinan pondok mengundang dan menghadirkan tokoh dan ulama terkenal di Makassar untuk memberikan semacam "ceramah pencerahan" kepada semua santri di Pesantren IMMIM, dengan memanfaatkan waktu antara magrib dan Isya.
Salah satu ulama yang pernah beberapa kali memberikan ceramah pencerahan tersebut adalah KH Sanusi Baco (yang ketika itu masih lebih akrab disapa Ustadz Sanusi Baco Lc).
Kebetulan juga, almarhum punya anak yang juga mondok di Pesantren IMMIM pada periode itu. Makanya, KH Sanusi Baco relatif sering berkunjung ke kampus Pesantren IMMIM di Tamalanrea. Dan ketika sedang berkunjung ke pondok, pasti beliau akan shalat berjamaah di masjid pondok bersama para santri.
Secara personal, meski tidak secara langsung, saya punya pengalaman unik dengan sosok almarhum KH Sanusi Baco. Ceritanya, pada awal 1980-an itu, atau tepatnya sekitar 1983 (ketika masih berusia sekitar 17-an tahun), saya mulai sesekali mengisi khutbah Jumat di masjid-masjid kecil di pinggiran kota Makassar. Dan sebagai khatib muda, saya sering kehabisan materi khutbah. Dan saya coba menyiasatinya dengan satu trick.
Jika giliran tak ada jadwal khutbah, nyaris setiap minggu, saya meng-hunting lokasi/masjid tempat ulama-ulama besar menjadi khatib Jumat di kota Makassar. Ketika itu, di Makassar ada beberapa penceramah/khatib pavorit, antara lain KH Sanusi Baco, Quraish Shihab, Umar Shihab, Fadeli Luran, Dr. Halide, AR Muhammad.
Jika kebetulan saya mengikuti khutbah Jumat KH Sanusi Baco, saya akan tekun mencatat setiap poin-poin utamanya, dan catatan itu saya olah ulang lalu disimpan, sehingga kapan waktu diperlukan, akan saya jadikan materi khutbah Jumat.
Sering terjadi, begitu selesai menjadi khatib dan jumatan, ada saja jemaah yang menghampiri, mungkin karena penasaran ada khatib yang berusia 17-an tahun, yang menyampaikan materi yang baginya mungkin dianggap berkualitas. Padahal jemaah itu tidak tahu bahwa materi yang saya sampaikan dalam khutbah, sebenarnya adalah saduran dari khutbah Jumat yang disampaikan oleh ulama-ulama besar di Makassar, sekelas KH Sanusi Baco ketika itu.
***
Dan ada satu materi paling berkesan tentang caramah KH Sanusi Baco (kisah ini diceritakan oleh seorang teman, saya tidak mendengarnya secara langsung. Dan sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan).
Pada suatu hari, KH Sanusi Baco memberikan ceramah di stasiun TVRI Makassar tentang hukum dan seluk-beluk mandi junub.
Beberapa hari kemudian, beliau diundang berceramah di sebuah kampung di luar kota Makassar. Seusai bercaramah di kampung itu, ada seorang jemaah yang menyalaminya sambil menangis tersedu-sedu dan berkali-kali mengucapkan: terima kasih ustadz, terima kasih ustadz, terima kasih ustadz.
Cara jemaah itu menyalaminya, juga tangisannya dan ucapan terima kasihnya yang berkali-kali, agak terasa aneh bagi KH Sanusi Baco. Karena penasaran, KH Sanusi Baco lalu bertanya kepada jemaah itu dengan logat Sulawesi Selatan: "Kenapa qi Andi?"
Jemaah itu kemudian menjawab, tetap sambil menangis, "Saya berterima kasih atas ceramah ta' ustadz tentang mandi junub beberapa hari lalu di televisi".
Mendengar jawaban itu, KH Sanusi Baco makin penasaran, lalu bertanya lanjut: "Ada apa dengan ceramah tentang mandi junub itu?".
Jemaah itu lalu berterus terang dan berkata begini: "Saya berterima kasih atas ceramah ustadz tentang mandi junub itu, karena saya sudah menikah bertahun-tahun, dan telah memiliki beberapa anak, namun saya belum pernah mandi junub, sampai akhirnya saya mendengar ceramah ustadz".
***
Saya ingin bercerita sedikit tentang titel yang selalu menyertai nama almarhum KH Sanusi Baco, yaitu titel/gelar Lc. Titel Lc ini aslinya adalah bahasa Inggris License yang kemudian di-Arab-akan dan dibaca menjadi laysans.
Awalnya, titel Lc diberikan kepada sarjana jebolan univeristas Al-Azhar (khususnya jurusan agama), setelah menempuh kuliah selama empat tahun. Titel Lc baru disetarakan dengan S-1 di Indonesia sekitar awal 1990-an.
Belakangan, sejumlah perguruan tinggi di negara-negara Arab lainnya juga menggunakan gelar Lc. Bahkan ada beberapa akademi dan perguruan tinggi di Indonesia yang juga telah menggunakan titel Lc untuk alumninya.
Ketika KH Sanusi Baco menggunakan titel Lc di belakang namanya pada awal 1970-an di Makassar, itu sangat unik. Sebab hingga awal tahun 1980-an, seingat saya, hanya ada dua-tiga ulama di Makassar yang menyandang titel Lc.
Jujur, salah satu pemicu yang kemudian mendorong saya melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir, antara antara lain karena juga ingin menyandang gelar Lc itu. Padahal, daya tarik gelar Lc di belakang nama KH Sanusi Baco, sebenarnya bukan karena titel/gelar Lc itu, tapi lebih karena sosok KH Sanusi Baco.
***
KH Sanusi Baco adalah seorang penceramah yang ketika berada di atas mimbar terkesan kuat bahwa beliau menghargai materi yang sedang diceramahkan, menghormati audiensnya (jemaahnya), dan bahkan terkesan ia menghargai kesakralan mimbarnya. Karena itu, gayanya di atas mimbar sangat santun dan tenang, tidak akan ada gerakan-mimik kagetan yang aneh-aneh.
Bahkan jika Anda memperhatikan, gayanya mengenakan kopiah hitam (yang model dan ukurannya tetap sama sejak dahulu sampai beliau wafat), akan terkesan kuat bahwa almarhum adalah orang yang secara konsisten mengamalkan doa berpakaian dan doa bercermin.
Ilustrasinya: jika dalam suatu ruangan ada beberapa orang berpakaian sama dan semuanya mengenakan songkok hitam, dan salah satu di antaranya KH Sanusi Baco, maka begitu memasuki ruangan itu, mata Anda kemungkinan besar akan langsung tertuju ke songkok di kepala KH Sanusi Baco. Sedemikian rupa sehingga aura songkoknya begitu memikat (kapan waktu, saya akan menulis tentang aura berpakaian seperti ini, khususnya dalam mengenakan songkok).
KH Sanusi Baco termasuk ulama yang disiplin mengatur dan memikirkan secara matang setiap kata-kalimat yang keluar dari mulutnya. Hampir mustahil akan terdengar celaan apalagi cacian dari dari mulut KH Sanusi Baco terhadap orang-kelompok-mazhab lain ketika sedang berada di mimbar ceramah atau khutbah Jumat (jika sempat dan berkenan, cobalah sesekali menonton rekaman video ceramahnya).
Gaya tutur jenakanya dan juga kisah-kisah serta cerita leluconnya (yang nyaris tak ada habisnya) ketika di mimbar tetap sangat terukur dan santun. Bolehlah dibilang bahwa kesantunannya di mimbarlah yang menjadi salah satu satu daya pikat KH Sanusi Baco.
Saya mengikuti ceramah-ceramah almarhum KH Sanusi Baco sejak awal tahun 1980-an. Dan kesan saya, materi ceramahnya hampir semuanya fokus pada pencerahan etika dan/atau pembinaan akhlak. Jarang sekali KH Sanusi Baca bercermah dengan pendekatan fikhi an-sikh atau hukum oriented. Mungkin karena itulah, beliau dapat diterima di hampir semua lapisan sosial dan kelompok keagamaan di Makassar dan di Sulawesi pada umumnya.
***
Singkat kalimat, KH Sanusi Baco adalah figur Muslim yang memenuhi semua syarat untuk menduduki posisi terhormat sebagai seorang alim atau kiai: penguasaan bahasa Arab yang mumpuni (mampu merujuk ke sumber asli keislaman); pengalaman dakwah bertahun-tahun (lebih dari 50 tahun, sejak tahun 1970-an hingga awal 2021); kesantunan sebagai seorang manusia sebelum menjadi dai; kesantunan yang memanusiakan setiap orang (sikapnya tak berbeda ketika menghadapi seorang pedagang di pasar dan menerima pejabat tinggi negara); komitmen dalam mengambalkan hukum-hukum keagamaan dalam realitas kehidupan pribadinya; seorang dai yang nyaris bersih dari skandal pribadi dan sederet keunggulan personal lainnya.
Dan semua tahu, seperti kata pepatah Arab: li kulli zamanin rijjalun (setiap zaman ada tokoh utamanya). Dan KH Sanusi Baco adalah salah satu tokoh utama dan ulama khas pada zamannya. Doa terbaik untuk almarhum KH Sanusi Baco.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 15 Mei 2021/ 03 Syawwal 1442H
Sumber foto: fajar.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H