Berjarak sekitar 30 km ke arah selatan dari Brussels-Belgia, sebuah gundukan tanah yang didesain mirip piramida. Sebuah patung singa: The Lion's Mound, bertengger gagah dan garang di pucuk gundukan, yang setinggi 43 meter dari lerengnya, dan bisa dipanjat menaiki 226 anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat.Â
Tak ada yang begitu menarik selain bahwa gundukan itu dan patung singa itu adalah monumen yang menandai kekalahan serdadu Napoleon Bonaparte, ketika melawan pasukan koalisi tujuh negara dalam pertempuran Waterloo tahun 1815.
Kekalahan yang konon kemudian menandai berakhirnya dinasti dan legenda Napoleon. Konon juga, seandainya Napoleon menang di pertempuran Waterloo, maka seluruh negara di Eropa Barat termasuk Inggris akan berbahasa Perancis. Saya membatin, gundukan tanah itu dan patung singa itu tampak seperti nisan yang menandai kuburan Napoleon sang legenda.
Di museum bawah tanah, yang menempel ke Lion's Mound, terlihat gambar sejumlah panglima perang yang kalah, dan juga yang menang. Patung barisan serdadu yang kalah dan yang menang. Lukisan foto-foto yang bersih, hampir semuanya dengan wajah sumringah, kebalikan dari suasana pertempuran.
Di ruang panorama pertempuran Waterloo, suasana perang tampak hidup. Mayat-mayat bergeletak di sana-sini, kuda-kuda terjungkal bersama penunggangnya. Asap mengepul dari bangunan yang terbakar atau sisa ledakan mesiu. Serdadu berbaris menjemput ajal. Komandan mengisyaratkan komando pergerakan pasukan.
Benar kata orang bijak: sejarah pertempuran pada akhirnya akan ditulis dan diperingati oleh pihak yang menang. Yang kalah dan keturunannya silahkan menggigit jari. Tapi sebuah kontras terlihat: di outlet souvenir dan rak buku tentang pertempuran Waterloo, hampir semua buku yang dipajang dan dijual, di sampulnya terpampang foto gagah rekaan Napoleon Bonaparte atau tulisan nama Napoleon Bonaparte.
Dan ada sesuatu yang pasti: monumen pertempuran adalah juga tugu tentang kebengisan dan kekejaman. Darinya dan dengannya berliter-liter darah mengalir, ratusan bahkan ribuan nyawa diregang, yang disusul kesedihan dan linangan airmata yang bisa menetes pedih dan perih selama berbulan-tahun.
Syarifuddin Abdullah | Waterloo, Belgia, 14 Nop 2019/ 17 Rabi'ul-awwal 1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H