Delima (The Lima) IAPIM (Ikatan Alumni Pesantren IMMIM Modern) kembali berduka yang dalam atas kabar wafatnya Sdr. Abriansyah, di Luwu Timur pada Senin, 11 Nop 2019. Abriansyah tiba-tiba mengalami kejang-kejang pada saat istirahat di ruangan Ketua DPRD Luwu Timur, seusai rapat membahas APBD. Dia menghembuskan napas terakhirnya di Puskesmas Malili.
Dalam catatan saya, Abriansyah adalah almarhum yang ke-15 dari IAPIM angkatan ke-5 (Delima), 1985. Dan yang lain, satu per satu pasti akan menyusul, jika saatnya telah tiba (siap-siap ma qi di!!!).
Dan tentu banyak hal yang sangat layak diceritakan ulang tentang seorang Abriansyah, yang akrab kami sapa dengan panggilan "Abri" saja.
Jauh sebelum tamat dari Pondok IMMIM, Makassar, tahun 1985, ketika sebagian dari kami seangkatannya terkesan masih bingung akan lanjut kuliah di mana, Abriansyah sudah final menentukan pilihan: lanjut kuliah di APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) Makassar. Kalau tidak salah, Abriansyah satu-satunya alumni Delima yang lanjut di APDN. Karena itu, di antara alumni Delima, Abriansyah pula mungkin yang paling duluan bersentuhan dengan masyarakat melalui jalur formal. Pernah menjabat sebagai Kepala Kecamatan, dan terakhir sebelum meninggal, menjabat Kepala Bapelitbangda Kabupaten Luwu Timur, Sulsel.
Singkat kalimat, di kalangan anggota Delima IAPIM, Abriansyah adalah sosok yang istimewa. Bahkan ketika baru masuk Pondok tahun 1979, Abriyansyah sudah tampak memiliki beragam talenta yang di atas rata-rata. Tidak aneh, Abriansyah merupakan salah satu angkatan Delima yang paling duluan populer di kalangan kakak-kakak kelas serta semua guru dan pengurus/pembina Pondok IMMIM.
Harus diakui juga bahwa salah satu pemantik popularitas Abriyansyah di Pondok adalah karena gantengnya, dan terutama juga karena namanya: Abriansyah. Penggalan kata "Abri" pada namanya membuat orang yang pertama mengenalnya akan terus mengenalnya. Nama pemberian orangtuanya sangat unik. Saya tidak pernah mendengar atau memastikan latar belakang penamaan Abri itu. Tapi sekedar diketahui, di tahun-tahun kelahiran angkatan Delima (1965-1966-1968), TNI masih disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Barangkali saja, penggalan kata "Abri" pada nama Abriansyah itu mengacu pada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Karena Abriansyah memang dilahirkan tepat hari ABRI, 05 Oktober.
Abri mungkin satu-satunya angkatan Delima yang memiliki "talenta manggung". Ia sangat menikmati tampil di panggung untuk menghibur audiens secara cerdas. Ia bisa melucu dalam keadaan serius, dan/atau sebaliknya: serius dalam kelucuannya.
Sekedar catatan bagi pembaca yang bukan alumi pondok: di setiap pondok, pasti ada acara semi panggung yang bersifat mingguan, bulanan atau tahunan, misalnya latihan ceramah, yang diselingi intermezo: menyanyi dan/atau melawak. Dan sesekali acara panggung ini dibuat semeriah mungkin, dalam arti dihadiri oleh semua santri.
Dan salah satu penampilan panggung Abriansyah yang paling terkesan di saya (hingga saat ini) adalah ketika kami baru kelas lima, atau sekitar tahun 1984. Saat itu, Abri tampil seorang diri di panggung, dengan dua kursi berhadapan. Lalu Abri memperagakan dua karakter yang berbeda: satunya seolah-olah wartawan, dan karakter satunya seolah-olah pejabat. Ketika memainkan karakter wartawan, ia bertanya seolah-olah berhadapan dengan seorang pejabat di kursi depannya (yang nota bene kosong). Ketika saatnya tiba menjawab pertanyaan "wartawan", Abri pindah ke kursi satunya, dan memperagakan sosok seorang "pejabat". Dua karakter itu dimainkan dengan suara yang berbeda. Dan buat saya, ketika itu, adegan wawancara imajiner itu adalah sebuah masterpiece panggung Abri yang luar biasa. Karena itu, setelah sekian tahun kemudian, setiap kali melihat adegan panggung Butet Kertaradjasa, secara otomatis saya teringat pada sosok Abriansyah. Singkat kata, Abri memiliki talenta pemain teater.
Talenta teater itu pula yang sering dimainkan Abriansyah, dan kami semua angkatan Delima menikmati melihatnya, ketika Abriansyah "membina" hubungan dengan bibi-bibi yang bekerja di dapur IMMIM selama bertahun-tahun di Pondok.
Keunggulan Abriansyah lainnya adalah kemampuan membawa diri secara elegan dan akrab meski tetap dengan sentuhan aristokrat yang tidak angkuh. Abriansyah adalah sosok yang tidak pandai mencari musuh. Meskipun secara amanah saya mengakui bahwa saya dan Abri tidak pernah benar-benar bisa akrab selama enam tahun mondok di IMMIM. Chemistrinya tidak pernah maksimal. Padahal sejak kelas empat sampai enam (setingkat SMA) di pondok, saya dan Abri selalu satu kelas di jurusan IPS. Mungkin karena itu pula, meski berupaya agar terus ter-upadate perkembangan karirnya, saya tidak pernah bertemu langsung dengan Abriansyah sejak kami tamat dari Pondok IMMIM tahun 1985. Saya mengamati candaannya melalui postingan-postingannya di group Whatsapp khusus anggota Delima.
Selamat jalan sahabatku Abrianysah. Kami semua anggota Delima akan sangat merasa kehilangan seorang sahabat yang selalu bisa diajak bercanda cerdas. Melalui artikel ta'ziyah ini, saya bersaksi bahwa Abriansyah adalah orang baik. Berdoa tulus semoga Allah swt melimpahkan karunia rahmat-Nya untukmu. Wa inna bikamu-llahikun (dan kelak kami semua akan menyusulmu).
Syarifuddin Abdullah | Brussels, 13 Nopember 2019/ 16 Rabi'ul-awwal 1441H
Catatan: saya menerima kabar wafatnya Abriansyah ketika dalam perjalanan kerja via darat dari Den Haag Belanda menuju Brussel Belgia pada 11 Nopember 2019. Karena itulah artikel ta'ziyah ini telat dua hari dari hari wafat Abrianysah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H