Benua Eropa takkan pernah bisa dinikmati secara utuh, kecuali setelah menjajal pesisir selatannya. Dan selatan Eropa itu membentang di pesisir utara Laut Mediterrania, mulai dari Gibraltar-Cartagenia-Valencia-Barcelona di Spanyol sampai ke Marseille-Cannes-dan-Nice di Perancis; lalu ke Monaco; terus ke Sanremo dan Genoa di Italia.
Khusus untuk wilayah Perancis, pesisir selatannya populer dengan sebutan Cote d'Azur (Perancis), atau French Riviera (Inggris), yang kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia: pesisir selatan Perancis, yang membentang dari kota Cassis (dekat Marseilles) di barat sampai Menton di perbatasan Perancis-Italia di timur, dan mencakup Monaco.
Saya coba membuka literatur: nama Cote d'Azur pertama kali dipopulerkan oleh Stephen Ligeard, sastrawan Perancis yang menulis novel berjudul La Cote d'azur (Paris, 1887), yang menggambarkan keindahan eksotik pantai yang membentang dari Marseilles di Perancis sampai Genoa di Italia.
Keindahan eksotis French Riviera itu akan semakin utuh jika ditempuh lewat jalur darat. Dengannya, seorang pelancong bisa menikmati keindahan alam pegunungan yang dipadu suasana pesisir dengan hamparan laut birunya di musim panas dengan suhu antara 25 sampai 30 derajat celcius, sambil memilih satu-dua obyek wisata di kota-kota yang dilewati.
Day-1: persiapan menempuh jarak sekitar 3.000 km
Karena perjalanannya cukup jauh, melintasi enam negara (Belgia, Luxemburg, Perancis, Italia, Swiss dan Jerman), dengan space waktu yang ketat di setiap titik persinggahan, kepala rombongan memutuskan rombongan harus istirahat berhenti setiap dua atau tiga jam perjalanan. SOP yang berlaku di semua negara Eropa, supir harus istirahat sekitar 15 menit dalam setiap dua-tiga jam.
Dari utara ke selatan, tujuan utama adalah kota pantai Nice di Selatan Perancis, yang berjarak dari Den Haag Belanda sekitar 1.300 km. Jaraknya kira-kira setara antara Jakarta-Bayuwangi. Bagi supir yang tahan duduk dan melek-awas, bisa menempuhnya sekitar 14 jam non stop.
Namun untuk menjaga stamina, kepala rombongan memutuskan beristirahat dan menginap di titik separuh jalan antara Den Haag (Belanda) dan Nice (Perancis). Dan pilihan jatuh ke kota Dijon, yang berlokasi kira-kira di tengah antara Den Haag dan Nice. Antara Den Haag dan Dijon, berjarak sekitar 700 km dari Den Haag, bisa ditempuh sekitar 7 jam.
Karena rombongan terdiri dari enam mobil, setiap mobil dilengkapi handy-talky (HT). Tujuannya untuk menjaga agar komunikasi antar mobil tetap lancar dan ritme rangkaian mobil tidak saling menjauh. Saat rangkaian sedang bergerak, komunikasi antar mobil dilakukan via HT.
Dan seperti biasanya, untuk menjaga selera dan citarasa Indonesia tetap on selama perjalanan, masing-masing anggota rombongan membawa bekal makanan khas Indonesia seperti rendang, bahkan beras lengkap dengan rice-cooker mini, sambel terasi dan krupuk. Dan tentu saja, mi instan. Ini bukan semata karena persoalan citarasa kuliner, tapi juga merupakan bagian dari komitmen mencintai "ploduk-ploduk" Indonesia.
Dari Den Haag berangkat sekitar pukul 15.00, dan tiba di sebuah hotel di Dijon sekitar pukul 00.00. Tidurnya pulas, tenan.
Day-2: dari Dijon ke Lyon, lanjut ke Nice Perancis
Sebelum meninggalkan Dijon menuju Nice, rombongan menyempatkan diri menikmati suasana kota Dijon. Dari pengamatan sekilas, Dijon tak menawarkan obyek situs yang signifikan. Hanya beberapa gereja tua, dan tentu saja pusat kota Dijon.
Agak siang dikit, kami meninggalkan Dijon menuju Lyon. Dan kota Lyon menawarkan sebuah dataran tinggi, di samping kanan Basilique Notre Dame Lyon, yang memungkinkan pengunjung untuk menikmati panorama kota Lyon dari ketinggian.
Tak jauh dari situ, terdapat sebuah situs arena (Theatre Gallo Romain), yang mirip panggung terbuka di film-film klasik tentang Romawi. Sore hari, melanjutkan perjalanan dari Lyon ke Nice, yang berjarak sekitar 430 km.
Trouble parkiran di Lyon
Di setiap kota di Eropa, persoalan yang sering tak terduga adalah soal parkir mobil. Dan saya punya pengalaman pahit di Lyon, Perancis. Ceritanya, saya parkir mobil di parkiran gedung bawah tanah.
Sekitar tiga jam kemudian, setelah membayar karcis parkiran, dan mau keluar gerbang parkiran, di layar terbaca tulisan berbahasa Perancis (yang saya tidak paham). Palang pintu parkir tidak terbuka, mobil berhenti. Saya membatin, mungkin pembayaran parkiran saya belum komplet.
Saya memutuskan untuk memundurkan mobil, memarkir ulang dalam gedung, dan kembali ke counter pembayaran karcis parkiran. Sialnya, sore itu, tidak tampak ada petugas parkiran. Saya coba bayar lagi, tapi karcis parkir langsung keluar, yang menunjukkan sudah terbayar.
Saya kembali ke mobil, dan untuk kedua kalinya, mencoba keluar melintasi palang parkiran. Tapi lagi-lagi palang itu belum terangkat juga. Dan di layar mini kembali terbaca tulisan berbahasa Perancis (yang saya tidak paham).
Saya mundur lagi, untuk memarkir ulang, dan kembali ke counter pembayaran karcis parkiran. Saya coba membayarnya kembali, dan ternyata muncul notifikasi di layar bahwa pembayaran pertama belum komplet.
Setelah itu, untuk ketiga kalinya, saya mencoba keluar. Tapi palang parkiran tidak terangkat juga. Lalu bersama seorang anggota rombongan, memencet tombol untuk berbicara dengan petugas parkir.
Komunikasi tersendat, karena petugas-jaga itu tetap nyerocos berbahsaa Perancis (yang saya tidak paham). Ia bersikeras tidak mau berbahasa Inggris (konon ini kebiasaan orang Perancis. Meski paham dan bisa berbahasa Inggris, mereka umumnya akan tetap berbahasa Perancis).
Saya menengok di kaca spion, terlihat beberapa mobil yang juga mau keluar sudah antri di belakang mobil saya. Lalu tiba-tiba palang terbuka, tentu setelah menambah pembayaran parkiran di counter dekat palang gerbang. Lumayan waktu tersita sekitar 30 menit.
Sebagai catatan tambahan terkait soal parkiran, khususnya di wilayah Perancis, adalah ketinggian palang pintu masuk parkir. Sebagian besar parkiran mobil memiliki palang setinggi 180 cm. Artinya kalau menggunakan mobil jenis van type Vito atau Viano Mercedes yang tingginya 174 cm, maka palang parkiran yang tingginya 180 cm akan ngepres banget. Biar aman, cari parkiran yang palang pintu parkirannya setinggi 185 atau 200 cm. Tapi di Perancis, parkiran yang tingginya 185 atau 200 cm cukup sulit. Jadi mencari parkiran yang pas dengan ketinggian mobil bisa menjadi pekerjaan tambahan tersendiri.
Dari Lyon rombongan bergerak sekitar pukul 18.00, dan tiba di Nice sekitar pukul 23.00 local time.
Day-3: Dari Nice bergeser ke Monaco lalu kembali ke Nice
Pada hari ketiga, dari Nice rombongan bergeser ke Monaco yang berjarak sekitar 30 km. Di peta online, terlihat dua alternatif jalur dari Nice ke Monaco: jalur tol dan/atau jalur tua yang berkelok-kelok menyusuri pantai. Kami memilih alternatif jalan pantai, dan sempat mampir di sebuah titik untuk mengambil gambar dari ketinggian dengan latar belakang hamparan biru laut.
Saat melitas menuju Monaco, di pikiran saya adalah menengok gedung Casino Monte Carlo, salah satu gedung iconic Monaco yang sering menjadi lokasi syuting film-film spy dan juga film-film romantis.
Sebagai mantan penggemar balapan mobil Formula-1, sambil bercanda saya berujar: ingin rasanya melakukan napak tilas melintasi jalur sirkuit Monaco (jalan-jalan kota yang disulap menjadi lokasi adu nyali para pembalap mobil Formula-1). Bahwa jalan-jalan umum Monaco bisa disulap menjadi sirkuit balap, menunjukkan bahwa kualitas jalan-jalan kota Monaco didesain dan dibangun dengan kualitas jalur landasan pesawat.
Ketika sedang berada di kota Monaco, saya ingat adagium kuno: keindahan sebuah kota biasanya ditentukan dua hal: pertama, jika kota itu terletak di pesisir yang bersisian dengan pegunungan; kedua, kota yang berada di lembah pegunungan dan dilintasi sungai besar.
Sebagai entitas yang mirip negara-kota (city-state) dalam sejarah kuno, Monaco yang berpenduduk hanya 39 ribu jiwa lebih dikit, memang unik. Di puncak musim panas (Juli-Agustus), jumlah wisatawan asing di Monaco mungkin jauh lebih banyak dibanding jumlah penduduknya.
Setelah menjajal beberapa obyek di Monaco, rombongan kembali ke kota Nice untuk beristirahat. Sejak awal, rombongan memang tidak mengagendakan menginap di Monaco. Maklum, tarif hotel dan kuliner di Monaco relatif jauh lebih mahal dibanding semua kota di kawasan French Riviera.
Saya mencoba mengamati secara cermat, dan tak telihat gedung atau situs klasik di Monaco. Di pelabuhan Monte Carlo, Monaco, dekat lokasi start balapan Formula-1, berjejer perahu-perahu wisata (yacht) mewah, yang entah milik siapa.
Tiba-tiba saya membatin: Monaco adalah contoh negara kecil yang sukses menjual ilusi, dan lama kelamaan, ilusi itu kemudian diasumsikan dan diterima sebagai sebuah realitas.
Day-4: Dari Nice ke Cannes
Pada hari keempat, dari kota Nice rombongan bergeser ke arah barat laut, menuju kota Cannes, ditempuh sekitar 30 menit. Dan Cannes sebenarnya tidak berbeda jauh dari kota-kota lainnya di pesisir selatan Perancis.
Tapi Cannes menjadi unik dan layak ditengok, antara lain karena tiap tahun, Cannes menjadi pusat penggelaran Festival Film Cannes. Jika Anda pencinta film komedi, kota Cannes itu juga yang menjadi tema dasar film Mr. Bean yang berjudul "Mr. Bean's Holiday".
Seharian di Cannes dengan suhu udara sekitar 30 derajat celcius, suasananya bahkan terasa lebih panas di banding kota-kota pantai di Indonesia. Menjelang sore, beberapa anggota rombongan menikmati pantai Cannes, berenang dan berjemur. Hari itu, matahari terbenam sekitar pukul 21.00 local time.
Oh, iya, di kota Cannes juga ada Chateau de la Castre, yang terletak di dataran tinggi, di sisi barat kota Cannes, yang didesain sebagai lokasi untuk menikmati panorama kota Cannes dari ketinggian. Tapi posisinya tidak seindah dataran tinggi Basilique Notre Dame di kota Lyon dan Monaco.
Day-5: Dari Nice Perancis menuju Danau Como di Italia
Pada hari kelima, rombongan melanjutkan perjalanan dari Nice (Perancis) ke arah timur menuju Genoa (Italia), lalu membelok ke utara menuju Danau Como (Italia), yang berjarak dari Nice sekitar 400 km, melintasi Monaco dan juga Milan.
Ketika memasuki wilayah Italia, kendaraan melintasi jalur tol yang umumnya dibangun dan melintasi kira-kira antara puncak gunung dan pesisir, sehingga pelintas/pengendara sekaligus dapat menikmati dua obyek sekaligus: pantai dengan hamparan mirip karpet biru lautnya, dan pegunungan dengan hijau pepohonan.
Karena jalan tol itu dibangun dari lereng-lereng, yang sepintas terlihat seperti menghubungkan satu puncak ke puncak gunung berikutnya, maka tiap sebentar kendaraan harus melintasi puluhan terowongan dengan panjang yang bervariasi.
Saya membatin: jalan tol yang melintasi puluhan terowongan itu memperlihatkan keseriusan membangun jalur tol yang diupayakan sebisa mungkin tetap lurus, agar kendaraan tetap dapat melaju dengan kecepatan minimal 100 km per jam.
Setelah melewati Genoa di selatan Italia, menuju Danau Como yang terletak dekat perbatasan Italia-Swiss, rombongan melewati beberapa kota yang pada awal pandemi sering diberitakan sebagai cluster awal wabah covid-19 di Italia, seperti provinsi Bergamo.
Tapi pada bulan Agustus 2020, perkembangan covid-19 di Italia relatif sudah terkendali, jika dibanding misalnya dengan Perancis. Pertambahan harian kasus covid-19 di Italia sejak awal sampai 24 Agustus 2020, rata-rata lebih dari 500 kasus baru per hari. Sementara di Perancis rata-rata lebih dari 2.500 kasus baru per hari.
Di sebuah rest area antara Genoa dan Milan, rombongan mampir makan siang. Di counter kopi, saya memesan secangkir kopi espresso, dan nikmatnya tak tergambarkan. Secangkir terasa belum cukup, saya lalu kembali memesan, kali ini, double-espresso. Artinya, hari itu, saya menikmati tiga cangkir espresso sekaligus. Kenikmatan kopi hasil racikan asli Italiano.
Sekitar pukul 15.00, kami tiba di danau Como. Dan seperti umumnya wisata danau, Lake Como di Italia tak jauh beda misalnya dengan Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu di Magetan, Jawa Timur. Perbedaannya mungkin hanya desain dan pengelolaannya.
Di Lake Como ada wisata naik kereta dari lereng menuju puncak dengan ketinggian sekitar 200 meter, menggunakan kereta khusus, dan rel keretanya menempel dari lereng ke puncak gunung dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Bagi Anda yang memiliki trauma takut ketinggian sebaiknya tidak mencobanya.
Dari Lake Como, kami melanjutkan perjalanan menuju Danau Lugano, yang sebagian masuk wilayah Swiss, sebagian lainnya masuk wilayah Italia. Karena waktu sudah menjelang malam, rombongan memutuskan tidak berhenti di Danau Lugano.
Ketika melintas di pesisir utara Danau Lugano, khususnya bagian danau yang berada di wilayah Swiss, suasana keindahan alam terasa lebih nendang. Seorang teman perjalanan berkomentar ringkas begini: ketika menciptakan alam Swiss, Tuhan sedang tersenyum. Hasilnya adalah keindahan alam Swiss sejuah mata memandang.
Tak lam setelah melewati danau Lugano, matahari pelan-pelan menyelinap di celah-celah pegunungan Alphen. Malam sudah tiba, dan sesuai agenda, perjalanan lanjut menuju kota Konstanz di wilayah Jerman bagian selatan, dekat perbatasan Swiss. Melintasi beberapa kota utama di Swiss: Luzern dan Zurich.
Day-6: Danau Konstanz dan Rheinfall Swiss
Pada hari ke-6, ada tiga agenda perjalanan: berkunjung ke Danau Konstanz; kemudian bergeser ke titik terakhir perjalanan: Rheinfall schaffhausen Swiss (air terjun terbesar di Eropa yang dialiri sungai Rhein). Meski dikategorikan terbesar di Eropa, Rheinfall di wilayah Swiss tentu tidak seeksotik misalnya dengan Niagara Falls di perbatasan Amerika dan Kanada; dan ketiga, melanjutkan perjalanan kembali ke Den Haag.
Sebagai catatan, di wilayah Eropa Barat, hanya Jerman yang masih dan tetap menyediakan ruas jalan tol yang membolehkan pengendara memacu kendaraannya dengan kecepatan tanpa batas. Jadi kalau masih segar, dan sedikit punya nyali, pengendara bolehlah sesekali memacu kendaraan sampai 200 km per jam.
Dan alhamdulillah, selama perjalanan, semua peserta wisata sehat afiat, dan tiba dengan selamat di Den Haag sekitar pukul 02.00 dinihari, dan itu sudah masuk hari ke-7.
Catatan:
Pertama, setibanya di Den Haag, saya mengecek ulang catatan angka di spidometer mobil, yang menjunjukkan perjalanan dari Den-Haag-Brussel-Luxemburg-Perancis-Monaco-Genoa-Milan-Swiss-Jerman sampai kembali lagi ke Den Haag, yang rutenya membentuk lingkaran lonjong, menempuh total jarak kurang lebih 3.000 (tiga ribu) kilometer. Sebuah pengalaman yang kalaupun mau, mungkin akan sulit diulang, dan tentu saja layak dikenang dan pantas diceritakan.
Kedua, berwisata antar negara dan antar kota di Benua Eropa, para pelancong dapat menemukan destinasi wisata yang menarik dan layak ditengok di setiap kota. Tapi umumnya, waktu yang tersedia tidak akan pernah cukup untuk menjajal semua obyek yang dilewati.
Ketiga, perjalanan antar negara atau antar kota dan juga di dalam kota, selalu ada kemungkinan salah mengambil jalur jalan, yang dulu populer disebut nyasar di jalan. Namun sejak GPS ditemukan, nyasar sudah tidak mungkin terjadi. Yang akan terjadi adalah menempuh jalur yang lebih jauh. Sebab begitu pengendara salah jalan, GPS akan kembali mengarahkan ke tujuan awal, dengan jalur melingkar, yang tentu saja akan mengakibatkan jarak dan waktu tempuhnya menjadi lebih jauh.
Keempat, pada dasarnya, bahkan lebih dari separuh kehidupan sebenanrya adalah pergerakan atau perjalanan. Dan setiap usai melakukan perjalanan, saya selalu teringat pada adagium yang mengatakan: "Tidak akan pernah sama antara orang yang melihat secara langsung dan orang yang hanya mendengar".
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 26-08-2020/ 08-01-1442H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H