Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed Meraih Nobel Perdamaian 2019

13 Oktober 2019   20:15 Diperbarui: 14 Oktober 2019   04:04 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya masih sangat muda, 43 tahun. Abiy Ahmed, yang kini menjabat Perdana Menteri Ethiopia, adalah kepala pemerintahan termuda di seluruh negara benua Afrika. 

Nampaknya, sebagian publik global kaget ketika Ketua Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss-Andersen, mengumumkan Abiy Ahmed sebagai pemenang Nobel Perdamaian 2019, pada 11 Oktober 2019.

Abiy menyingkirkan semua nominator lainnya, yang total berjumlah 301 nominator (223 tokoh individual dan 78 organisasi). Momentumnya menarik pula: Abiy adalah pemenang Nobel Perdamaian yang ke-100.

Menurut Komite Nobel, Abiy Ahmed dinilai memiliki sederet kerja nyata dan prestasi yang dianggap layak dan membuatnya berhak dinobatkan peraih Nobel Perdamaian. 

Salah satu keunggulannya adalah semua prestasi itu diraih dalam tempo yang sesingkat-singkatnya: ia baru menjabat posisi perdana menteri Ethiopia selama 18 bulan alias belum genap dua tahun (dilantik menjadi PM pada April 2018).

Lantas apa yang memukau dari seorang Abiy Ahmed?

Satu per satu keunggulan Abiy Ahmed terkuak ke publik. Secara personal, gaya dan kharisma kepemimpinannya, dapat diringkas melalui beberapa kata dan kalimat: Abiy Ahmed mengusung semboyan berbahasa Ethiopia: Medemer (kebersamaan dan inklusivitas). 

Ia cenderung memilih gaya hidup informal (informal life-style) alias tidak protokoler; pembawaannya energik, dan berani mengambil kebijakan tidak populer. 

Mungkin juga karena kebijakan-kebijakannya itu diambil dan dieksekusi di negara dan benua yang sarat konflik: Ethiopia, Tanduk Afrika dan Benua Afrika pada umumnya.

Seorang yang pernah menjadi kolega kerjanya bercerita bahwa sepanjang karirnya, Abiy tidak punya sekretaris. Alasannya sederhana: ingin kantornya terbuka untuk siapa saja. "His office door was literally never closed (pintu kantornya benar-benar tidak pernah tertutup").

Penelusuran biodata dan sepak terjangnya sebenarnya tidak menunjukkan hal yang istimewa banget. Ia bernama lengkap Abiy Ahmed Ali, lahir pada 15 Agustus 1976 di kota bersejarah Beshasha, yang saat ini menjadi bagian dari Wilayah Oromia Region di Ethiopia.

Kehidupan keluarganya juga tak banyak yang spektakuler. Ia adalah anak ke-13 dari ayahnya yang Muslim (Ahmed Ali), dan anak ke-6 dari ibu kandungnya yang Kristen. 

Ayahnya berpoligami, rupanya. Abiy berasal dari suku Oromo, salah satu etnis yang konon lama terpinggirkan secara politik di Ethiopia.

Pada 1991, ketika usianya masih belasan tahun, Abiy Ahmed bergabung dengan kelompok pejuang bersenjata untuk melawan rezim Derg, junta militer komunis yang berkuasa di Ethiopia pada periode 1974-1987.

Pada 1993, Abiy resmi bekerja sebagai tentara reguler di Kementerian Pertahanan Ethiopia (Ethiopian National Defense Force). Di lingkungan militer, ia lebih sering bekerja dan/atau menduduki posisi di divisi intellijen dan komunikasi.

Pada 1995, setelah kasus genosida di Rwanda, Abiy Ahmed pernah bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian PBB (United Nations Peace Keeping Force/UNAMIR) di Rwanda.

Pada 1998-2000, selama periode perang konflik perbatasan antara Ethiopia dan Eritrea, Abiy Ahmed memimpin tim intelijen dalam sebuah misi di wilayah yang dikuasai oleh militer Eritrea.

Pada 2000, Abiy Ahmed mulai aktif sebagai politisi dengan menjadi anggota Oromo People Democratic Organization, yang kemudian mengantarkannya untuk menjadi anggota parlemen. 

Pada masa ketika ia menjadi anggota parleman, di Ethiopia muncul konflik agama horisontal yang akut antara Muslim dan Kristen. Abiy kemudian tampil dengan gagasan "Religious Forum for Peace", yang menurut sebagian pengamat, sejauh ini, dapat diposisikan solusi permanen terhadap potensi konflik antar umat beragama di Ethiopia.

Pada 2008, Abiy menjadi salah satu pendiri lembaga Information Network Security Agency (INSA), Ethiopia. 

Konon sempat menjabat sebagai Wakil Direktur (Deputy Director) INSA, yang merupakan lembaga intelijen. Namun karena jabatan direktur INSA tidak terisi, maka Abiy ditunjuk sebagai Direktur Pelaksana (acting director) INSA.

Pada 2010, Abiy memutuskan meninggalkan dunia militer dan posisinya sebagai deputy director (Wakil Direktur) INSA, memutar haluan perjuangannya untuk sepenuhnya berkiprah di kancah politik. Ia hanya berpangkat Letnan Kolonel ketika meninggalkan militernya. Ia melirik jabatan Perdana Menteri.

Pada 02 April 2018, di usia 42 tahun, Abiy Ahmed dilantik menjadi Perdana Menteri Ethiopia. Dan segera setelah itu, ia langsung tancap gas dengan kebijakan-kebijakan radikal: membebaskan ribuan tahanan politik; mencabut keadaan darurat; mencabut segala kontrol pemerintah terhadap media massa; memecat anggota kabinet yang diyakini bagian dari persoalan Ethiopia; melakukan kebijakan reformasi ekonomi, yang mebuat IMF memposisikan Ethiopia sebagai negara Afrika paling cepat pertumbuhan ekonominya di tahun 2018.

Pada Mei 2018, yakni hanya satu bulan setelah menjabat Perdana Menteri, Abiy Ahmed berkunjung ke Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dan meminta langsung kepada Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) untuk membebaskan 1.000 warga Ethiopia dari penjara KSA. 

Pekerja migran Ethiopia di Saudi Arabia memang merupakan salah satu isu nasional di Ethiopia. Menurut data 2017, tercatat lebih dari 14 ribu warga Ethiopia telah dideportasi dari KSA.

Pada Juni 2018, ketika ribuan pendukungnya melakukan aksi dengan pamflet bertuliskan "One Love, One Ethiopia", tiba-tiba sebuah granat meledak di tengah kerumunan massa, yang menewaskan dua orang dan melukai lebih dari 150 orang. 

Terhadap kasus ledakan itu, Abiy merespon dengan tenang: 

"Love always wins. Killing others is a defeat. To those who tried to divide us, I want to tell you that you have not succeeded"

(Cinta akan selamanya menang. Membunuh orang lain adalah kekalahan. Kepada mereka yang mencoba memecah belah, saya ingin menegaskan, kalian tidak akan sukses).

Selanjutnya pada Juli 2018, bersama Isaiah Afwerki (Presiden Eritrea), Abiy Ahmed menandatangani perjanjian damai yang mengakhiri perang konflik perbatasaan antara Ethopia-Eritrea yang sudah berlangsung 20 tahun.

Kalau mengacu pada latar belakang dan kronologi kiprah yang relatif singkat itu, wajar jika kemenangan Abiy Ahmed meraih Nobel Perdamaian 2019 tidak akan steril dari kritikan dan kontroversi, karena sejumlah alasan:

Pertama, karena ia menyingkirkan beberapa tokoh lain yang mungkin dianggap lebih mengglobal. Konon, tokoh lain yang dinominasikan peraih Nobel perdamaian 2019 antara lain: Greta Thunberg (aktivis lingkungan asal Swedia yang berusia 16 tahun); Angela Merkel (Kanselir German), dan aktivis pro demikrasi Hong Kong (hanya publik tentu tidak akan pernah tahu daftar calon-calon itu. Sebab tradisi yang berlaku di komite Nobel: pengumuman daftar nominator pada setiap tahunnya, hanya mungkin dipublikasikan setelah 50 tahun, atau nanti di tahun 2069 nanti).

Kedua, popularitas dan pengaruh Abiy belum begitu mengglobal. Sebagian pembaca mungkin baru mengenal namanya setelah diumumkan sebagai pemegang Nobel Perdamaian beberapa hari lalu. 

Ia memang dinilai sukses melakukan reformasi dalam negeri di Ethopia, dan juga memediasi proses perdamaian dan kompromi politik di wilayah regional Tanduk Afrika, dan terakhir menengahi kompromi politik antara militer dan aktivis civil sociaty di Sudan. 

Namun, sepanjang penelusuran saya, Abiy belum punya prestasi pada level global. Karena itu, saya juga kurang sreg dengan pandangan sebagian pengamat yang mulai mensejajarkan Abiy Ahmed dengan Nelson Mandela asal Afrika Selatan (peraih Nobel Perdamaian tahun 1993, dan baru menerimanya tahun 1999).

Ketiga, prestasi yang dibuat dalam tempo kurang dari dua tahun itu, di satu sisi memang spektakuler. Namun periode dua tahun itu juga masih amat rentan oleh perubahan dan gangguan. 

Tantangannya adalah apakah Abiy akan tetap konsisten dengan segala gebrakan reformasi dan ide-ide briliannya. Sebab seperti diketahui, hampir semua kebijakan Abiy diambil dan dieksekusi dalam rentang waktu kira-kira 6 bulan sejak dilantik menjadi Perdana Menteri pada April 2018.

Apapun itu, palu Komite Nobel telah diketok. Abiy Ahmed akan menerima secara langsung piala Nobel Perdamaian pada 10 Desember 2019 di Oslo, Norwegia, dan berhak membawa pulang uang sebanyak 9 (sembilan) juta Krone Norwegia (sekitar 900.000 USD atau Rp13 miliar).

Buat saya, dan ini yang penting untuk ke depannya, meraih Nobel Perdamian di usianya yang relatif masih muda (43 tahun) membuka rentang waktu yang cukup lama bagi Abiy Ahmed untuk terus merawat dan meningkatkan popularitas, pengaruh dan inspirasi internasionalnya.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 13 Oktober2019/ 14 Safar 1441H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun