Di wilayah Mandar, Sulawesi Barat, sejak dulu, kebesaran dan pengaruh seorang alim biasanya ditandai jika sang alim itu diberi gelar atau dikenali dengan sebutan kata "imam" yang disandingkan atau dinisbahkan kepada nama wilayah atau kampung.
Sebagai contoh, KH Muhammad Thahir (1838-1952) adalah seorang ulama kharismatik asal Mandar, yang populer dengan sebutan "Imam Lapeo". Ia digelari Imam dalam posisinya sebagai alim, dan kata "Lapeo" adalah nama kampung asalnya: Lapeo yang terletak antara kota Campalagian dan Pambusuang.
Contoh lain, seorang ulama Mandar, almarhum KH. As'ad Harun (1871-1945) yang lebih populer dengan sebutan "Imam Kandemeng", sebuah kampung yang berjarak kurang dari satu kilometer dari kota Tinambung.
Sekitar tahun 1970-an, di wilayah Lampa (sekitar 3 km dari Wonomulyo), ada seorang ulama yang digelari "Imam Tandung", karena ia berasal dari Tandung, meskipun ia hidup dan wafat di wilayah Lampa.
Tradisi penggelaran ulama yang menisbahkan kata "Imam" dan "nama wilayah" ini mungkin mengacu pada tradisi penggelaran ulama dalam sejarah Islam, seperti Imam Qurtubi (nisbah kepada Qordoba), Imam Sayuti (nisbah kepada Asyut di selatan Mesir), Imam Bukhari (nisbah kepada Bukhara).Â
Sejauh pengamatan saya, memang belum ada ulama di Sulawesi yang katakanlan digelari dengan wilayah yang cakupannya luas. Hingga saat ini pun, belum ada ulama di Mandar yang digelari "Imam Mandar".
Saya teringat tradisi penggelaran ulama Mandar ini, ketika mendengar kabar meninggalnya H. Makmun Lesang, imam masjid di kampung Bonra, Mapilli (sekitar 5 km dari Wonomulyo), pada hari Minggu, 01 Maret 2020, yang wafat di usia lebih dari 80 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
H. Makmun Lesang sudah puluhan tahun menjadi imam kampung di masjid "Nurul Yaqin" di Bonra, Mapilli (sekitar 250 km ke arah utara dari Makassar). Terakhir saya bertemu langsung dengan almarhum pada tahun 2017.Â
Karena faktor usia, saat itu, kondisi fisiknya sudah tidak tegar, namun masih baik diajak berbicara. Jika ingin meng-imami shalat di Masjid Bonra, ia diantar dengan motor ke masjid.Â
Karena KH Makmun Lesang adalah paman langsung saya dari pihak ayah, maka setiap kali berkesempatan berkunjung ke Mandar, salah satu agenda utama saya adalah mengunjungi beliau.
Mungkin akan berlebihan jika almarhum KH Makmun Lesang dibandingkan apalagi disandingkan dengan Imam Lapeo, Imam Tandung dan Imam Kandemeng.Â
Namun sebagian orang Mandar yang mengenal dekat KH Makmun menggelarinya dengan sebutan "Imam Bonra", terutama karena lamanya menjadi imam di masjid Bonra. Lagi pula, KH Makmun Lesang memang tidak aktif berceramah, kecuali mungkin di lingkungan terbatas dalam jamaah tariqatnya. Dalam posisinya sebagai imam Bonra, almarhum hanya aktif menjadi khatib Jumat di Masjid Nurul Yaqin di Bonra, Mapilli.
KH Makmun Lesang termasuk ulama Mandar yang pernah belajar di Mangkoso-Barru, Sulsel sekitar tahun 1960-an, dan sempat berguru langsung kepada KH. Ambo Dalle di Barru/Pare-pare. KH Makmun Lesang juga lama menjadi murid tarikat langsung dari almarhum KH Muhammad Shaleh dan KH Sahibuddin di Majene.
Dengan tulus saya mendoakan semoga Allah swt melimpahkan rahmat-Nya untuk almahum KH Makmun Lesang, dan keluarga yang ditinggalkan dikaruniai kesabaran dan ketabahan. Keabadian adalah semata milik Allah swt.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 01 Maret 2020/ 06 Rajab 1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H