Ada juga beberap resep herbal: berkumur-minum air lemon plus garam; minum air hangat campur madu. Saya juga sempat mengkonsumsi resep bawang putih cincang yang direbus hingga mendidih dan airnya diminum.
Karantina mandiri dan lika-likunya
Kebijakan nasional di Belanda, semua pasien covid-19 diarahkan melakukan karantina mandiri di tempat domisilinya masing-masing, khususnya pasien kategori OTG. Karena itu, di Belanda tidak ada pemusatan karantina, seperti Wisma Atlit dan beberapa hotel di Jakarta. Hanya pasien yang mengalami gejala serius (misalnya kesulitan bernafas) yang dirujuk ke rumah sakit.
Karena itu, sejak awal saya juga diarahkan untuk karantina mandiri di rumah bersama semua anggota keluarga. Protokol yang berlaku: jika ada satu orang yang positif dalam satu keluarga, maka semua anggota keluarga tersebut juga wajib karantina.
Dan karantina (yang bermakna isolasi) selalu tidak nyaman. Menjadi tahanan rumah, tak boleh kemana-mana. Dan persoalan serius yang berpotensi muncul adalah mekanisme pemenuhan kebutuhan harian selama karantina.
Untunglah di Belanda ada layanan belanja supermarket secara online. Sehingga kebutuhan harian dapat dipesan tanpa merepotkan orang lain. Sesekali juga memesan makanan melalui UberEat (semacam GoFood di Indonesia). Bisa juga order langsung ke restorannya atau melalui portal aplikasi pemesanan kuliner.
Beberapa sahabat dan kolega kerja juga secara tulus menawarkan dan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan harian. Dan untuk hal ini, saya mengucapkan terima kasih tak terhingga.
Selama karantina mandiri, hal paling sulit adalah menjaga jarak di dalam rumah antar sesama anggota keluarga, yang hampir mustahil dilakukan secara maksimal, khususnya jika di rumah hanya ada satu toilet. Sebab itu berarti sharing toilet dengan semua anggota keluarga, dan itu amat rawan menjadi pemicu penyebaran covid-19 antar semua anggota keluarga lainnya.
Saya kebetulan tinggal di rumah berlantai tiga, berhalaman, dengan tiga toilet. Karena itu, protokol jaga jarak di dalam rumah relatif masih bisa dilakukan, meskipun sekali lagi tidak bisa dilakukan secara maksimal. Dengan kata lain, risiko munculnya kluster keluarga tetap tinggi.
Catatan:
Pertama, setiap hasil test PCR hanya dapat menjadi "acuan sesaat" setelah test PCR dilakukan. Jika hasilnya negatif, maka status negatif itu hanya berlaku saat itu. Sebab begitu keluar dari lokasi test, selalu ada kemungkinan terpapar lagi virus corona dalam perjalanan. Kalau asumsi ini yang dijadikan acuan, mestinya test PCR dilakukan non-stop. Tapi sebaiknya memang test PCR dilakukan secara periodik, setiap bulan misalnya.